Radikalisme, sebagai paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan, menjadi ancaman yang merayap di berbagai lapisan masyarakat, termasuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya melahirkan pemikir, peneliti, dan individu berwawasan luas, ternyata tidak terbebas dari bahaya laten radikalisme.
Stanislaus Riyanta, seorang pengamat intelijen dan terorisme, menyatakan bahwa paham radikal menyebar di kalangan anak muda, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Survey oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2020 menunjukkan adanya potensi radikalisme pada generasi muda, dengan persentase tertentu pada generasi Z, millennial, dan generasi X. Bahkan, beberapa kampus di Indonesia dicurigai menjadi tempat persemaian bibit radikalisme.
Dalam riset tersebut ditemukan adanya potensi radikalisme pada generasi muda, yakni generasi Z sebanyak 12,7%; millennial sebesar 12,4%; dan generasi X sebesar 11,7%. Tahun 2018, BNPT juga merinci sejumlah kampus yang dicurigai menjadi tempat persemaian bibit radikalisme, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (UNDIP), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).
Dapat diihat dari rincian yang dibuat BNPT, bahkan universitas ternama dan teratas di Indonesia sudah terpapar paham radikalisme. Mengapa paham-paham radikalisme bisa tumbuh dan bahkan berkembang ditingkat perguruan tinggi? Mahasiswa yang terpapar paham radikalisme, seperti kasus di Universitas Brawijaya (UB), cenderung mendorong dan menyebarkan propaganda yang mengarah pada tindakan kekerasan. Paham radikalisme ini dapat bersifat negatif, terutama ketika terkait dengan agama dan politik, menciptakan konflik dan intoleransi.
Penyebab Radikalisme di Perguruan Tinggi
Faktor-faktor yang membangun radikalisme di kalangan mahasiswa melibatkan kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan tersebut, ketidakpuasan atas situasi yang ada, dan kemampuan kepemimpinan tokoh penggerak. Dari sudut pandang Pancasila, yang pemahamannya bersebrangan dengan radikalisme, terlihat bahwa kurangnya penanaman nilai dari ideologi Pancasila dapat menjadi penyebab terpaparnya mahasiswa pada paham radikal.
Dampak dan Masalah Radikalisme di Perguruan Tinggi
Mahasiswa yang terpapar paham radikalisme dapat menunjukkan sikap intoleran, bahkan memiliki jaringan terorisme, seperti yang terjadi pada kasus penangkapan mahasiswa UB. Masalah ini dapat merusak nilai kesatuan dan persatuan, membahayakan stabilitas dan keamanan di lingkungan kampus.
Solusi untuk Mengatasi Radikalisme di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mencegah dan mengatasi radikalisme. Proses orientasi dan kegiatan mahasiswa dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai bela negara, mencegah ekstremisme. Penguatan pendidikan karakter melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Pancasila dapat membantu menanamkan rasa nasionalisme dan menjadi filter untuk menghindari pengaruh buruk.
Penanaman eksistensi religius dan peningkatan ilmu agama pada mahasiswa juga perlu diperkuat, dengan tujuan meningkatkan pemahaman toleransi antarumat beragama. Ketika rasa toleransi sudah tertanam pada mahasiswa, peluang munculnya paham radikal dan tindakan anarkis seperti terorisme dapat diminimalkan.
Masalah radikalisme di perguruan tinggi bisa dicegah dan diatasi dengan peran aktif perguruan tinggi itu sendiri. Penanaman nilai, pendidikan karakter, dan pengenalan toleransi antarumat beragama menjadi kunci dalam menjaga lingkungan akademis dari ancaman radikalisme. Dengan langkah-langkah preventif ini, diharapkan perguruan tinggi dapat tetap menjadi tempat yang aman, demokratis, dan berwawasan luas bagi perkembangan generasi muda.
Sebagai negara dan bangsa yang unik karena keragaman agama dan budaya, sangat perlu penanaman eksistensi religius pada diri mahasiswa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman akan toleransi antar 37 umat beragama. Jika rasa toleransi sudah tertanam pada diri mahasiswa, maka mustahil muncul paham radikal apalagi sikap anarkis seperti terorisme