Menguak Penyebaran Radikalisme di Lingkungan Kampus: Rekrutmen, Faktor Pendorong, dan Upaya Pencegahan

Radikalisme di lingkungan kampus bukan sekadar isu akademik, tetapi telah menjadi fenomena yang nyata dan mengkhawatirkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya menjadi sasaran penyebaran ideologi ekstrem, tetapi juga terlibat langsung dalam aktivitas terorisme. Kampus, sebagai tempat bertumbuhnya pemikiran kritis, justru kerap dimanfaatkan sebagai lahan subur bagi kelompok radikal. Artikel ini akan mengulas bagaimana proses penyebaran radikalisme di kampus, faktor pendorong, serta langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan.

 

Menguak Penyebaran Radikalisme di Lingkungan Kampus: Rekrutmen, Faktor Pendorong, dan Upaya Pencegahan

Kasus Penyebaran Ekstremisme di Kalangan Mahasiswa

Beberapa kasus berikut menunjukkan bahwa penyebaran ekstremisme di lingkungan kampus bukan sekadar kekhawatiran, tetapi sudah terjadi secara nyata:

  • Mei 2022: Seorang mahasiswa Universitas Brawijaya ditangkap karena mendukung ISIS.
  • Juni 2018: Ditemukannya bom di Universitas Riau (UNRI).
  • 2011: Tiga lulusan UIN Jakarta terbukti terlibat dalam jaringan terorisme Pepi Fernando.

Kasus-kasus ini membuktikan bahwa radikalisme tidak hanya berkembang dalam ruang diskusi, tetapi juga dapat berujung pada aksi nyata yang mengancam keamanan nasional.

 

Proses Rekrutmen ke Organisasi Radikal

Kelompok radikal menggunakan berbagai strategi untuk merekrut anggota baru, terutama mahasiswa yang masih dalam tahap pencarian identitas. Biasanya target utama adalah mahasiswa baru, perantau, atau mereka yang memiliki latar belakang religius yang kuat. Proses perekrutan sering dimulai dengan pendekatan melalui diskusi agama yang tampak moderat dan ilmiah. Mahasiswa diajak menghadiri kajian-kajian agama di kampus, yang kemudian mengarah pada kelompok kajian lebih eksklusif dengan doktrin tertentu. Radikalisme memiliki daya tarik kuat di kalangan mahasiswa karena berbagai faktor sosial dan ideologis. Riset menunjukkan bahwa:

  • BNPT (2018): 39% mahasiswa di 15 provinsi tertarik pada paham radikal.
  • Survei Alvara (2017):
  • 17,8% mahasiswa mendukung konsep khilafah.
  • 23,5% mendukung pembentukan negara Islam.
  • 29,5% menolak pemimpin non-Muslim.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa ada ruang besar bagi penyebaran ideologi ekstrem di lingkungan akademik, terutama jika tidak ada penyeimbang pemikiran yang inklusif.

 

Faktor yang Membuat Mahasiswa Bergabung dengan Organisasi Radikal

Ada beberapa alasan mengapa mahasiswa tertarik bergabung dengan organisasi radikal. Mahasiswa yang mencari lingkungan sosial baru merasa diterima dalam komunitas ini, sehingga mereka menemukan tempat untuk bernaung. Selain itu, mereka sering kali percaya bahwa organisasi ini menawarkan pemahaman Islam yang lebih murni, menyeluruh, dan kaffah. Ketertarikan pada isu-isu global, seperti konflik di Palestina, ketidakadilan pemerintahan, dan dinamika dunia Islam, juga menjadi faktor pendorong. Bagi mahasiswa dengan latar belakang nonagama, organisasi ini memberikan arah hidup yang lebih jelas dan mengisi kekosongan spiritual yang mereka rasakan.

 

Peran Gerakan Dakwah Islam Transnasional

Gerakan Islam transnasional memiliki pengaruh yang cukup kuat di kampus, sebut saja seperti Hizbut Tahrir (Gema Pembebasan), Gerakan Tarbiyah (KAMMI), Kelompok Salafi mereka aktif dalam berbagai organisasi kampus seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Senat Mahasiswa (SEMA). Selain itu, mereka juga membangun jaringan di luar kampus melalui kos binaan, program beasiswa, dan masjid sekitar kampus.

Gerakan Tarbiyah, yang memiliki akar pada Ikhwanul Muslimin di Mesir, semakin mendominasi beberapa kampus besar seperti Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan IAIN Surakarta.

 

Proses Pembinaan dan Ideologi

Setelah direkrut, mahasiswa mengikuti halaqah atau kelompok kajian yang bertujuan memperkuat ideologi kelompok. Dalam 12 pertemuan pertama, mereka mulai diperkenalkan pada visi, misi, dan tujuan organisasi. Materi yang diberikan secara bertahap mempersempit cara berpikir anggota baru, membentuk pola pikir yang eksklusif dan menolak pandangan di luar kelompok mereka. Pada akhirnya, mereka diminta untuk menyatakan kesetiaan terhadap organisasi dan bersiap untuk berkontribusi lebih jauh.

 

Kesulitan untuk Keluar dari Organisasi

Banyak mahasiswa yang ingin keluar dari organisasi radikal menghadapi tekanan sosial dan psikologis, mereka sudah menjalin hubungan erat dengan anggota lain dan khawatir kehilangan lingkungan sosial mereka. Kelompok ini sering menanamkan rasa bersalah kepada anggota yang ingin meninggalkan mereka. Setelah mendapatkan doktrin yang kuat, mahasiswa merasa meninggalkan organisasi adalah tindakan yang salah secara spiritual.

Namun, ada mahasiswa yang akhirnya menyadari bahwa organisasi ini tidak sejalan dengan nilai-nilai keberagaman dan kemanusiaan. Membaca referensi lain membantu mereka mempertanyakan doktrin yang diajarkan, sementara diskusi dengan individu di luar kelompok mereka membuka sudut pandang baru. Kesadaran akan sifat eksklusif dan intoleran organisasi tersebut akhirnya mendorong mereka untuk keluar.

 

Solusi Mengatasi Penyebaran Radikalisme di Kampus

Radikalisme berkembang di luar ruang kelas dan sering luput dari pengawasan akademik. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut perlu diambil:

  1. Memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide kreatif dan kritis agar mereka tidak mencari jawaban di kelompok radikal
  2. Memperkuat organisasi mahasiswa inklusif seperti PMII, HMI, dan IMM sebagai penyeimbang ideologi radikal di kampus.
  3. Mendorong pluralisme dan diskusi lintas agama agar mahasiswa tidak hanya mendengar satu narasi yang tertutup.
  4. Memperkuat edukasi agama yang moderat agar mahasiswa memahami ajaran Islam yang inklusif dan toleran.

 

Peran Kampus dalam Menangkal Radikalisme

Kampus memiliki peran penting dalam menciptakan ruang diskusi terbuka bagi berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, HMI, PMII, dan lainnya agar wacana keberagaman dapat berkembang. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan literasi, ketahanan mental, serta pembangunan jaringan yang lebih inklusif bagi mahasiswa.

Deteksi dini dalam proses rekrutmen radikal menjadi langkah krusial, mengingat mahasiswa yang sedang mencari identitas cenderung lebih rentan terhadap ideologi ekstrem. Oleh karena itu, kampus perlu menyediakan referensi akademik yang luas dan beragam agar mahasiswa memiliki perspektif yang lebih kaya sebelum terpengaruh oleh paham tertentu.

Di era digital, media sosial memiliki peran besar dalam menyebarkan narasi moderasi. Sepanjang tahun 2024, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berhasil memblokir sebanyak 180.954 konten bermuatan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ruang siber. Sebagian besar konten tersebut merupakan propaganda dari jaringan teroris seperti ISIS, HTI, dan JAD yang secara aktif menyebarkan ideologi kekerasan melalui platform digital.

Kepala BNPT, Komjen Pol. Eddy Hartono, S.I.K., M.H., menekankan bahwa pencegahan adalah kunci utama dalam menangani ancaman terorisme. “Langkah pencegahan ini jadi yang utama bersama kementerian/lembaga sehingga Indonesia ini bebas dari ancaman terorisme,” ungkapnya dalam pernyataan pers akhir tahun BNPT pada 23 Desember 2024.

BNPT juga mencatat bahwa kelompok teroris kerap memanfaatkan ruang digital untuk merekrut anggota, menyebarkan doktrin ekstremisme, hingga merencanakan aksi kekerasan. Oleh karena itu, selain menindak konten radikal, BNPT aktif melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memperkuat ideologi Pancasila, demokrasi, dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana tertuang dalam Asta Cita Presiden RI.

Namun, peran keluarga tetap menjadi faktor kunci dalam membentuk cara berpikir individu. Jika mahasiswa merasa tidak memiliki ruang diskusi di lingkungan keluarga, mereka cenderung mencari komunitas lain yang bisa memberi mereka rasa diterima, yang dalam beberapa kasus justru mengarah pada kelompok ekstremis.

Beberapa individu yang pernah terlibat dalam kelompok radikal akhirnya memilih keluar setelah menyadari adanya kontradiksi antara nilai-nilai yang mereka pelajari dalam organisasi dengan prinsip keberagaman yang dianut oleh negara. Kesadaran ini sering kali muncul setelah mereka mengeksplorasi perspektif lain melalui diskusi atau bacaan di luar lingkungan mereka sebelumnya. 

Dosen dan akademisi memiliki peran besar dalam membentuk daya kritis mahasiswa. Melalui pemilihan literatur dan wawasan yang lebih luas, mahasiswa dapat belajar membedakan ideologi yang ekstrem dengan pemahaman yang lebih inklusif dan sesuai dengan nilai kebangsaan.

Radikalisme juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang akademik. Ada asumsi bahwa mahasiswa dari disiplin ilmu eksakta lebih rentan terhadap radikalisasi dibanding mereka yang berasal dari ilmu sosial, karena mereka cenderung kurang memiliki daya kritis terhadap isu-isu sosial dan politik. Namun, kampus berbasis agama juga berpotensi menjadi tempat penyebaran ideologi ekstrem jika pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran agama tidak bersifat moderat dan terbuka terhadap keberagaman.

Untuk itu, peran kampus dalam menangkal radikalisme harus dilakukan secara menyeluruh, baik melalui kebijakan akademik, bimbingan sosial, maupun ruang diskusi yang inklusif bagi mahasiswa. Dengan kerja sama lintas sektor yang solid, Indonesia optimis dapat terus mempersempit ruang gerak kelompok teroris, baik di dunia nyata maupun maya.

 

Daftar Pustaka 

Alawiah, W. N. (2023, November 7). Radikalisme di perguruan tinggi: Ancaman dan solusi. WGWC. Diakses dari https://womenandcve.id/blog/2023/11/07/radikalisme-di-perguruan-tinggi-ancaman-dan-solusi/

Marufah, T. (2022, November 4). Celah penyebaran ekstremisme di mahasiswa. WGWC. Diakses dari https://womenandcve.id/blog/2022/11/04/celah-penyebaran-ekstremisme-di-mahasiswa/

WGWC. (2020, Oktober 1). Talkshow WGWC Talk Seri #12: Adakah jalan kembali? Kisah mahasiswa bebas dari radikalisme.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top