Perempuan menempatkan posisi strategis untuk difungsikan sebagai pelaku terorisme, sehingga perempuan acap kali menjadi pusat perhatian sebagai fokus utama kelompok ekstremisme. Tujuan utama para kelompok ekstremisme adalah salah satunya menjadikan perempuan berempati terhadap keluarga sendiri karena masalah ekonomi yang menimpa, sehingga merelakan diri mereka bekerja lebih keras hingga diberikan rayuan, iming-iming perolehan gaji besar dari para kelompok rentan untuk dipekerjakan di luar negeri yaitu di suriah. Disana mereka diajari cara membuat bom dan pencucian otak yang menjadikan perempuan sebagai pelaku. Perempuan sebagai sasaran para kelompok radikal berpikir bahwa perempuan akan aman dari aparat dan tidak dicurigai membawa bom sehingga taktik ini dilakukan karena dirasa cukup berhasil dalam memanipulasi sasaran.
Gagasan Kartini telah melintasi garis dari jaman ke jaman, ekualitas gender yang merambah tidak hanya menjadi domain di area sektor formal. Namun, merambah kepada extraordinary crime, tidak hanya kaum laki-laki yang menjajaki kejahatan namun perempuan telah merambah menjajaki maskulinitas yang menjadikan mereka sebagai pelaku. Transformasi perempuan tidak terlepas dari serangan teror karena figur perempuan yang diasumsikan dengan sifat lemah lembut dan penuh kasih sayang ternyata bisa juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal, sehingga perempuan kehilangan arah dan pengaruh emansipasi terhadap transformasi perempuan di ranah maskulinitas.

Figur perempuan juga menempatkan dirinya sebagai posisi strategis dalam pencegahan ekstremisme bisa membangun kegiatan sosial dan narasi positif baik di media maupun di lingkungan sekitar. Perempuan sebagai aktor dalam penanggulangan kekerasan mengarah pada terorisme melalui penyebaran komunitas perempuan sebagai salah satu fokus utama untuk peningkatan kapasitas dan partisipasi tokoh perempuan dalam mencegah penyebaran radikalisme. Para perempuan terutama yang telah menjadi seorang ibu membentengi dirinya agar bisa berpijak pada pendiriannya, walaupun dirinya terkena paham radikalisme, namun terkadang anak tidak menjadi korban dan anak tetap aman terbebas dari ideologi radikal.
Kesadaran pemerintah dalam menanggulangi paham ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme membentuk sinergi kuat yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berupa program Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme (RAP PE). Program tersebut, utamanya mengambil perempuan dalam keputusan dan implementasinya. salah satunya adalah Rotua Valentina yang terlibat aktif dalam Rencana Aktif Daerah Penanggulangan Ekstrimisme (RAD PE) di Jawa Barat. Hal ini memberikan dorongan untuk memperluas peran komunitas perempuan di masing-masing daerah dan pengarusutamaan gender secara eksplisit.
Seperti yang dikatakan oleh Direktur Kerjasama Regional dan Multilateral BNPT, M. Zaim bahwa perempuan memang rentang namun juga memiliki posisi peran yang sangat penting dalam menanggulangi ekstrimisme berbasis kekerasan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam upaya nya Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme (RAP PE) salah satu tujuannya adalah memperkuat jaringan perempuan dalam mendukung perubahan yang lebih baik agar para perempuan bersama masyarakat memperluas penyebaran narasi positif di lingkungan, mengingat banyak sekali masyarakat yang terpapar konten radikalisme di sosial media yang menjadikan mereka terjerumus dan mudah mengambil kesimpulan atas paparan narasi negatif.
Perempuan walaupun bukan figur yang menentukan penyebaran ekstimisme berbasis kekerasan namun peran perempuan dalam adalah kunci dalam membangun narasi positif, penetralisir narasi negatif dan pandangan inklusif untuk memutus rantai ekstrimisme terorisme. Perempuan memiliki resiliensi ganda yang menjadikan peran sebagai ibu dalam mendeteksi paham-paham radikalisme kepada anak, suami dan keluarganya serta mencegah potensi terjerumusnya perempuan dalam aksi terorisme.