Sepak Bola, Strategi Pencegahan Radikalisme di Belgia

Pada tanggal 22 Maret 2016 lalu, warga Belgia dikejutkan oleh serangan teror yang menargetkan bandara utama Brussels dan sistem metro setempat. Dalam peristiwa ini, 32 orang dinyatakan tewas dan 130 orang mengalami luka-luka. Serangan yang diklaim oleh ISIS itu menandai salah satu tragedi paling suram dalam sejarah Belgia. 

Di saat yang sama, pemerintah seakan ‘ditampar’ oleh realitas yang memperlihatkan dampak nyata dari fenomena radikalisasi di tengah masyarakat. Insiden tersebut lantas membuat berbagai pihak terdorong untuk mengembangkan strategi pencegahan yang efektif dalam menghadapi ancaman ekstremisme dan kekerasan. Terlebih, Belgia sejatinya telah lama berkutat menghadapi problem kompleks terkait integrasi sosial dan pemberdayaan kaum muda di wilayah urban. Namun, pemerintah tidak memandangnya sebagai persoalan serius hingga berujung fatal. 

Sepak Bola, Strategi Pencegahan Radikalisme di Belgia

Warga Muslim Belgia, Korban Marjinalisasi dan Rasisme

Berdasarkan riset jurnalisme dari CNN, banyak daerah kantong urban di Belgia seperti di Moleenbek ditempati oleh mayoritas penduduk Muslim keturunan Timur Tengah. Mereka sudah masuk generasi kedua dan ketiga, yang lahir dan tumbuh besar di negeri berlian. Sayangnya meski tercatat sebagai Warga Negara Belgia, hak dan perlakuan setara sebagai warga negara tidak mereka rasakan. Banyak dari mereka menjadi korban diskriminasi, dan tidak diberikan kesempatan bekerja. 

Pengakuan dari Ali, bukan nama sebenarnya, salah satu warga Moleenbek mengatakan dua saudaranya yang menjadi anggota Sharia4Belgium telah berangkat ke Suriah, bahkan salah satunya telah terbunuh di medan perang.

Menurut Ali, Belgia masih memandang mereka sebagai orang asing, sehingga banyak pemuda kemudian merasa tidak berguna dan dalam kondisi tersebut, doktrin kelompok radikal kemudian masuk dan muncul bagaikan oase di lahan tandus. Mereka ditawarkan hidup ‘yang lebih baik’ dan tidak lagi terpenjara oleh ‘sistem pemerintahan kafir’. Alhasil, perlakuan buruk dan kurangnya kesempatan kerja untuk warga keturunan Timur Tengah di Belgia inilah yang dengan cermat dimanfaatkan oleh ISIS. 

 

Sepak Bola sebagai Alat Perubahan

Dengan latar belakang tersebut, Belgian Red Courts kemudian berinisiatif untuk menawarkan solusi konkret untuk membantu menciptakan perubahan positif agar para pemuda Muslim di daerah mereka tidak lagi terjerat propaganda kelompok teroris. Yang menarik, pendekatan yang mereka lakukan bukanlah melalui seminar atau ceramah, namun mereka memanfaatkan sepak bola sebagai sarana utama dalam pencapaian tujuan program. 

Mengapa olahraga, khususnya sepak bola? Ada beberapa alasan mengapa cabang ini dipilih. Pertama, tidak hanya populer, tetapi sepak bola juga sering menjadi bagian penting dari identitas komunitas, menjadikannya alat yang ampuh untuk mendekati kelompok yang rentan terhadap radikalisasi. Kedua, lapangan sepak bola relatif mudah diakses dan murah dibandingkan dengan fasilitas olahraga lainnya. Dengan membangun dan merenovasi lapangan mini seperti dalam program Belgian Red Courts, infrastruktur olahraga yang inklusif dapat dibangun di wilayah urban yang kurang terlayani, memberikan peluang yang setara bagi pemuda dari komunitas yang terpinggirkan.

Konteks sosial di Belgia, seperti tingkat pengangguran pemuda yang tinggi, pengalaman diskriminasi, dan kurangnya akses pendidikan bagi pemuda keturunan migran, telah diidentifikasi sebagai faktor pemicu mudahnya mereka terperangkap propaganda organisasi radikal. Melihat situasi yang ada, program sepak bola anti radikalisme ini diusung dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan inklusif yang merangsang dialog lintas budaya, mempromosikan toleransi, dan memperkuat rasa memiliki di antara para peserta muda.

Menerapkan teori “De-radicalization as Re-pluralization” yang diperkenalkan oleh Daniel Koehler (2017), program ini mencoba membalik proses radikalisasi dengan memperluas wawasan peserta tentang nilai-nilai alternatif, ideologi, dan cara pandang yang lebih plural. Dengan demikian, para peserta diharapkan dapat membangun ketahanan terhadap narasi radikal melalui pengalaman langsung di lapangan sepak bola dan diskusi kelompok yang mendorong pemikiran kritis dan empati.

Melalui program berbasis komunitas seperti yang ditunjukkan Belgian Red Courts dengan sepak bola anti-radikalismenya, Belgia kini berusaha untuk mengambil langkah proaktif dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Mereka tidak mau kecolongan lagi dari organisasi ekstremis yang dapat memicu tragedi baru seperti serangan teror di masa lalu. Dengan menjadikan sepak bola sebagai alat utama, program anti-radikalisme ini berfokus pada pendekatan preventif yang menggabungkan pembangunan keterampilan hidup, promosi kohesi sosial, dan pluralisasi ulang pandangan hidup di kalangan pemuda. Harapannya, sepak bola dapat menjadi sarana ampuh untuk membuka ruang kolaborasi, akses pendidikan, dan pemberdayaan pemuda, sehingga ke depan akar penyebab ekstremisme dapat lebih mudah diatasi, dan memberikan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top