Melansir dari data World Population Review (2024), Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak kedua di dunia. Terdapat sekitar 236 juta penduduk di Indonesia yang memeluk agama Islam. Ironisnya, sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia tak lepas dari ancaman radikalisme dan juga terorisme.
Di Indonesia, para pelaku aksi terorisme keagamaan mayoritas berasal dari kalangan umat Islam. Berbagai aksi radikalisme atas nama agama dalam dunia Islam memberikan kesan seakan-akan mewajibkan pemeluknya untuk melakukan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan sehingga memunculkan opini bahwa agama Islam identik dengan kekerasan. Di dalam al-Quran, pengertian jihad fi sabilillah sebenarnya lebih menekankan pada upaya atau perjuangan meningkatkan ibadah semata-mata karena Allah dan bukan untuk kepentingan yang lain. Islam sangat menentang tindakan kekerasan apalagi terorisme atas nama agama.

Dekonstruksi Tafsir Radikalisme
Sejak awal sejarahnya, Islam memposisikan dirinya sebagai ummatan wasatan (umat yang moderat) dan sarat dengan nilai-nilai perdamaian serta gerakan moral dengan jargon advokasi kaum lemah. Sayangnya, nilai-nilai yang sedemikian arif ini telah tereduksi oleh “oknum” yang memonopoli tasfir agama. Dalam hal ini, agama dijadikan justifikasi radikalisme hingga tindakan kekerasan ekstrim. Agama telah “dipenjara” dan dieksploitasi sesuai dengan tendensi ideologis mereka. Walhasil, yang mencuat ke permukaan adalah truth claim (klaim kebenaran) dengan indikasi memunculkan sikap reaksioner-destruktif atas segala perbedaan (ikhtilaf).
Islam sebagai agama memiliki teks yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga heterogenitas penafsiran merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Kondisi teks keagamaan Islam yang multi tafsir seakan-akan memberi peluang kepada siapa saja yang mempunyai kepentingan untuk menafsirkan sesuai dengan nilai kepentingannya. Hal inilah yang dilakukan oleh “oknum” dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sebagai alat untuk melegalkan aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Bahkan oknum semacam ini bersedia melakukan hal-hal yang irasional dengan mengorbankan harta hingga jiwanya.
Teks agama yang umumnya dijadikan basis dalam radikalisme agama terdapat dalam Surah At-Taubah ayat 29 yang artinya : “perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan patuh dan tunduk.” Muhammad Abduh, seorang reformis Islam, menafsirkan Surah At-Taubah ayat 29 ini dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan universalitas Islam. Ia menolak pemahaman literal yang mengarah pada kekerasan dan menegaskan bahwa jihad dalam ayat ini adalah respons terhadap penindasan dan ancaman eksistensial, bukan seruan untuk perang tanpa sebab. Hal tersebut didukung oleh Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim kontemporer, ia menekankan pendekatan kontekstual terhadap Al-Quran. Surah At-Taubah ayat 29 tersebut mencerminkan situasi historis tertentu dan tidak boleh diambil sebagai prinsip universal yang melandasi permusuhan antar agama. Sebagai umat Islam, kita memiliki kewajiban untuk mempromosikan interpretasi teks agama yang inklusif dan memfokuskan pada prinsip moral universal Islam, yaitu perdamaian dan keadilan.
Peran Ulama Perempuan dalam Memerangi Tafsir Radikalisme
Penemuan dari I-Khub Outlook BNPT RI tahun 2023, terdapat tiga kelompok rentan target radikalisasi, yaitu perempuan, remaja, dan anak-anak. Hal ini diperkuat dengan penelitian indeks potensi radikalisme, bahwa wanita, generasi muda, khususnya Gen Z umur 11-26 tahun dan mereka yang aktif di internet, memiliki potensi paling tinggi dalam paparan paham radikal.
Prof. Musdah Mulia menekankan jika perempuan bisa direkrut menjadi teroris, bukankan akan lebih mudah direkrut menjadi agen perdamaian? Sebab sekalipun perempuan menjadi pelaku-pelaku utama aksi ektremisme, menurut Musdah sesungguhnya mereka korban dari ideologi yang dimiliki suami atau keluarga; korban indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan; korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan para elit kekuasaan patriarki. Karena perempuan memiliki insting dan passion keibuan yang memungkinkannya lebih mudah menjalani tugas-tugas menjaga keberlangsungan hidup, mereda konflik, dan memelihara perdamaian.
Dari sinilah ulama perempuan berperan penting dalam pencegahan paham radikal, dengan kemampuan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks agama, keulamaan perempuan juga akan lebih bisa membangun narasi moderat, inklusif gender sebagai counter narasi eksklusif bahkan ekstrem yang berkembang masif, baik di media sosial maupun sosial masyarakat luas. Mereka juga mampu memberikan makna baru yang lebih resiprokal dan menghapus dominasi patriarki dalam memproduksi pengetahuan agama. Karenanya di sinilah peran strategis perempuan sekaligus otoritas keulamaan perempuan dibutuhkan untuk menghalau paham ekstrem yang berkembang.
Peran otoritas keulamaan perempuan sebagai benteng dari doktrin ekstremisme ini sentral dan sangat dibutuhkan, mengingat berbagai peran strategisnya sebagai pembuat fatwa yang mampu melakukan reinterpretasi teks-teks agama, mengontekstualisasikan, dan menarasikannya dengan sentuhan nilai-nilai inklusif gender. Selain itu, otoritas keulamaan perempuan juga memiliki basis riil kemasyarakatan, bahkan saat ini sudah menyebar pada platform media sosial, peran mereka mampu menjangkau dan masuk dengan lebih mengedepankan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal (yang sesuai dengan maqashidus syari’ah: hifdzun nafs, hifdzun nasl, hifdzud din, hifdzul mal, hifdzul ‘aql), ke dalam lingkungan institusi-institusi pendidikan, keluarga, anak-anak, perempuan, dan kelompok-kelompok rentan lain untuk bisa merangkul dan duduk bersama dengan setara; membangun dialog konstruktif yang lebih resiprokal, timbal balik, dan terus-menerus.
Sebagai penutup, jihad yang ideal adalah perjuangan dengan mencurahkan segala kekuatan tenaga dan mental untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian tidaklah benar bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan kekerasan dan radikalisme. Pandangan dan tindakan radikal atas nama Tuhan dalam Islam sangat bertolak belakang dengan konsep Islam yang sebenarnya. Karenanya kembali ke akar dengan metodologi penafsiran teks-teks keagamaan yang komprehensif merupakan sebuah keniscayaan demi menciptakan Islam yang damai.