Pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana pesantren, lembaga pendidikan tradisional Islam, dapat tetap relevan di tengah arus modernitas yang deras? Di Cirebon, sebuah pertanyaan serupa muncul di benak para santri muda pada akhir dekade 90-an. Mereka melihat peran pesantren tergerus oleh pengaruh politik dan arus modernisasi. Dari keprihatinan ini, lahirlah Institus Fahmina Cirebon, sebuah lembaga yang berdedikasi untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual pesantren dan membangun masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera.
Perjalanan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual anak muda pesantren pada tahun 1998. Mereka memulai diskusi di berbagai pesantren, membahas kitab kuning dengan cara pandang yang lebih relevan dengan zaman. Diskusi ini disambut baik oleh aktivis muda pesantren dan mendapat dukungan dari para kyai senior. Dari diskusi ini, muncul berbagai kegiatan sosial, seperti JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) Cirebon, yang berupaya mengumpulkan dan menata buku-buku di pesantren, serta menyediakan informasi yang dibutuhkan. Namun, kurangnya wadah bersama membuat kegiatan mereka terpecah-pecah.

Pada tahun 1999, Fahmina berdiri atas Prakarsa KH Husein Muhammad, Affandi Mukhtar, Marzuki Wahid, dan Faqihuddin Abdul Kodir. Fahmina merupakan Lembaga independen, tidak terikat dengan pemerintah atau partai politik, dan terbuka bagi semua kalangan. Tujuan awal Fahmina adalah untuk mendukung kaum muda paska pesantren dan mengajak mereka mendalami kitab kuning secara lebih mendalam.
Seiring berjalannya waktu, Fahmina menjangkau masyarakat yang lebih luas, melalui media cetak seperti Warkah al-Basyar, yang mengajak masyarakat untuk menyadari ketidakadilan sosial di sekitar mereka. Fahmina juga memfasilitasi berbagai kegiatan seperti pengajian Ramadhan, diskusi bersama, pelatihan agama, dan diskusi kitab kuning, yang melibatkan para kyai, nyai, ustadz, dan santri senior.
Fahmina tidak hanya fokus kajian keislaman, tetapi juga berupaya menghidupkan kembali tradisi intelektual pesantren sebagai inspirasi untuk mewujudkan keadilan sosial. Mereka mendorong agar momen-momen keagamaan di pesantren diisi dengan diskusi dan kegiatan sosial. Hal ini terlihat dalam upaya mereka untuk mendorong agar acara-acara haul di pesantren tidak hanya diisi dengan ritual keagamaan, tetapi juga dengan diskusi dan kegiatan sosial.
Salah satu wujud nyata dari komitmen Fahmina terhadap keadilan sosial adalah pendirian Woman Crisis Center (WWC) Mawar Balqis. Berawal dari keprihatinan terhadap maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, Fahmina pada tahun 2001 memfasilitasi pendirian WWC ini di bawah naungan pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. WWC Mawar Balqis menjadi tempat berlindung dan mendapatkan bantuan bagi perempuan korban kekerasan. Sejak berdiri, WWC Mawar Balqis telah membantu ratusan perempuan korban kekerasan, memberikan pendampingan hukum, psikososial, dan ekonomi.
Kisah WWC Mawar Balqis menjadi bukti nyata bagaimana Fahmina menjawab tantangan zaman. Mereka tidak hanya berfokus pada kajian kitab kuning, tetapi juga turun langsung ke lapangan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Melalui WWC Mawar Balqis, Fahmina menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga menjadi pusat pengabdian dan keadilan sosial.
Fahmina menyadari bahwa perempuan memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Untuk itu, mereka fokus pada pemberdayaan perempuan dengan menyelenggarakan pelatihan tentang Islam dan Gender, yang mereka sebut “Dawrah Fiqh Perempuan”. Melalui pelatihan ini, Fahmina ingin menunjukkan bahwa Islam memandang perempuan sebagai individu yang setara dan berhak mendapatkan keadilan.
Mereka juga menerbitkan buku tentang topik ini, untuk menyebarkan pemahaman tentang Islam yang ramah perempuan. Selain itu, Fahmina juga aktif dalam membantu kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, memberikan dukungan dan pendampingan bagi mereka yang membutuhkan. Fahmina juga mempromosikan toleransi antaragama melalui dialog antaragama dan bantuan kepada kelompok minoritas agama. Mereka mendukung Forum Sabtuan Cirebon sebagai wadah dialog dan negosiasi antar kelompok agama.
Fahmina terus berupaya untuk memperluas jangkauan kegiatannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Salah satunya dengan mendirikan “Institus Studi Islam Fahmina” (ISIF).
Institus Fahmina Cirebon merupakan bukti nyata bagaimana tradisi intelektual pesantren dapat dihidupkan kembali untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera. Mereka terus berupaya untuk menjadi suara damai yang merdu dan menenangkan di tengah hiruk pikuk dunia. Fahmina menjadi contoh bagaimana pesantren, dengan tradisi intelektualnya yang kaya, dapat menjadi sumber inspirasi dan solusi bagi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat.