Ibu, Juru Selamat di Tengah Stigma dan Radikalisme

Ibu memiliki peran sentral dalam keluarga sebagai penanam nilai-nilai, pelopor dalam kebaikan, dan pelindung bagi anak-anaknya dari keburukan, termasuk ekstremisme kekerasan. Ketika sang suami atau anggota keluarga lainnya terlibat dalam jaringan teroris, ibu kerap menjadi satu-satunya figur yang mampu menjaga stabilitas keluarga dan berjuang membangun kembali kehidupannya. 

Seorang istri mantan narapidana teroris (napiter) di Solo Raya juga mengalami hal serupa. Setelah suaminya ditangkap pada 2016 karena keterlibatan dengan jaringan teroris yang tidak ia ketahui sebelumnya, ia harus menghadapai berbagai tantangan berat. 

Ibu, Juru Selamat di Tengah Stigma dan Radikalisme

Beban finansial yang dulu ditanggung suaminya kini sepenuhnya berada di pundaknya. Ia harus berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus menghidupi tiga anaknya. Statusnya sebagai istri mantan teroris membuatnya menerima stigma dari lingkungan sekitar. Ia dijauhi, dicurigai, dan perlahan-lahan mengalami keterasingan sosial. Masyarakat yang dulu akrab kini menjaga jarak, seolah-olah ia ikut bersalah atas perbuatan suaminya.

Tekanan psikologis pun semakin berat. Trauma, rasa bersalah, dan ketakutan terus menghantuinya. Ia bukan hanya kehilangan suami sebagai pencari nafkah, tetapi juga kehilangan rasa aman dalam kehidupan sosialnya. Dalam keterasingannya, ia harus bertahan dan menemukan cara untuk bangkit kembali. 

 

Membangun Kembali Kehidupan 

Di tengah keterpurukan, ia memilih untuk tetap berdiri tegar, membangun kembali hidupnya dan masa depan anak-anaknya. Dengan segala keterbatasan, ia berusaha mencari cara agar tetap bertahan. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, ia mulai berjualan keset dan menyewakan ruko dengan harga terjangkau. Tak jarang, ia harus bekerja hingga larut malam, mengorbankan waktu dan tenaga demi memastikan anak-anaknya tidak kekurangan.

Namun, perjuangannya tidak berhenti di situ. Tantangan terbesar justru datang dari stigma yang melekat padanya sebagai istri seorang mantan narapidana teroris. Tatapan curiga, bisikan-bisikan di belakangnya, serta jarak yang tiba-tiba tercipta antara dirinya dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari realitas baru yang harus ia hadapi. Seolah-olah, kesalahpahaman dan ketakutan masyarakat menjadikannya bagian dari sesuatu yang sama sekali tidak ia pilih.

Sebagai perempuan, ia menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi. Lies Marcoes Natsir, seorang peneliti gender dan Islam menyatakan bahwa perempuan dalam konteks radikalisasi sering kali berada di persimpangan, antara menjadi korban atau justru agen perdamaian. Dalam situasi ini, kemampuan perempuan untuk membangun kembali kehidupan menjadi faktor kunci ketahanan mereka. 

Perjuangan ‘sang ibu’ untuk memenuhi kebutuhan finansial dengan membanting setir menjadi pembuat keset perlahan mengubah persepsi masyarakat tentang dirinya. Ia bahkan membentuk kembali identitas dirinya, bukan hanya sebagai ‘istri mantan napiter’, tetapi juga sebagai individu yang mandiri dan berdaya. 

Disaat yang bersamaan, ia juga menunjukkan ketahanan sebagai seorang ibu. Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jarinagn Gusdurian menekankan pentingnya peran ibu dalam membangun ketahanan keluarga, terutama dalam menghadapi situasi sulit. Alissa menambahkan bahwa seorang ibu tidak hanya berperan dalam pengasuhan fisik tetapi juga dalam memastikan anak-anaknya tumbuh dengan katahanan emosional yang kuat. 

Hal ini tanpa sadar diterapkan oleh ‘sang ibu’ ketika ia menyadari adanya perubahan sikap pada anak-anaknya. Ia berusaha menjaga tutur katanya, bersikap lebih lembut, dan memberikan dukungan emosional agar mereka tidak semakin sensitif atau terpuruk akibat kejadian ini. Baginya, memastikan anak-anaknya tetap merasa aman dan dicintai adalah hal yang paling utama. 

Istri dari mantan narapidana teroris sering kali menghadapi stigma sosial yang berat, seolah-olah mereka turut bertanggung jawab atas perbuatan suaminya. Padahal, banyak dari mereka justru menjadi korban dari situasi yang tidak mereka pilih. Dalam kondisi sulit, mereka berusaha membangun kembali kehidupan, merawat anak-anak, dan menghadapi tekanan dari lingkungan sekitar.

Namun, perjuangan mereka tidak seharusnya berjalan sendiri. Dukungan dari masyarakat dan kebijakan yang lebih inklusif diperlukan agar mereka dapat benar-benar pulih dan berkontribusi dalam upaya mencegah radikalisasi. Pengalaman mereka memberikan wawasan penting dalam memahami dampak ekstremisme terhadap keluarga dan bagaimana membangun ketahanan terhadap ideologi radikal.

Sudah saatnya kita melihat mereka bukan hanya dari masa lalunya, tetapi juga dari upaya mereka dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan membuka ruang bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dan kesempatan, kita tidak hanya membantu mereka bangkit, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dalam mencegah penyebaran ekstremisme.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top