Seni Pendidikan Perdamaian di Dunia Akademis ala Angel Damayanti (Bagian 2)

Pengamatan Sikap Toleransi

Belajar dari kasus 2019 lalu di mana ada seorang dosen dari salah satu universitas di Indonesia yang diduga berperan dalam merancang kerusuhan dan teror saat aksi unjuk rasa, Muhammad Nasir selaku menteri Kemendikbudristek saat menjabat menyerukan untuk melakukan profiling terhadap dosen. Namun bagi Angel melakukan profiling terhadap dosen tidaklah mudah untuk dilakukan.

Seni Pendidikan Perdamaian di Dunia Akademis ala Angel Damayanti (Bagian 2)

Jika universitas tersebut adalah universitas swasta, mungkin kebijakan profiling tersebut akan lebih mudah untuk dilakukan. Berbeda dengan universitas negeri yang mana pemerintah harus memiliki atuarn yang jelas. Apalagi jika mengingat terorisme bukan hanya berkaitan dengan agama saja tetapi juga dengan politik.

Terlebih biasanya tindakan kekerasan, ekstrimisme, radikalisme dan terorisme biasanya kerap dikaitkan dengan ideologi. Sedangkan ideologi sendiri tidak mudah dilihat seperti halnya profiling. Contoh pada pengeboman di London tahun 2005 yang pelakunya adalah seorang guru yang artinya ia memiliki profil yang baik dan dapat diterima masyarakat.

Selain profiling, menurut Dosen di Program Doktoral Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) ini, penilaian yang jauh lebih penting adalah melihat cara calon dosen/karyawan di satuan pendidikan tersebut dalam menyikapi toleransi. Bagaimana cara individu tersebut mampu menerima perbedaan mengingat kekerasan, ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme diawali dari sikap intoleransi.

Sikap menerima perbedaan ini bukan pada agama saja tetapi juga bagaimana individu tersebut mmpu menerima perbedaan pola pikir orang lain dan tidak merasa dirinya paling benar. Hal ini biasanya dapat terlihat saat ada rapat atau ruang diskusi lainnya. Sikap inilah yang justru lebih mudah menjadi tolak ukur jika dibandingkan dengan profiling seseorang.

Selain itu, terkait kepribadian yang toleran, Dekan FISIPOL UKI ini menyampaikan bahwa perlu adanya psikotes yang dapat melihat seseorang dari karakter dan kepribadiannya. Hal ini didasari oleh penelitian yang pernah dilakukan untuk melihat karakteristik teroris secara internasional. Selain itu, sikap dan karakter cenderung personal dan tidak dapat digeneralisir mengingat persoalan ini bersifat case by case.

Jika pun di dunia pendidikan menemukan individu di dunia akademis yang terlihat intoleran, maka menurut perempuan keturunan Sunda Betawi Chinese ini sangat perlu untuk segera dirangkul dan menjadi support sistemnya. Lebihh baik diajak sharing untuk dicarikan solusinya daripada lari ke arah yang salah. 

 

Terjun Langsung untuk Mempraktikan Ilmu

Sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan para pemikir, peneliti, dan individu yang ahli dalam bidang keilmuannya, dunia akademis khususnya perguruan tinggi temasuk menjadi lingkungan yang rawan terhadap penyebaran paham radikalisme karena dianggap strategis bagi kelompok-kelompok radikal untuk mendoktrin civitas akademik yang tidak memiliki latar belakang keagamaan maupun pemikiran yang kuat.

Oleh sebab itu, Angel juga merespon positif terhadap inisiatif BNPT yang telah menggandeng sejumlah kampus di Indonesia demi mencegah radikalisme di lingkungan perguruan tinggi dengan penelitian dan pengabdian masyarakat. Angel juga berharap agar kegiatan ini juga ditambah dengan adanya kesempatan magang untuk mahasiswa bersama BNPT untuk belajar mencegah terorisme yang telah dilakukan oleh BNPT.

 

Pendidikan Pluralisme di Lingkungan Keluarga

Terakhir, bagi Angel, pendidikan perdamaian di dunia akademis tidak terlepas dari pendidikan pluralisme di lingkungan keluarga. Apalagi jika hal tersebut ditanamkan sejak kecil. Seperti dirinya yang berasal dari keluarga dengan berbagai etnis. Ia dan keluarganya terbiasa merayakan tiga hari raya dari tiga kepercayaan.

Bagi anak-anaknya, mungkin awalnya merayakan tiga hari raya seperti sesuatu yang aneh. Lebaran iya, Natal iya, Imlek juga iya. Tetapi justru karena sejak dini terbiasa dengan keragaman perbedaan ini, anak-anaknya jauh lebih mudah menerima perbedaan dan merayakannya. Apalagi hari raya identik dengan selebrasi dan penuh kebahagiaan. Entah itu dari angpau-angpau yang diberikan ataupun hadiah natal. Karena sejatinya setiap agama mengajarkan suka cita untuk semua tanpa membedakan apapun.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top