Terus Beribadah Walaupun Tidak Memiliki Gereja, Perjuangan Pengurus HKBP Cilegon dalam Membangun Rumah Ibadah

Latar Belakang

Indonesia, dengan keragaman budaya, agama, dan suku, kerap menghadapi konflik terkait keberagaman, termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah. Pada masa Orde Baru, wacana agama dibatasi di ruang publik, membuat masyarakat sensitif terhadap isu keberagaman. Penolakan pembangunan gereja, yang sering berujung pada pembakaran dan kekerasan, mencerminkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Data SETARA Institute 2023 mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, termasuk 65 gangguan terhadap pembangunan rumah ibadah, yang sebagian besar melibatkan aktor negara seperti pemerintah daerah.

Terus Beribadah Walaupun Tidak Memiliki Gereja, Perjuangan Pengurus HKBP Cilegon dalam Membangun Rumah Ibadah

Kebijakan pemerintah, termasuk Peraturan Bersama Menteri (PBM), memperparah konflik, terutama dengan keterlibatan pemerintah daerah yang menolak pembangunan rumah ibadah tertentu. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28E, yang menjamin hak setiap individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Pelanggaran kebebasan ini memicu kekerasan, seperti kasus di Kota Cilegon, Banten. Kota ini menolak izin pembangunan gereja dengan mengacu pada SK Bupati Serang 1975, yang melarang pembangunan rumah ibadah selain masjid. Narasi ini menjadi dasar masyarakat menolak permohonan pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon.

 

Tidak Ada Rumah Ibadah Lain Selain Masjid Di Kota Cilegon

Cilegon, dengan populasi 455,72 ribu jiwa, mayoritas beragama Islam (97,64%), juga dihuni umat Kristen (1,54%), Katolik (0,4%), Buddha (0,37%), Hindu (0,05%), dan Konghucu (0,002%). Kemajemukan ini dipengaruhi oleh keberadaan industri yang menarik pendatang dari berbagai latar belakang. Namun, pembangunan rumah ibadah selain masjid sering ditolak karena dianggap simbol eksistensi agama tertentu. Penolakan ini tidak hanya menjadi persoalan HKBP, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang perlu diselesaikan untuk menjamin kebebasan beragama bagi semua warga.

Rumah ibadah tidak hanya sekedar bangunan fisik, tetapi juga memiliki nilai sentimental dan sakral bagi pemeluknya. Konflik terkait pembangunan rumah ibadah menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dari pemerintah dan masyarakat. Kasus Cilegon menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan diskriminatif memengaruhi keberagaman dan menimbulkan konflik.

 

Upaya Pengurus Gereja HKBP Maranatha Cilegon dalam Mendapatkan Izin Pembangunan Gereja

Pengurus Gereja HKBP Maranatha Cilegon telah berjuang selama puluhan tahun untuk mendapatkan izin pembangunan gereja. Perjuangan dimulai sejak 1975, ketika SK Bupati Serang melarang penggunaan tempat ibadah bagi umat Kristen dan Katolik. Pada 2004, HKBP Maranatha memperoleh tanah di Kecamatan Grogol, namun harus ditukar untuk pembangunan pabrik. Meski pemerintah menawarkan lokasi pengganti, persetujuan masyarakat menjadi penghalang utama, dengan alasan manipulasi dokumen yang memicu protes kelompok masyarakat.

Pengurus telah mengajukan izin ke berbagai pihak, termasuk Walikota, DPRD, dan Kementerian Agama, tetapi selalu ditolak. Bahkan, fasilitas transportasi dari PT Krakatau Steel untuk jemaat ke Serang sempat dihentikan karena pengurus menolak syarat penghentian pengajuan izin gereja. Upaya mediasi dengan pemerintah daerah dan Kementerian Agama juga gagal terealisasi.

Akibatnya, jemaat harus beribadah di Gereja HKBP Serang, berjarak 60 km, dengan keterbatasan kendaraan. Meski menghadapi intimidasi dan diskriminasi, pengurus tetap teguh memperjuangkan hak beribadah sesuai konstitusi. Perjuangan ini mencerminkan semangat jemaat HKBP Maranatha Cilegon untuk memperoleh kebebasan beragama yang dijamin dalam keragaman Indonesia.

 

Pdt. SL. br. Sinaga, Pendeta Perempuan yang Tetap Mengajak Beribadah Meskipun Tidak Memiliki Gereja

Pendeta Sinaga dulunya menjadi pendeta untuk HKBP Maranatha Jakarta, akan tetapi baru-baru ini ia dipindahkan ke Cilegon. Kondisi Cilegon yang tidak memiliki Gereja membuatnya merasa sedih. Secara sosial kelompok umat beragama minoritas di Kota Cilegon tidak merasa akan adanya diskriminasi. Akan tetapi jika itu menyangkut hal pembangunan rumah ibadah, masyarakat kota Cilegon secara aktif menolak hingga menimbulkan demonstrasi. Pendeta Sinaga bukan hanya kehilangan haknya untuk mengekspresikan keagamaan, ia juga tidak memiliki hak beribadah. 

Selain haknya dalam beribadah tidak setara dengan kelompok umat muslim, ia juga khawatir dengan masa depan anak-anak umat HKBP. Menurutnya, para orang tua HKBP tidak ingin anak-anak mereka memanfaatkan waktu luang untuk hal yang negatif. Mereka ingin anak-anak HKBP juga memiliki waktu untuk belajar agama setelah pulang sekolah dan memiliki kegiatan di Gereja. Padahal untuk menciptakan anak-anak dengan moralitas tinggi bisa salah satunya dengan berkegiatan di Gereja. 

Adanya diskriminasi dan lokasi Gereja yang jauh tidak menghalangi Pendeta Sinaga dalam mengajarkan nilai keagamaan kepada anak-anak. HKBP Maranatha Cilegon memiliki ruko yang digunakan sebagai tempat sekolah agama dan kegiatan anak-anak untuk belajar agama. Menurutnya, dalam menyikapi adanya pelanggaran KBB di Cilegon ia tetap harus bertoleransi dengan masyarakat Kota Cilegon. Ia menyampaikan bahwa sebaiknya tetap menjalin persaudaraan dan saling menghormati ekspresi keagamaan satu sama lain. Walaupun tidak ada Gereja Pendeta Sinaga tidak patah semangat dalam mengajarkan kasih dan perdamaian. 

 

Perspektif Pencegahan Kekerasan Berbasis Ekstremisme (PCVE):

Kasus penolakan pembangunan Gereja HKBP Maranatha juga memiliki dimensi terkait ekstremisme berbasis agama. Penolakan yang disertai aksi demonstrasi, petisi, dan tekanan masyarakat dapat menjadi pemicu konflik horizontal. Narasi diskriminasi dan eksklusivisme agama yang terus berulang berpotensi memperkuat polarisasi sosial, yang merupakan salah satu indikator awal ekstremisme.

Dari sudut pandang PCVE, tindakan seperti manipulasi informasi atau penyebaran sentimen anti-minoritas perlu dicegah melalui edukasi publik tentang toleransi dan pluralisme. Selain itu, pemerintah daerah harus berperan sebagai mediator yang netral untuk mencegah eskalasi konflik, bukan sebagai pihak yang terlibat dalam polarisasi. Penandatanganan petisi oleh pejabat pemerintah, seperti Walikota dan Ketua DPRD, menunjukkan lemahnya komitmen dalam mencegah ekstremisme berbasis agama.

Pendekatan PCVE menekankan pentingnya membangun dialog antar kelompok agama, memberikan ruang ekspresi yang setara, dan memperkuat mekanisme resolusi konflik berbasis komunitas. Dengan cara ini, pemerintah dan masyarakat dapat mencegah radikalisasi yang dapat tumbuh dari konflik yang dibiarkan berlarut-larut, sekaligus memperkuat harmoni sosial di tengah keberagaman.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top