31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Celah Penyebaran Ekstremisme di Mahasiswa

Beberapa waktu lalu tepatnya di bulan Mei 2022, kita kembali dikejutkan dengan penangkapan mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur sebagai bagian dari jaringan terorisme. Mahasiswa yang tercatat sebagai mahasiswa semester enam di Universitas Brawijaya itu diduga sebagai pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dia terlibat dalam kegiatan mengumpulkan dana ntuk membantu ISIS dan juga mengelola media social dalam rangka menyebarkan paham dan ideologi ISIS.

Jika anda masih ingat, beberapa tahun lalu juga telah terjadi beberapa kasus serupa. pada bulan Juni tahun 2018 ditemukan bom di UNRI dan tertangkapnya beberapa anggota jaringan Pepi Fernando di Tahun 2011. Tiga di antara anggota tersebut merupakan lulusan Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi memiliki potensi yang cukup besar untuk terkena paparan ideologi radikal dan eksrtimis. Beberapa pengamat mengatakan bahwa kampus bisa menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya pemahaman tersebut. Hai ini didukung dari data dan temuan riset yang telah dilakukan.

Berdasarkan riset yang dilakukan BNPT pada tahun 2018, terdapat 39 persen mahasiswa 15 provinsi tertarik pada paham radikal. Pada tahun sebelumnya survei yang dilakukan Alvara kepada para mahasiswa di beberapa perguruan tinggi menunjukkan 17,8 persen setuju dengan khilafah, 23,5 persen mendukung pendirian negara Islam, dan 29,5 persen tidak setuju dengan pemimpin nonmuslim. Hal ini menunjukkan menguatnya paham radikal dan intoleransi di kalangan mahasiswa.

Mengapa hal ini bisa terjadi pada mahasiswa yang diasumsikan sebagai pemuda cerdas dan kritis? Pendapat yang mengatakan bahwa radikalisme dan ektrimisme disebabkan karena rendahnya tingkat Pendidikan pun menjadi terbantahkan.

Gerakan Dakwah Islam Transnasional Yang Masif
Lembaga Gerakan dakwah di kampus merupakan pintu masuk semangat Islamisasi di perguruan tinggi negeri. Berdasarkan penelitian LPPM UNUSIA tahun 2018, menunjukkan bahwa Gerakan Islam transnasional yang mendominasi perguruan tinggi negeri. Gerakan tersebut adalah Hizbut Tahrir melalui Gema Pembebasan, Gerakan Tarbiyah lewat KAMMI, dan gerakan dakwah salafi.

Dalam penelitian tersebut yang dimaksud Gerakan Islam transnasional adalah gerakan keislaman di kampus yang berkiblat pada paradigma Islam di Timur Tengah, bukan paradigma Islam di Indonesia. Gerakan Islam transnasional coraknya lebih ekslusif dibandingkan dengan Gerakan Islam nasional yang inklusif.

Salah satu temuan penelitian yang menjadi poin penting adalah menguatnya dominasi Gerakan tarbiyah di kampus-kampus yang menjadi objek penelitian. Kampus tersebut adalah UNDIP, UNNES, ONSOED, UGM, UNY, IAIN Surakarta dan IAIN Purwokerto. Gerakan tarbiyah ini berkiblat pada ikhwanul muslimin di Mesir dan diyakini termanifestasi dalam organisasi KAMMI. Dari hasil penelitian juga teridentifikasi organisasi ini mengidealkan penerapan syariat islam dan berdirinya negara Islam.

Hizbut tahrir yang sudah dibubarkan pada tahun 2017, masih terlihat geliatnya dalam organisasi kemahasiswaan Gema Pembebasan. Selain itu juga terlihat Gerakan aliran salafi yang juga aktif menggelar kegiatan-kegiatan di masjid sekitar kampus untuk purifikasi ajaran Islam. Dalam hal ini, ketiga Gerakan itu saling berkontestasi dan menguasai berbagai elemen-elemen penting di kampus seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Senat Mahasiswa (SEMA), BEM, dan UMKM.

Tidak hanya di dalam kampus, Gerakan tersebut juga menguasai ranah eksternal kampus seperti adanya kos-kos binaan untuk kader dakwah, asrama mahasiswa, jaringan beasiswa dan masjid sekitar kampus. Internalisasi pemahaman keislaman yang ditawarkan Gerakan islamisme tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti halaqoh, liqo,dan Asistensi Agama Islam.

Ideologi yang Menjual dan Laris diikuti
Gerakan Tarbiyah yang mendominasi di kampus sekilas memang tidak bermasalah dan sah-sah saja. Bahkan, sangat menarik perhatian karena mengusung gagasan mengenai syumuliatul Islam. Menjadi muslim seutuhnya adalah dengan menerapkan Islam yang kaffah dan kembali kepada pedoman Al-Qur’an dan Sunnah. Ideologi ini dianggap menarik dan berkemajuan.

Namun, ideologi ini dapat menyebabkan pada pemahaman yang tekstualis. Hal-hal yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah dibid’ahkan bahkan dikafirkan. Hal inilah kemudian yang mengarah pada gerakan Islam ekslusif ditandai dengan pengakuan kebenaran mutlak dan menafikan kebenaran yang lain di luar kelompoknya.

Lantas mengapa ideologi Islam ekslusif seperti ini diminati? Menurut Prof. Noorhaidi Hasan,para mahasiswa tersebut berhadapan langsung dengan ekspansi ideologi Islamis yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan. Dengan narasi yang menekankan pentingnya kembali kepada dasar-dasar fundamental Islam dan keteladanan generasi awal. Islam yang lebih terbuka dan jauh dari ajaran fundamental tersebut dinilai sebagai penyebab Kegagalan dan keterpurukan umat Islam dalam politik, ekonomi dan dominasi sekuler Barat.

Selain itu, mahasiswa kampus umum biasanya berasal dari alumni SMA, SMK dan sekolah umum yang dahulunya belajar ilmu umum (nonagama). Keadaan tersebut menyebabkan mereka mengalami kekosongan spiritualitas. Ibarat gayung bersambut, semangat atau ghiroh belajar agama muncul disaat mereka bertemu dengan para aktivis Lembaga dakwah dari organisasi-organisasi tersebut. Latar belakang inilah yang membangkitkan sikap militansi keagamaan di dalam diri mereka.

Lantas apa yang Harus dilakukan?

Dari fenomena dan fakta yang ada, bisa dilihat bahwa sebenarnya ideologi radikal tidak berkembang secara formal dalam ruang-ruang kelas. Ideologi ini berkembang dalam kegiatan-kegiatan ekstra kampus yang seringnya luput dari pengawasan. Kondisi ini bisa diperparah jika kampus tidak memberi ruang untuk menyalurkan ide kritis dan kreatif bagi mahasiswa.

Program-program formal yang sistematis seringnya membuat mahasiswa bosan, jenuh dan bahkan menyebabkan stress. Ide-ide kritis dan kreatifnya menjadi tidak tersalurkan. Padahal mereka butuh ruang untuk menuangkan gagasan-gagasan tersebut. Jika ini terjadi, mereka cenderung melakukan pelarian kepada gerakan-gerakan radikal yang menurut mereka memberikan kebebasan berekspresi.

Karena itu, kampus dan para pemangku kepentingannya harus mendorong upaya pluralisme di kampus. Organisasi-organisasi kemahasiswaan lain dimunculkan sehingga wacana yang berkembang menjadi tidak tunggal. Organisasi Mahasiswa Islam Nasional yang inklusif seperti seperti PMII, HMI, dan IMM perlu dikuatkan dan menjadi peyeimbang dalam kontestasi Gerakan keislaman di perguruan tinggi dan mengisi ruang-ruang penting di perguruan tinggi.

TERBARU

Konten Terkait