Bagi perempuan ini, perdamaian terutama untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan, ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme harus diupayakan salah satunya melalui dunia pendidikan. Dia adalah Angel Damayanti, sosok perempuan yang kini menjadi dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Angel menempuh pendidikan sarjana di UKI dan melanjurkan pendidikan pasca sarjana di Universitas Indonesia serta Nanyang Technological University Singapore bidang Strategic Studies/International Studies and Counter Terrorism. Alasan Angel tertarik untuk mempelajari bidang ini berawal dari pengalaman kehidupan Angel.

Lahir di tengah keluarga yang sangat plural membuat Angel merasa terhenyak ketika mendengar terjadinya kasus-kasus pengrusakan gereja di Tasikmalaya dan Situbondo di tahun 1996 saat ia masih berada di bangku pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu Angel bertanya-tanya mengapa hal ini terjadi di Indonesia karena ia melihat pada keluarganya perbedaan beragama adalah sesuatu yang wajar mengingat ayahnya adalah seorang muslim dan mamanya adalah penganut agama Kristen.
Berdasarkan penuturan Angel dalam podcast Cafe Toleransi BNPT, radikalisme adalah suatu gerakan yang sebetulnya ingin menunjukkan suatu perubahan. Namun cara-cara yang digunakan tidak dapat diterima karena menggunakan kekerasan meskipun di luar sana banyak pula tindakan radikalisme yang tidak menggunakan kekerasan.
“Di Indonesia sendiri yang terkenal religius dan mayoritas beragama Islam, tindakan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme kerap dikaitkan dengan agama. Walaupun sebetulnya terorisme tidak terjadi pada satu agama tertentu. India misalnya, yang menjadi kelompok radikal adalah yang berasal dari agama Hindu. Sedang di Myanmar yang menjadi pelaku terorisnya adalah kelompok agama Buddha. Bahkan di Afrika kelompok radikalnya berasal dari agama Kristen bernama Lord Army” ungkap Angel dalam podcast tersebut.
Semakin maraknya kasus-kasus radikalisme ini kemudian membuat Angel tertarik untuk mempelajari dan mengetahui cara pencegahan hingga penanggulangannya. Setelah melanjutkan pendidikan doktornya di National University of Singapore pada 2013 dan Institute of Post Graduate Studies, Universiti Sains Malaysia pada 2017 serta pengalaman pluralisme di kehidupannya sejak dini, ada beberapa hal yang menurut Angel perlu diterapkan untuk merajut perdamaian di dunia akademis.
Memilih Sekolah yang Merayakan Semua Agama
Seni pendidikan perdamaian di dunia akademis menurut Angel yang pertama adalah dengan memilihkan sekolah yang merayakan semua agama. Hal ini ia lakukan juga untuk anak-anaknya. Ia tidak ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah yang hanya etnis atau agama tertentu sehingga Angel memasukkan anak-anaknya ke sekolah nasional yang merayakan semua agama.
Hadirnya keragaman ini akan membuat para peserta didik mempelajari dan terlibat pada perayaan agama tertentu. Misal saat Imlek yang tidak merayakan jadi bisa melihat Barongsai. Saat Ramadan yang tidak berpuasa bisa ikut memberikan donasi untuk berbuka puasa. Keterlibatan inilah yang menjadi pondasi penting untuk mencegah adanya tindakan-tindakan kekerasan, ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme.
Angel juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak melihat seseorang karena dari etnis atau agama tertentu. Ia mengajarkan mereka untuk melihat seseorang karena mereka adalah sesama manusia yang juga memiliki cinta kasih dan memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing. Dengan begitu, yang dibangun dari sikap ini bukan lagi sekadar membangun sikap pluralisme tetapi merayakan pluralisme.
Berfikir Kritis dan Berdiskusi
Sebagai seorang dosen, yang Angel lakukan untuk pendidikan perdamaian di dunia akademis yang kedua adalah dengan senantiasa mengajak para mahasiswanya untuk berfikir kritis dan berdiskusi. Ia tidak ingin mahasiswanya menerima bulat-bulat apa yang dikatakan oleh seseorang baik itu dosen, tokoh agama maupun teman bicara pada umumnya.
Angel selalu menantang mahasiswanya untuk berani berfikiran kritis dan berdiskusi. Ia kerap menyampaikan pada mahasiswanya sebagai seorang dosen Ia bisa saja salah atau mereka sebagai mahasiswa memiliki pandangan lain yang mungkin berbeda namun memiliki kebenaran. Hal ini ia lakukan untuk merangsang pola pikir mahasiswanya agar berpikir kritis dan tidak mudah disetir jika sewaktu-waktu muncul ideologi dan aksi-aksi radikal.
Hal ini juga Angel lakukan pada mahasiswanya yang berasal dari Papua yang kerap mendapatkan pemahaman separatisme sehingga pemahaman radikalnya bukan dilandasi agama melainkan etno nasionalis karena terpapar ideologi untuk mendirikan negara terpisah dari NKRI. Mereka biasanya justru tidak bersembunyi melainkan terang-terangan menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah.
“Nah ketika itu terjadi, ya biasanya saya akan rangkul secara personal gitu. Oh ya nanti selesai kelas kita diskusi yuk, berdua yuk gitu. Ya supaya teman-teman yang lain jangan terlalu dengar takutnya kan malah jadi akan menimbulkan friksi gitu kan” cerita Angel.
“Sehingga biasanya saya akan rangkul secara personal seperti nanti kita ke ruangan saya untuk diskusi ya, entah sambil minum kopi misalnya di kantin gitu ya. Saya terbiasa sih diskusi sama mahasiswa di kantin dan mereka terbuka dan mereka panggil saya kakak gitu. Jadi sepertinya nggak berjarak jauh banget sehingga mereka terbuka. Nah dari situlah kemudian kesempatan untuk saya mereduksi pemikiran-pemikiran yang bisa jadi selama ini salah karena mereka hanya dengan satu sisi kan dari kelompok yang katakanlah teman-temannya yang dari Papua gitu” lanjut Angel.
Selain itu, biasanya Angel akan meminta mereka untuk menuliskan di dalam essay mengapa mereka mendukung ideologi tersebut dan dilanjutkan dengan berdiskusi. Pada beberapa kesempatan, Angel meminta hal ini dijadikan tugas akhir atau skripsi agar ia dapat melihat cara mereka berpikir sehingga dapat diarahkan kembali.
Mengingat Angel adalah seorang akademisi yang mana harus bersikap objektif, maka mahasiswa pun mulai terbuka pemikirannya sehingga bisa mulai menerima perbedaan dan memiliki pandangan yang baru terhadap pemerintah.
Selain pendekatan yang bersifat akademik termasuk dengan adanya mata kuliah Wawasan Kebangsaan, Angel juga memberikan pendekatan secara agama terkait ideologi etno nasionalis ini karena mereka biasanya akan lebih mudah menerima mengingat mereka sangat religius. Pihak universitas dalam hal ini UKI juga memberikan kesempatan untuk ibadah khusus mahasiswa Papua setiap bulannya.
Saat ibadah tersebut, ada persekutuan doa setiap minggunya dan juga sharing session. Selain itu, di fakultas diadakan pula acara khusus untuk menunjukkan budaya Papua yang diinisiasi oleh anak-anak Papua agar mereka merasa diterima dan merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Dengan adanya pertunjukan budaya tersebut atau cross culture, sehingga sesama civitas akademik akan saling mengenal dan berinteraksi sehingga menimbulkan keterikatan yang positif.
Tidak hanya itu, Angel juga kerap mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia telah banyak membuka peluang untuk masyarakat Papua seperti beasiswa pendidikan. Ia juga mengingatkan agar mahasiswanya meneruskan mindset di atas kepada adik-adik maupun keluarga dan masyarakat di Papua untuk dapat mencegah terjadinya radikalisme yang bersifat etno nasionalis tersebut.