Penindasan dan pembungkaman atas perempuan biasanya dilanggengkan lewat pengabaian atas kemanusiaan. Atas nama agama, Saeed Hanaei, seorang pembunuh berantai di Mashhad, Iran, pada awal 2000-an, menjadikan pekerja seks sebagai target utamanya. “Aku membersihkan jalan untuk Imam Reza” dan “Aku tidak akan membiarkan darah para martir sia-sia,” ujar Saeed.
Aksi pembunuhan berantai yang dilakukan Hanaei tersebut mengklaim aksinya sebagai “jihad suci” untuk membersihkan dosa ini difilmkan. “Spider Killer” (Holy Spider) adalah film thriller kriminal Iran-Denmark karya Ali Abbasi, yang terinspirasi dari kisah nyata penelusuran Rahimi, seorang jurnalis investigasi, atas pembunuh berantai yang Saeed atas PSK.

Struktur sosial dan ajaran agama di Iran digambarkan sangat tidak ramah atas perempuan. Untuk itu, film ini juga mendapat banyak apresiasi karena kritiknya terhadap misogini sistemik di Iran, serta penggambaran perjuangan jurnalistik melawan korupsi dan patriarki. Selain itu, film ini juga menggambarkan ketegangan moral dalam masyarakat yang kerap mendukung kekerasan berbasis gender secara tidak langsung.
Di beberapa ulasan, film ini mendapat banyak apresiasi karena kritiknya terhadap misogini sistemik di Iran, serta penggambaran perjuangan jurnalistik melawan korupsi dan patriarki. Selain itu, film ini juga menggambarkan ketegangan moral dalam masyarakat yang kerap mendukung kekerasan berbasis gender secara tidak langsung.
Hidup sebagai seorang tukang batu, Saeed digambarkan sosok yang religius dan dan fanatik dalam keyakinan agamanya. Dia melihat banyak kebusukan di masyarakat, terutama laki-laki, disebabkan oleh perempuan atau pelacur. Maka, dia memutuskan untuk membersihkan masyarakat dari dosa dengan menghilangkan pelacur.
Sayangnya, sebagian besar PSK yang menjadi korban adalah wanita miskin terdesak kondisi ekonomi, lalu memutuskan untuk menjual tubuh mereka untuk memberi makan anak-anak mereka. Saeed sama sekali tidak peduli hal tersebut.
Di film ini digambarkan aksi pembunuhan PSK tersebut diterima oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pendosa, PSK yang menjadi korban kekerasan Saeed dinormalisasi oleh masyarakat untuk disiksa dan dibunuh, walaupun mereka tidak mengetahui siapa pelakunya. Padahal di sisi lain, aksi Saeed juga digambarkan menimbulkan rasa tidak aman dan banyak perempuan yang mengalami trauma jika beraktifitas sendirian, terutama di malam hari.
***
Film Spider Killer memberikan kita gambaran bahwa kekerasan simbolik atas perempuan sering dinormalisasi, bahkan mendapatkan restu. Kekerasan simbolik adalah konsep yang diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu, sosiolog, untuk menjelaskan bentuk dominasi yang terjadi secara tidak langsung melalui simbol-simbol budaya, bahasa, dan praktik sosial.
Normalisasi kekerasan atas perempuan dengan alasan status sosialnya adalah bagian dari kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu, kekerasan ini tidak melibatkan paksaan fisik, tetapi bekerja melalui penginternalisasian nilai-nilai dan norma oleh individu yang didominasi, sehingga mereka menerima status subordinatnya sebagai sesuatu yang “alami” atau “wajar”.
Dengan kata lain, kekerasan simbolik memanipulasi struktur kesadaran sehingga ketidakadilan menjadi tak terlihat. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik sering terjadi dalam konteks hubungan kekuasaan yang terselubung. Seorang PSK mendapatkan kekerasan fisik hingga dibunuh dianggap sebagai balasan karena telah menjadi “sampah” dan menjadi akar banyak kejahatan di masyarakat.
Normalisasi masyarakat atas kekerasan atas perempuan atau kelompok rentan lainnya adalah perilaku tidak manusiawi. Aksi Saeed yang dianggap wajar, bahkan ada sebagian masyarakat melihatnya sebagai perbuatan baik, yang digambarkan di film adalah bagian dari kekerasan simbolik. Di mana pengalaman hidup masyarakat yang mereproduksi kekerasan simbolik. Masyarakat, padahal, secara tidak sadar “menghidupkan” struktur kekuasaan melalui praktik sehari-hari.
Kekerasan simbolik dapat melanggengkan ketimpangan sosial karena ia bekerja secara halus dan sulit dilawan. Perempuan yang terjebak pada ketimpangan sosial, seperti PSK, akan semakin sulit keluar untuk mendapatkan akses pada kehidupan yang lebih baik. Kekerasan yang mereka dapatkan terus dinormalkan, bahkan tanpa dibela.
***
Perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan seksual, baik dalam kondisi konflik maupun damai, memerlukan pengakuan sepenuhnya atas hak asasi manusia mereka. Sebagaimana ditampilkan dalam film *Spider Killer*, kekerasan berbasis gender sering dianggap normal melalui pembenaran sosial dan simbolik. Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai kekerasan simbolik, yaitu bentuk dominasi yang diterima tanpa paksaan fisik tetapi melalui penyerapan nilai-nilai yang bias dan diskriminatif.
Kekerasan yang dinormalisasi terhadap perempuan, seperti pekerja seks, memperlihatkan bagaimana stigma sosial dapat digunakan untuk membenarkan ketidakadilan. Pekerja seks sering kali dicap sebagai sumber masalah sosial, sehingga kekerasan terhadap mereka dilihat sebagai tindakan yang “masuk akal” atau bahkan “diperlukan.” Namun, banyak dari mereka berada dalam kondisi ekonomi yang memaksa, bukan karena pilihan pribadi.
Kekerasan simbolik semakin memperburuk ketimpangan ini karena bekerja secara tersembunyi, sehingga sulit diidentifikasi dan dilawan. Oleh sebab itu, pendekatan perlindungan korban harus bersifat sistemik, termasuk melalui pendidikan masyarakat, reformasi hukum, serta penyediaan dukungan sosial. Langkah-langkah ini tidak hanya menciptakan keadilan bagi korban, tetapi juga mengakhiri siklus kekerasan berbasis gender yang terus berulang.