Seni Menjadi Pendamping: Mendengar dan Tidak menghakimi, Pengalaman Erni Kurniati

Oleh: Marzuki Wahid

Dampak dari terorisme dan ekstremisme tidak hanya menimpa pada korban dan pelaku, tetapi juga pada keluarga mereka. Banyak pihak luput melakukan pendampingan kepada lingkar keluarga pelaku terorisme atau narapidana terorisme (Napiter), terutama istri. Dalam data temuan Tim Analis LAB 45 yang dirilis pada Senin (29/3/2021), terdapat 552 aksi teror terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 21 tahun, 2000-2021, termasuk aksi bom bunuh diri yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Kulminasi atau puncak tertinggi serangan teror di Indonesia terjadi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seni Menjadi Pendamping: Mendengar dan Tidak menghakimi, Pengalaman Erni Kurniati

Dalam setiap aksi teror dan penangkapan teroris, ada sejumlah perempuan yang terdampak karena penangkapan suami atau anaknya. Perempuan ini berjuang dari ke hari dalam kehidupan masyarakat atas berbagai tuduhan dan dampak yang ditimpanya. 

Tulisan ini hendak mengulik pengalaman Erni Kurniati, seorang psikolog sosial yang bekerja pada DASPR (Division for Applied Social Psychology Research). Erni telah terlibat dengan perempuan di lingkar ekstremisme sejak Maret 2019. Dia menjadi pendamping istri para Napiter. Baginya, menjadi pendamping adalah panggilan nurani, bukan semata tentang pekerjaan. Awalnya, memang hanya menjadi asisten peneliti, tetapi kemudian menjadi pendamping. Dia melakukan observasi, intervensi, dan menemani istri-istri mereka dan anak-anak mereka.

“Saya telah engage dengan para ibu-ibu Napiter. Pada umumnya, mendengar kata teroris itu serem. Harus menyesuaikan pakaian, harus menjaga sikap, berbahasa Arab-araban, seperti umi dan ukhti. Ternyata nggak seserem itu. Mereka ternyata seperti ibu-ibu yang lain. Ketika melihat anak ke hotel, ke Monas, ke Kebon Binatang, mereka sangat senang. Gak ada sama sekali ngebahas kasus orang tuanya atau suaminya tentang negara Islam. Mereka normal seperti orang tua yang lain. Akhirnya, saya penasaran sesungguhnya apa yang dialami perempuan di balik semua itu,” jelas Erni. 

Berdasarkan pengalaman Erni yang melakukan pendampingan karena dorongan kemanusiaan, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah pendekatan psikologi, sosial ekonomi, dan ideologi atau keagamaan. Sebagai seorang psikolog sosial, Erni mendampingi istri-istri Napiter lebih banyak dengan sentuhan psikologi. 

Pertama-tema yang harus dilakukan oleh seorang pendamping kepada istri-istri atau anak-anak Napiter adalah membangun kepercayaan (trust building). Kita harus memastikan mereka nyaman, tidak ada kekhawatiran, dan tidak terpaksa. Ciptakan suasana yang rileks. Kita harus mengurai benang kusut traumatik mereka. Biarkan mereka cerita dulu senyaman mungkin. 

“Bahkan, ketika itu ada sesi khusus dengan psikolog. Untuk membangun kenyamanan dan kepercayaan, dalam sesi psikolog ini tidak ada rekaman, tidak ada notulasi, tidak ada catatan, tidak ada dokumentasi. Ini benar-banar private. Sampai-sampai mereka berani membuka cadarnya, bagi yang bercadar,” jelas Erni.

Setelah mereka merasa nyaman untuk menerima dan ngobrol dengan kita, langkah berikutnya adalah proses pengenalan. Pengenalan penting dilakukan untuk membangun emotional bounding. Ngobrol dari hal-hal kecil yang tidak ada halangan untuk dikomunikasikan, mulai dari nama hingga hobby atau kesukaan. 

Nah, setelah itu ngobrol mengalir saja, yang pasti mereka harus nyaman dan naroh kepercayaan penuh kepada pendamping.  Dalam pendampingan harus terbuka, tidak boleh ditutup-tutupi, apalagi menutupi kebohongan. Jangan membicarakan suami yang sedang berada di dalam penjara, apalagi menyudutkan. Jangan pula membuat kecurigaan  bahwa pendamping hanya mengambil data atau informasi dari mereka, lalu setelah itu ditingalkan. Jika ini terjadi, maka besar kemungkinan akan terjadi penolakan dan kesulitan untuk membangun ikatan emosional dengan mereka. 

Setelah mereka merasa nyaman, sebaiknya para istri dan anak-anaknya diajak pada kegiatan yang menyenangkan, misalnya diajak jalan-jalan, piknik, makan-makanan, dan lain-lain. Tidak perlu membahas tentang agama dan penangkapan suaminya. Pendekatan ini sangat penting agar semakin kokoh kepercayaan mereka terhadap pendamping. 

Dalam pengalaman Erni, dengan cara semacam ini mereka merasakan sentuhan kemanusiaan, sehingga emosi mereka keluar. Sebagian besar mereka tidak mengetahui kasus suaminya, apa yang terjadi. Sering kali istri-istri Napiter tidak memiliki ruang tentang pandangannya. Mereka sibuk menghalau stigma yang dialamatkan kepada mereka, misalnya label kepada anak-anak mereka sebagai anak teroris. Padahal anak-anak tersebut tidak tahu apa-apa. Akibatnya, anak-anak pun mengalami trauma yang bisa jadi berkepanjangan, akibat menyaksikan ayahnya ditangkap. 

Oleh karena itu, anak-anak juga perlu memperoleh konseling agar anak-anak mereka terjaga. Jika istri-istrinya dikonseling, maka anak-anak juga perlu memiliki sesi konseling. Sebab mereka –dalam pengalaman Erni—masih berteriak saat mendengar suara motor. Masih tidur dalam mimpi buruk.  Di sinilah tidak hanya dibutuhkan psikolog untuk orang dewasa, tetapi juga diperlukan psikolog untuk anak-anak.  

Masyarakat seharusnya lebih bijak dan tidak melakukan bullying dan stigmatisasi terhadap anak-anak mereka, dan juga istri-istri mereka. Karena pada umumnya mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh suaminya atau ayahnya. Kalaupun mereka mengetahui, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya diam dan membiarkan saja sebagai sami’na wa tha’na, karena budaya patriarki yang mencengkeram dalam keluarga mereka.

Nah, di sinilah dalam pendampingan diharuskan ada rasa empati terhadap orang yang didampingi, agar mereka merasa nyaman. Pendamping juga harus mendengar secara generatif, tidak boleh menghakimi. Lebih dari itu, pendampingan yang dilakukan harus berkesinambungan.  Tidak hanya pendampingan ideologi atau agama, tetapi juga pendampingan psiko sosial dan sosial ekonomi. 

Etika lain yang sangat penting bagi pendamping adalah kemauan untuk mengalahkan ego, dan mengutamakan kepentingan orang yang didampingi, agar orang yang didampingi bertumbuh dan berproses menjadi orang yang mandiri.[] 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top