Tinjauan Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Deradikalisasi di Indonesia

Sejak awal tahun 2005, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program deradikalisasi yang bersifat ad-hoc, yang dijalankan oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88), unit khusus kontra-terorisme di bawah Kepolisian Republik Indonesia. Namun, pada tahun 2010, pengelolaan penanggulangan terorisme beralih ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sesuai dengan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2010. BNPT bertanggung jawab atas implementasi upaya deradikalisasi dan kontra-radikalisasi. Pada tahun 2013, BNPT mengeluarkan Blueprint Kontra Terorisme yang mencakup strategi Indonesia dalam menghadapi ancaman terorisme. Dalam dokumen tersebut, BNPT membedakan antara deradikalisasi dan kontra-radikalisasi. Deradikalisasi ditujukan untuk ekstrimis yang telah ditangkap dan berada di penjara, sementara kontra-radikalisasi berfokus pada masyarakat umum. Secara sederhana, deradikalisasi dapat dianggap sebagai upaya “pengobatan”, sedangkan kontra-radikalisasi berfungsi sebagai “imunisasi” terhadap paparan ideologi ekstremis.

Pelaksanaan deradikalisasi oleh BNPT menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satu masalah utama terletak pada pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan de-ideologisasi, yang berfokus pada upaya memaksa perubahan ideologi pada narapidana teroris (Napiter) yang dilakukan dengan pendekatan yang homogen. Pendekatan ini terbukti kurang efektif, karena hanya mengutamakan perubahan ideologi tanpa memperhitungkan kompleksitas proses radikalisasi yang lebih mendalam. Pemaksaan perubahan ideologi sering kali menimbulkan resistensi, karena Napiter cenderung memandang program deradikalisasi sebagai upaya manipulatif, bukannya fasilitasi perubahan yang tulus. Akibatnya, pendekatan ini cenderung menghasilkan kepatuhan semata, bukan pemahaman yang mendalam. Tanpa adanya dorongan untuk pemahaman yang sejati, perubahan yang terjadi pada Napiter bersifat sementara dan tidak berkelanjutan, sehingga gagal menciptakan transformasi yang mendalam dalam diri mereka.

Tinjauan Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Deradikalisasi di Indonesia

Selain itu, kondisi di lembaga pemasyarakatan (Lapas) turut mempengaruhi efektivitas program deradikalisasi. Sebagian besar program deradikalisasi dilaksanakan di Lapas, namun infrastruktur dan sumber daya yang terbatas, seperti kekurangan petugas sipir dan kelebihan kapasitas penjara, menciptakan celah bagi penyebaran pemikiran radikal di dalam Lapas. Di samping itu, solidaritas yang kuat antara para Napiter dan kemampuan mereka untuk saling mempengaruhi melalui interaksi sehari-hari memperburuk situasi ini. Faktor-faktor tersebut memperlemah upaya deradikalisasi, karena individu-individu yang terlibat dalam radikalisasi dapat terus memengaruhi sesama narapidana.

Lebih jauh lagi, program deradikalisasi BNPT juga menemui kendala dalam hal evaluasi dan pemantauan terhadap Napiter. Meskipun rehabilitasi merupakan bagian dari tahap akhir program deradikalisasi, upaya ini masih dianggap kurang memadai. Bukti anekdotal menunjukkan bahwa BNPT belum mampu memberikan asistensi dan pemantauan yang efektif terhadap Napiter yang telah dibebaskan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka yang telah mengikuti program deradikalisasi dapat kembali terpapar radikalisme tanpa adanya pengawasan yang memadai, sehingga mengurangi keberlanjutan dan efektivitas keseluruhan dari upaya deradikalisasi. 

Keterbatasan yang ada membuat keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dapat dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan program deradikalisasi yang lebih efektif, meskipun peran OMS masih cukup terbatas. Salah satu mitra dari Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) yang terlibat dalam upaya ini adalah Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). YPP berpartisipasi pada tahap rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana terorisme (Napiter) dengan menggunakan pendekatan pengembangan sosial-ekonomi. Tujuannya adalah membantu Napiter menghadapi stigma saat kembali ke masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan YPP adalah mendorong Napiter untuk berwirausaha. Melalui program ini, Napiter dapat berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang yang beragam. Interaksi tersebut diharapkan dapat mendorong Napiter untuk menyesuaikan perilakunya dengan norma dan kesepakatan sosial yang berlaku. Selain itu, program ini bertujuan membantu Napiter membentuk identitas pribadi yang baru, yang terpisah dari pemikiran ekstremisme di masa lalu. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia mulai mengakui peran penting OMS dalam proses deradikalisasi. Pengakuan ini tercermin dari penetapan OMS sebagai “mitra strategis” oleh BNPT, dengan peran yang mencakup riset, pelatihan, advokasi, dialog, serta promosi nilai-nilai moderasi dan toleransi.

Karakteristik Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berperan penting dalam program deradikalisasi. Sebagai entitas independen, OMS dipandang oleh masyarakat sebagai lembaga yang netral. Pandangan ini membuat OMS lebih diterima oleh masyarakat dan narapidana terorisme (napiter), sehingga mereka lebih terbuka untuk terlibat. Dengan penerimaan ini, OMS mampu membangun jaringan yang kuat di tingkat akar rumput dan menerapkan pendekatan yang lebih personal dalam upaya deradikalisasi.  Selain itu, kepercayaan yang diberikan masyarakat dan napiter memungkinkan OMS menjalankan fungsi rehabilitasi dan pengawasan dengan lebih efektif dibandingkan institusi pemerintah. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas OMS, yang tidak terikat oleh prosedur birokrasi yang kaku. Sebaliknya, pemerintah sering kali terkendala oleh sistem birokrasi yang rumit, sehingga kebutuhan napiter mungkin tidak sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu, napiter cenderung lebih mudah menjalani proses rehabilitasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka ketika dikelola oleh OMS dibandingkan dengan pemerintah.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melaksanakan program deradikalisasi untuk menghadapi ancaman terorisme, program tersebut menghadapi berbagai tantangan signifikan. Pendekatan de-ideologisasi yang digunakan terbukti kurang efektif karena cenderung memaksakan perubahan ideologi tanpa memperhitungkan kompleksitas proses radikalisasi. Selain itu, kondisi di lembaga pemasyarakatan yang terbatas juga memperburuk upaya deradikalisasi, karena memungkinkan penyebaran pemikiran radikal antar narapidana. Kendala lainnya adalah kurangnya evaluasi dan pemantauan terhadap napiter setelah mereka dibebaskan, yang mengurangi keberlanjutan upaya deradikalisasi. Namun, keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dapat memperkuat pelaksanaan program ini. OMS, yang dianggap netral dan lebih diterima oleh masyarakat serta napiter, mampu membangun jaringan di tingkat akar rumput dan memberikan pendekatan yang lebih personal dalam rehabilitasi. Dengan fleksibilitas yang dimiliki, OMS dapat lebih efektif dalam menjalankan fungsi rehabilitasi dan pengawasan dibandingkan dengan pemerintah yang terhambat oleh birokrasi. Oleh karena itu, kerjasama antara BNPT dan OMS penting untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program deradikalisasi di Indonesia.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top