Reintegrasi Mekanisme Pencegahan Kekerasan Ekstremisme dengan Pendekatan Interseksionalitas

Pengalaman individu dalam organisasi ekstremis, serta dalam komunitas dan masyarakat tidak terlepas dari adanya identitas lain yang mereka miliki, seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual, agama, disabilitas dan faktor lainnya. Untuk itulah pendekatan interseksionalitas hadir untuk memetakan bagaimana pencegahan kekerasan ekstrimisme itu bisa dilakukan dengan mempertimbangkan keragaman identitas mereka. Menurut Profesor Ann Phoenix dari Institute of Education and Society of University College London, yang dikutip oleh The Conversation menyebutkan, pendekatan interseksional di mana beberapa kategori sosial saling bersinggungan satu sama lain dapat memungkinkan kebijakan sosial menjadi lebih inklusif dan adil. Sudut pandang keadilan inilah yang coba dihadirkan oleh WGWC agar pencegahan ekstrimisme itu tidak hanya berkaitan dengan represi saja, tapi lebih dari itu juga menyoal bagaimana kekerasan berbasis gender turut serta dalam mendorong terjadinya ekstrimisme.

Sistem pencegahan kekerasan ekstrimisme sejauh ini belum secara komprehensif memasukkan elemen-elemen kekerasan berbasis gender. Seperti yang kita tahu, Perempuan memiliki peranan penting dalam pencegahan radikalisme, terutama dalam aspek penguatan komunitas dan keluarga, sehingga mencegah ekstremisme dengan memasukan elemen kekerasan berbasis gender menjadi sebuah prioritas. Lebih lanjut, keterlibatan perempuan meningkat dalam aksi terorisme dari sisi peran dan jumlahnya dalam kurun 3 tahun terakhir. Bahkan sejak 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan sebanyak 13 perempuan terlibat dalam aksi terror, lalu pada 2019 bertambah menjadi 15 orang termasuk kasus peledakan diri yang dilakukan istri Abu Hamzah di Sibolga.

Reintegrasi Mekanisme Pencegahan Kekerasan Ekstremisme dengan Pendekatan Interseksionalitas

Mengapa Perempuan menjadi begitu rentan terjerat dalam kasus ekstrimisme ini? Dalam konferensi Women and PVE “Empowering Women Securing Peace” pada 12 Desember 2024, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irine Hiraswari menyatakan perempuan seringkali digunakan sebagai martir dengan memanfaatkan kelas sosial dan budaya patriarki yang melekat pada kehidupan mereka dengan menanamkan kesadaran palsu bahwa perempuan atau istri harus tunduk sepenuhnya kepada suami. Perempuan atau istri juga harus loyal dan patuh terhadap perintah suami. Dalam kasus ini, erat kaitannya dengan keterbatasan akses pendidikan dan pengetahuan, sehingga mudah sekali memainkan isu agama untuk mendapatkan loyalitas para korban. Mereka tidak hanya dipaksa, namun juga dibatasi aksesnya dan rentan mengalami kekerasan domestik. Begitu pula ketika mereka berstatus sebagai istri para pelaku ekstrimisme, mereka juga akan mengalami kekerasan yang tak jarang datang dari aparat dan masyarakat itu sendiri. Mereka melampiaskan kekesalannya pada para istri dan juga anak. Hal tersebut juga terjadi di konflik ekstrimisme Poso, Maluku dan Papua dimana istri dan anak dijadikan target dan diperkosa. Hal inilah yang mendasari mengapa ketika berbicara pencegahan ekstrimisme harus melibatkan perempuan sekaligus peka terhadap kekerasan berbasis gender. Jika tidak maka ruang-ruang yang kosong dari pertanyaan mengapa keterlibatan Perempuan dalam aksi terorisme meningkat tidak akan terjawab.

Kerentanan dapat membuat seseorang rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi. Dalam hal ini perempuan akan lebih mudah mengalami eksploitasi ketika mereka dipaksa melakukan beban ganda dan terdomestifikasi. Peran-peran mereka di ruang publik dibatasi sehingga mereka mengalami keterasingan pada akses pendidikan dan pengetahuan. Padahal kontribusi perempuan sangat dibutuhkan dalam menjaga keamanan dan perdamaian. Mengapa demikian? Penjelasan tersebut diuraikan oleh Nur Laeliyatul Masruroh, Program Manager dari C-SAVE yang merujuk pada pentingnya keterlibatan perempuan di garda depan untuk melawan ekstrimisme. Seperti yang kita tahu, perempuan adalah kelompok rentan yang beresiko mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi karena berbagai faktor yaitu usia, disabilitas, kemiskinan, pendidikan dan kesenjangan. Maka perlunya langkah awal dengan dijalankannya pemberdayaan perempuan untuk memperkuat posisi mereka sebagai garda terdepan dengan cara mendorong mereka tampil di ruang publik dan menempatkan mereka sebagai aktor kunci dengan memanfaatkan kekuatan unik mereka di meja-meja diskusi dan kepemimpinan.

Mengapa perempuan disebut sebagai aktor kunci? Karena perempuan memainkan peran inti di rumah tangga. Mereka dekat dengan anak-anak, lingkungan dan tetangga yang bisa mendeteksi masuknya paham-paham radikalisme sejak dini. Lebih lanjut, perempuan dapat juga disebut sebagai family protector. Mereka menjaga dan memberikan kenyamanan pada keluarga. Mereka bisa memantau jika ada perubahan tindakan dan perilaku dalam keluarga. Mereka bisa terlibat dalam kegiatan keagamaan bersama tetangga. Untuk itu menempatkan perempuan di garda terdepan sangat penting, berikut juga harus adanya program pemberdayaan yang berkelanjutan agar upaya penguatan keterlibatan perempuan tidak hanya untuk mencegah, namun merata hingga ke aspek konsolidasi kepemimpinan perempuan di semua sektor. Termasuk sektor agama yang hingga saat ini masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan yang memiliki kepekaan pada keluarga harus lebih banyak dilibatkan terutama sebagai pemimpin dalam komunitasnya.

Ketika berbicara tentang paham radikalisme, maka yang menjadi tokoh utama selalu adalah laki-laki. Mereka menyampaikan kekhawatiran tentang paham ekstrimisme dengan cara yang represif, sehingga tidak pernah mampu menyentuh secara sensitif persoalan perempuan. Bagaimana kesulitan perempuan itu dan diskriminasi yang mereka dapatkan akibat konstruksi patriarki ikut memaksa mereka ke dalam kondisi terdesak dan membuat mereka tidak mampu mengambil keputusan apapun di dalam keluarga, termasuk ketika mereka menjadi istri teroris. Mereka tidak memiliki kesadaran untuk melawan para suami, juga mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri ketika dijadikan martir. Bahkan mereka juga akan menjadi sasaran utama apparat serta masyarakat untuk menangkap suami-suami mereka yang menajdi pelaku. Tidak jarang proses penangkapan tersebut sangat tidak manusiawi, dan bahkan banyak sekali kejadian dimana suami belum tertangkap, maka kemarahan dilampiaskan kepada istri dan anak tanpa mereka bisa melawan. Untuk itulah pendekatan interseksionalisme itu perlu untuk reintegrasi pencegahan kekerasan ekstrimisme dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang melekat pada perempuan dalam upaya mewujudkan kondisi sosial dan politik yang egaliter dengan membebaskan perempuan dari penindasan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top