Oleh: Marzuki Wahid
“Risa (bukan nama sebenarnya) memilih meninggalkan kelompok kajian agama eksklusif di sekitar rumahnya setelah berkonsultasi dengan mentornya. Lewat pembicaraan dari hati ke hati, Risa berhasil mengurai pergumulan batinnya apakah ia akan memutuskan berbaiat atau sumpah setia pada kelompok yang meyakini tegaknya negara Islam di Indonesia secara buta atau memilih memaknai ketaatan beragama dengan cara yang lebih luwes.” Kutipan dari buku Teroris, Korban, Pejuang Damai, Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme Kekerasan di Indonesia (2023) ini adalah satu kasus dari puncak gunung es yang menyasar anak muda terkait ekstremisme kekerasan di Indonesia.
Kata Ruby Khalifah, Direktur AMAN (Asian Muslim Action Network) Indonesia, menyatakan bahwa banyak anak muda masuk dalam proses radikalisasi tanpa disadari, karena prosesnya yang sangat memikat. Ini sejalan dengan hasil survei BNPT tahun 2020, bahwa indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, urban, dan generasi muda. “Untuk generasi muda seperti generasi Z ada 12,7 persen, sementara untuk generasi millenial ada 12,4 persen, artinya anak muda sangat rentan terpapar radikalisme dan terorisme,” jelas Ketua FKPT Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen.
Nah, di sini dibutuhkan seni untuk mencegah benih-benih ekstremisme di kalangan anak muda dan mentransformasikannya menjadi juru damai. Perlu trik-trik khusus sesuai dengan karakter dan kecenderungan anak muda.
Hal ini telah tujuh tahun digeluti oleh Lindawati Sumpena, learning and product development manager dari Peace Generation Indonesia. Perempuan muda berdarah Tionghoa-Sunda asal Bandung ini mendedikasikan hidupnya untuk upaya-upaya mencegah ekstremisme di kalangan anak muda dan mengubahnya untuk menjadi juru damai.
Menariknya, Linda ini awalnya bukan seorang aktivis sosial yang menggeluti isu pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme. Tetapi dia adalah seorang insinyur Teknik Geologi yang hidup di lingkungan yang homogen dan secara keilmuan kurang bersinggungan dengan isu ekstremisme dan perdamaian.
Menurutnya, “Ada kisah yang sangat menyenangkan bersama nenek saya yang saat itu beragama Kristen. Kami tinggal bareng. Saat meninggal dunia, saya mengantarkan ke makamnya. Beberapa tahun, saya sering berziarah ke kuburannya. Tapi kemudian ada tokoh agama yang bilang, ngapain sih kamu ziarah ke kuburan orang non-muslim. Walaupun itu ibu kamu, itu tiada guna. Tidak akan membantu apa-apa. Doanya sia-sia saja. Sejak itu, saya berhenti ziarah ke makam nenek saya. Pernyataan ini sangat melekat. Ada dogma-dogma yang membuat saya sedih.”
Sejak itu, Linda mulai menggeluti filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Dia ingin keluar dari kejenuhannya sebagai saintis. Ada rasa kerinduan dengan keluarga ibu yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Linda juga kembali merindukan hidup dalam keragaman yang saling menghargai.
Gayung bersambut. Di tengah reorientasi ini, ada kesempatan untuk magang di Peace Generation Indonesia. Di sinilah, saya mulai menemukan kehidupan yang dirindukan, kehidupan yang terbuka, saling menghargai, dan tidak kubu-kubuan.
“Saya memilih untuk mendekati anak muda, selain karena terkondisikan oleh PeaceGen, juga karena dorongan hati saya untuk empowering anak muda. Mungkin ini juga cara saya memberontak dari pengalaman hidup saya di masa lalu yang dipenuhi dengan stigma dan prasangka,” jelas Linda.
Selama bergabung dengan PeaceGen dalam menggeluti anak muda untuk menjadi juru damai dan tidak bersikap ekstrem, ada sejumlah hal yang bisa dipetik sebagai cara atau seni mendekati anak muda.
Pertama, harus disadari bahwa perempuan, apalagi perempuan muda, adalah kelompok rentan yang perlu didampingi dan dilindungi secara intens, agar mereka tercegah dari ekstremisme. Dengan kesadaran ini, perempuan muda perlu diposisikan sebagai prioritas.
Kedua, dilakukan melalui permainan (board games), suatu hal yang sangat disukai anak muda. Keunggulan board games ini, saat pelaku memainkannya mereka lupa posisinya dalam alam nyata. Lupa bahwa dia adalah guru atau siswa. Lupa bahwa dia adalah atasan atau bawahan. Sehingga peluang dialog yang setara antarpemain terjadi. Ada dialog yang setara.
Selain itu, di dalam alur board games ada situasi konflik yang diciptakan, pemain bisa berdiskusi untuk menemukan cara resolusi konflik secara mandiri. Para pemain games juga diminta untuk melakukan refleksi tentang nilai apa yang didapat dari berdialog dalam menemukan resolusi konflik. Di situlah, para pemain akan menemukan “Aha moment”.
Dengan demikian, mereka akan menemukan nilai-nilai perdamaian, toleransi, anti kekerasan, anti ekstremisme tanpa harus diceramahkan. Mereka akan lebih mudah menangkap nilai-nilai tersebut melalui pengalaman langsung bermain dalam menghadapi kasus intoleransi dan ekstremisme.
Ketiga, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda, agar terjadi interaksi secara humanis dengan cara yang menyenangkan. Salah satu tagline yang dikembang PeaceGen adalah breaking down the wall, meruntuhkan tembok (prasangka). Untuk meruntuhkannya adalah dengan berjumpa langsung, berbicara, berdialog, dan berdiskusi secara setara.
Keempat, bekerja sama dengan sekolah-sekolah, di mana anak-anak muda berada di lembaga ini. Dipilih sekolah untuk menciptakan iklim otoritas yang mendukung. Kepala sekolah, guru, tenaga pendidik harus mendukung agar anak-anak peserta didik terkondisikan. Melalui pemegang otoritas, budaya toleransi, perdamaian, anti ekstremisme dapat dibiasakan. Harapannya, keberlangsungan upaya-upaya ini dapat terjadi.
“Ada pengalaman kerjasama dengan perguruan tinggi di Bandung, yakni mentoring perdamaian di kalangan mahasiswa dan mahasiswa dengan menggunakan modul dan games. Lalu, modul dan games oleh mereka diadaptasi untuk pelatihan kepemimpinan dan menghubungkan dengan penyusunan rencana strategis organisasi mereka.” Inilah bentuk keberlangsungan dalam penjelasan Linda.
Kelima, diciptakan interaksi yang cair antar kelompok melalui pelatihan yang terstruktur, di mana ada kurikulum, ada check in, tukar-menukar pengalaman yang beragam, melalui pentas budaya dan simbol-simbol perbedaan yang dimiliki. Pelatihan ini diperlukan untuk memperkuat dan memastikan agar anak-anak muda bisa menjadi juru damai di lingkungan masing-masing.
Menurut Linda, upaya-upaya ini penting dilakukan untuk menumbuhkan dua hal, yakni nalar kritis (critical thinking) dan empati pada nilai-nilai perdamaian. Dua hal ini harus sejalan dan ada pada anak muda bahwa mereka bisa menjadi bagian dari solusi perubahan yang damai, tidak dengan kekerasan. []






