Vivi Nurmasari: Penyintas Bom Terorisme yang Bangkit Membawa Perubahan Melalui Advokasi (Cerita 1)

Vivi Nurmasari, perempuan yang masih bergulat dengan bayang-bayang trauma setelah menjadi salah satu korban peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott pada Agustus 2003. Tragedi yang terjadi di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, ini mengakibatkan belasan nyawa melayang dan ratusan orang terluka.

Sebagai salah satu penyintas, Vivi berhasil selamat dari maut, tetapi peristiwa tersebut meninggalkan luka mendalam, baik secara fisik maupun psikologis. Akibat ledakan itu, ia mengalami luka bakar di tangan dan menjadi difabel. Kehidupannya pun berubah drastis. Jika dulu ia gemar melakukan manicure dan pedicure, kini kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan. Kondisi ini sering memicu rasa kesal dan kemarahan, terutama ketika ia mengingat ketidakmampuannya menikmati hal-hal yang dulu ia sukai.

Vivi Nurmasari: Penyintas Bom Terorisme yang Bangkit Membawa Perubahan Melalui Advokasi (Cerita 1)

Seiring bertambahnya usia, dampak fisik semakin terasa. Vivi merasa kesulitan berjalan, berbeda dengan teman-teman seusianya yang masih dapat bergerak normal. Untuk mengatasi keterbatasannya, ia rutin menjalani fisioterapi, minimal sekali seminggu.

Secara emosional, trauma yang ia alami juga terus memengaruhi kesehariannya. Ketika tidak mampu melakukan sesuatu, Vivi sering merasa frustrasi dan marah, yang kemudian berdampak pada kesehatan mental dan fisiknya. Menurut dokter, kebiasaan memendam emosi turut berkontribusi pada diagnosa kanker yang kini ia derita.

 

Dari Penyintas menjadi Penggerak Perubahan 

Kondisi tersebut tidak membuat Vivi menyerah. Sebagai penyintas, ia terus aktif memperjuangkan hak-hak korban terorisme melalui gerakan perubahan. Upaya ini bermula pada tahun 2003, pasca tragedi pengeboman, korban bom terorisme tidak mendapatkan perhatian dari negara. Vivi bersama rekan-rekannya mulai bergerak melakukan advokasi karena beratnya biaya pengobatan yang harus mereka tanggung. Mereka menuntut setidaknya adanya fasilitas pengobatan gratis bagi para korban.

Pada awalnya, Vivi dan kelompoknya mengajukan advokasi kepada Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Kesehatan, namun tidak ada anggaran yang tersedia untuk kebutuhan tersebut. Mereka kemudian melanjutkan advokasi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mendesak agar korban terorisme diakui sebagai penerima kompensasi. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil. Setelah berhasil melangkah sejauh itu, Vivi memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya melalui organisasi, memastikan gerakan perubahan yang ia pelopori terus berjalan.

 

Melakukan Gerakan Perubahan melalui Yayasan Penyintas Keluarga

Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) adalah organisasi yang menaungi dan memberikan pelayanan bagi para korban terorisme di Indonesia. YKP  secara hukum dibentuk pada tanggal 5 Agustus 2008 yang bertepatan dengan peristiwa Bom Mariot. Organisasi ini dibentuk dengan bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lahirnya dilatarbelakangi oleh gerakan advokasi para penyintas yang sudah dilakukan sejak tahun 2004 sering mendapatkan halangan karena tidak berlegalitas, sedangkan jika ingin bekerja sama dengan pemerintah harus mempunyai legalitas. 

Setelah mendapatkan legalitas, YKP bersama LPSK dan BNPT mengawal disahkannya UU Terorisme Nomor 5 yang mengatur pemenuhan hak-hak korban terorisme. Kendati undang-undang sudah disahkan, perjuangan tidak kemudian berhenti  karena tidak mudah juga buat korban untuk mendapatkan hak-haknya yang disebabkan oleh batasan-batasan tertentu dan masih banyak korban yang belum mengetaui aturan tersebut. Oleh karena itu, Vivi melalui YKP terus melakukan pendampingan kepada korban lain agar mendapatkan hak-haknya. 

Termutakhir, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perpanjangan batas waktu pemberian bantuan kepada korban terorisme masa lalu dari sebelumnya 3 tahun menjadi 10 tahun. Hal ini juga akan dimanfaatkan oleh Vivi untuk terus mendata dan mengadvokasi agar korban-korban terorisme yang belum mendapatkan kompensasi segera mendapatkan haknya. Saat ini, terdapat 218 orang yang didampingi YPK sehingga mendapatkan layanan dari negara. Vivi juga berharap LPSK dan BNPT dapat menyiarkan informasi ini kepada jangkauan yang lebih luas, tidak hanya di media sosial. 

Anggota YPK saat ini tersebar di Jabodetabek, Bandung, Jawa Barat, Jawa timur, Bali, Jawa Tengang, Ploso, Palu, Makasar, Medan. YPK juga aktif memberikan pelatihan-pelatihan kepada para korban terorisme karena korban terorisme tidak hanya membutuhkan bantuan paska ledakan, tetapi juga bantuan untuk melanjutkan hidup dan menghidupi keluarganya. Banyak dari korban adalah kepala keluarga. Pelatihan-pelatihan ini juga untuk korban disabilitas yang disebabkan oleh bom terorisme. Menurut Vivi, bantuan yang diberikan pemerintah tidak sebanding dengan apa yang sudah dialami korban bom terorisme untuk melanjutkan hidup dan menghidupi keluarganya dengan kondisi yang berbeda.  

Vivi mengaku senang  dengan gerakan perubahan yang sudah dilakukan. Keberhasilan mendampingi layanan teman-teman adalah obat baginya. Vivi sudah bekerja sejak gadis, kemudian diistirahatkan oleh perusahaan paska menjadi korban bom terorisme dan sulit mendapatkan pekerjaan baru. Ia pun memanfaatkan waktu luang untuk terjun ke organisasi karena tidak ingin meratapi nasib. Gerakan perubahan membuatnya merasa menjadi lebih bermanfaat dan bisa menghidupkan kepercayaan diri sebagai penyintas. 

 

Proses Penerimaan Korban yang Tidak Mudah

Vivi dan YKP juga pernah melakukan kegiatan rekonsiliasi bersama mantan pelaku bom terorisme. Kegiatan ini berawal dari undangan BNPT untuk mengikuti silaturahim kebangsaan yang mempertemukan korban dengan mantan pelaku. Pada saat itu, Vivi sangat terkuras emosi dan kesabaran dirinya karena harus bertemu dan memaafkan. Saat bertemu rasanya kesal dan marah. Ia pun meluapkan kemarahannya dengan memaki-maki mantan pelaku. Penerimaan tidak datang dengan mudah.

Namun, berkat kekuatan dari dalam dirinya dan dukungan dari para korban lain, Vivi akhirnya mampu menerima keberadaan mantan pelaku. Ia memilih untuk menyerahkan segala bentuk pembalasan kepada Tuhan, menghindari membalas dengan kekerasan. Bahkan, Vivi berhasil melangkah lebih jauh dengan menjalin pertemanan dengan beberapa mantan pelaku terorisme.

Menurut Vivi, salah satu pelajaran penting dari proses rekonsiliasi ini adalah perlunya menghadirkan pendampingan psikologis yang memadai, sehingga kedua belah pihak dapat menjalani proses dengan lebih baik, bukan hanya sekadar dipertemukan.

 

*Sumber tulisan:

Podcast berjudul “Kehidupan Paska Teror: dari Penyintas Menjadi Advokat” yang diakses melalui kanal YouTube WGWC https://youtu.be/B4PSGPtQW-Y?si=Wgw4pqvey17kdb51 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top