Vivi Normasari, Tak Gentar Walau Teror Menghadang

“Jangan pernah merasa sakit dan memiliki keterbatasan,” ungkap Vivi Normasari kepada Ruby Kholifah, saat diminta memberikan pesan kepada seluruh korban bom bunuh diri Hotel JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juli 2009 lalu. 

15 tahun sudah berlalu, namun peristiwa mematikan tersebut menyisakan rasa sakit pada tubuh Vivi Normasari, terutama di bagian tangannya. 

Vivi Normasari, Tak Gentar Walau Teror Menghadang

Kini, tubuhnya juga mengalami autoimun. Rasa sakit menyerang di beberapa bagian tubuhnya yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. 

Bukan perjalanan mudah bagi perempuan paruh baya itu, menjadi korban dari tragedi mengerikan tersebut yang dapat menghilang nyawanya seketika itu juga. Tak ada jaminan bantuan dari pemerintah untuk berobat. 

Dengan kesabaran dan keinginan yang kuat untuk sembuh, ia bersama beberapa korban bom bunuh diri itu mendatangi beberapa pihak yang diharapkan mampu mengulurkan bantuan kepada mereka.

“Karena untuk kemoterapi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sekitar 400-600 ribu rupiah,” jelasnya. Akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil, bantuan datang meski melalui jalan yang perlu diperjuangkan. 

Untuk itu, melalui pengalaman pahit yang dialaminya, ia bertekad agar orang lain yang menjadi korban seperti dirinya tidak perlu memperjuangkan haknya dengan susah payah sebagaimana yang telah terjadi.

Maka, ia membangun sebuah Yayasan yang diberi nama, Yayasan Penyintas Indonesia. Saat ini, Yayasan tersebut menjadi wadah untuk memberikan bantuan perlindungan kepada seluruh korban terorisme.

Namun awal mula berdirinya Yayasan itu juga tak mudah, ia mengalami beberapa kesulitan, utamanya di bidang pendanaan.

Selain itu, ia beserta kawan-kawannya yang lain kesulitan menyebarkan informasi terkait adanya bala bantuan, khususnya untuk kawasan daerah-daerah terpencil di Indonesia. Untuk itu ia sangat membutuhkan uluran tangan dari pihak lain.

Tak pantang menyerah, akhirnya ia berinisiatif untuk melibatkan orang-orang di daerah untuk mempermudah akses tersebut sehingga bisa terjangkau. 

“Kita agak kesulitan karena mereka gak tahu apa itu NDP,” ujarnya.

Namun hal itu bisa tertangani lebih baik lagi menurutnya, jika pemerintah juga terlibat mendukung perjuangannya melalui Rancangan Aksi Daerah (RAD). 

Melalui RAD tersebut, Vivi bisa memberikan masukan atau saran kepada pemerintah bagaimana sebaiknya bantuan tersebut disalurkan ke daerah-daerah dengan mudah dan menyeluruh sesuai dengan pengalaman dan kondisi yang telah mereka alami. 

Selanjutnya, masalah tidak akan sampai di situ begitu saja. Selain masalah kebijakan sebagaimana disebutkan di atas, ia mengungkapkan juga mengalami kesulitan di bidang teori atau dalam memberikan pemahaman kepada para korban.

Sebab, rata-rata, masyarakat yang menjadi korban dari peristiwa tersebut tidak berpendidikan tinggi sehingga sulit baginya saat memberikan pelatihan guna membantu ketahanan ekonomi mereka.

Salah satu contohnya adalah pelatihan Salon Kecantikan. Para Ibu Rumah Tangga yang menjadi korban teror dibekali pelatihan tersebut agar tidak selamanya mengalami ketergantungan ekonomi.

Namun apa yang terjadi, justru keterampilan tersebut tidak memberikan dampak banyak untuk mereka karena kurangnya pengetahuan sehingga mereka tidak melakukan apapun setelah acara pelatihan tersebut. 

Vivi menganggap hal itu sebagai tantangan. Masalah tersebut tidak akan menghentikan langkahnya untuk tetap berbuat kebaikan kepada orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Utamanya mereka penyitas terorisme. Ia akan berjuang sesuai dengan kemampuannya yaitu perlindungan hukum serta bantuan pangan lainnya jika memang dibutuhkan oleh keluarga korban karena yang mereka alami bukan suatu hal yang mudah. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka dan trauma.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top