Pendidikan merupakan sebuah pondasi dasar dalam membentuk karakter setiap warganya. Didalam pendidikan kita mendapatkan pandangan, gagasan dan ide yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pendidikan yang baik diharapkan masyarakat akan lebih cerdas, berakhlak dan maju dalam berbagai ranah kehidupan. Sebuah negara maju bisa dilihat dari kualitas sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan warganya dimana semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat perekonomian atau kesejahteraan masyarakatnya.
Lembaga pendidikan merupakan sebuah tempat untuk mengenyam ilmu pengetahuan, dimana pendidikan bertujuan untuk memperbaiki etika dan moral seseorang kearah yang lebih baik. Akan tetapi, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dan pembentukan karakter sebaliknya menjadi tempat tertutup kasus pelecehan dan kekerasan. Banyak lembaga pendidikan yang semakin menutup kasus pelecehan yang terjadi kepada para siswinya karena dianggap sebagai aib sekolah. Dilansir dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia di tahun 2021, tercatat 142 kasus, 194 kasus di tahun 2022, 285 kasus di tahun 2023 dan per/oktober 2024 naik menjadi 193 kasus. (JPPI, 2024). Menurut studi ValueChampion dari 14 negara, Indonesia termasuk negara terburuk dalam melindungi keselamatan dan aspek ketimpangan gender.

Para siswi di sekolah yang menjadi salah satu korban kejahatan kekerasan yang pelaku utamanya tidak lain adalah kalangan civitas akademik mulai dari staf pengajar, petugas cleaning service, keamanan dan lainnya. Salah satunya yang dialami oleh Widiya Hastuti selaku penyintas dalam diskusi “Bukankan lembaga pendidikan harusnya jadi #RuangAmanBagiSemua?” Kak Widia menceritakan adanya razia disekolahnya yang merujuk pada atribut perempuan seperti penggunaan jilbab, ciput, legging, bros, rok panjang, dan baju panjang. Mirisnya apabila mereka mendapati rambut siswinya keluar mereka akan langsung mengguntingnya kemudian rok panjang yang memiliki belahan justru digunting belahannya lebih tinggi. Selanjutnya, kasus pemaksaan penggunaan jilbab serupa dilakukan oleh oknum guru yang telah mencukur botak depan 19 siswinya karena tidak memakai ciput di SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur. Padahal mereka tetap menggunakan jilbab tetap saja disalahkan karena dianggap tidak sesuai dengan aturan syariat islam.
Kejadian ini menjadi sangat disayangkan karena terjadi di lingkungan akademika. Padahal seorang guru seharusnya mengedepankan aspek persuasif untuk mendidik dengan kelembutan dan kesabaran. Guru sebaiknya memberikan peringatan terlebih dahulu kemudian mengedukasi bagaimana menggunakan hijab yang baik. Para siswi memang kerapkali menjadi sasaran kekerasan karena perempuan mengalami intimidatif dari berbagai pihak dan tidak dapat membela diri bahkan tidak sadar menjadi korban kekerasan. Selain sekolah formal, lembaga pesantren (non-formal) juga kerap menerapkan kekerasan terhadap santriwatinya salah satunya film yang berjudul “perempuan berkalung sorban” mengangkat tentang pembatasan dalam berjilbab dan kebebasan memilih agama karena dibatasi oleh nilai tradisi yang mengisahkan seorang perempuan melawan budaya patriarki serta mengalami tekanan dari ayahnya dan tradisi pesantren.
Upaya menangani kasus kekerasan masih terbatas dan belum menyentuh ke ranah pemulihan korban secara psikis padahal dampak negatifnya cukup besar. Alasan utama mereka menutupi kejadian ini adalah menjaga nama baik sekolah sehingga tidak ada tindakan apapun dari pihak sekolah kepada pelaku kejahatan bahkan menyuruh korban untuk bungkam dan tidak boleh melapor kepada siapapun atas kejadian yang menimpa korban. Padahal sekolah yang baik bukan malah menutupi kejadian buruk melainkan membuka untuk menuntaskan permasalahannya.
Berdasarkan kejadian tersebut, korban mengalami dampak secara fisik, sosial dan psikologis misalnya ketakutan, trauma, depresi, emosi tidak stabil sehingga banyak yang memutuskan untuk drop out. Korban tidak berani melapor karena takut dianggap sebagai pembohong serta tidak ada dukungan dari berbagai pihak karena menganggap korban adalah orang yang salah dan pantas dihukum. Selain itu, ketimpangan kuasa juga dapat menyudutkan korban karena umumnya kasus tersebut dapat diubah oleh sang pelaku menjadi kasus pencemaran nama baik yang akhirnya korbanlah yang bisa dituntut dan mendapatkan denda atau hukuman berdasarkan keputusan pengadilan (Sriyanti, S., & Asbari, M., 2024).
Pemulihan korban kekerasan pemaksaan jilbab di lingkungan sekolah seharusnya menjadi tugas kita bersama untuk menyelesaikannya. Pihak sekolah harus memiliki tanggung jawab untuk memulihkan mental korban, memberikan kemananan dan kenyamanan dalam belajar serta memberikan sanksi kepada oknum guru yang melakukannya. Upaya pemulihan mental korban kekerasan harus dilakukan oleh psikolog yang disediakan oleh pihak sekolah dimana para korban segera mendapatkan penanganan yang tepat, tempat pelaporan bagi korban, dan sosialisasi anti kekerasan agar mereka dapat membedakan bentuk-bentuk kekerasan (Priyatna, S. R., Zulfikar, M., & Lubis, M. A. (2023).
Selain itu, melakukan kegiatan positif di sekolah yakni membentuk organisasi kesetaraan dan keadilan perempuan yang memuat perspektif tentang perempuan, stigma yang terjadi di masyarakat, serta motivasi dari perempuan dan untuk perempuan. Mengadakan kegiatan sosialisasi maupun lomba terkait perempuan sehingga pandangan bahwa siswi memiliki hak memilih untuk berjilbab atau tidak. Menyadarkan sekaligus menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender kepada seluruh lapisan masyarakat mulai dari kalangan biasa hingga para pendidik untuk menempatkan diri lebih toleran dan bijak dalam menyikapi perbedaan serta memerangi kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Daftar Pustaka
Priyatna, S. R., Zulfikar, M., & Lubis, M. A. (2023). Konseling feminis untuk pemulihan korban kekerasan seksual. Teraputik: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 6(3), 348-354.
Sriyanti, S., & Asbari, M. (2024). Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Journal of Information Systems and Management (JISMA), 3(1), 85-89.
WGWC grup. (2023, Agustus 23). Bukankah lembaga pendidikan harusnya jadi #Ruangamanbagisemua?[Video].Youtube. https://www.youtube.com/live/Ktd97RmIpPQ?reload=9&si=AkDA2C124a_Y3o4K
Tempo.co (2023). Geger kasus guru SMPN 1 di Lamongan cukur rambut 19 siswi gegara tak pakai ciput. Diakses 11 Desember 2024. https://www.tempo.co/politik/geger-kasus-guru-smpn-1-di-lamongan-cukur-rambut-19-siswi-gegara-tak-pakai-ciput-149897
JPPI (2024). Mengkhawatirkan, kasus kekerasan di sekolah terus meningkat, per oktober 2024 sudah lampaui rekor 2023. Diakses 11 Desember 2024.