Perempuan sebagai Juru Damai ditengah Konflik Sosial

Realitas menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu kontribusi signifikan yang dapat diberikan adalah dalam mendukung pembangunan masyarakat yang damai. Perempuan memiliki kapasitas sebagai agen perdamaian, dengan pendekatan yang inklusif dan relevan dengan kebutuhan khusus masyarakat. 

Dewan Hak Asasi Manusia mengakui peran penting perempuan dalam pencegahan dan penyelesaian konflik, pembangunan perdamaian, dan dalam pembangunan kepercayaan. Data United Nation Women tahun 2019 menunjukkan bahwa rentan waktu 1992-2018, terdapat 13% perempuan yang berperan sebagai negosiator perdamaian, 3% mediator, dan 4% penandatangan nota perdamaian. 

Perempuan sebagai Juru Damai ditengah Konflik Sosial

Kontribusi perempuan dalam resolusi konflik dan pembangunan perdamaian sangat penting dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan harmonis. UNCSR 1325 menyebutkan bahwa peran dan partisipasi perempuan dalam resolusi konflik mampu meningkatkan probabilitas nota perdamaian hingga 20% dalam dua tahun terakhir. 

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengakui pentingnya perempuan dalam membangun perdamaian, khususnya dalam konflik dan penanganan kekerasan. Komitmen tersebut diwujudkan melalui Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) melalui Permenko PMK No. 5 Tahun 2021. 

 

Pendekatan Inklusif Perempuan dalam Membangun Perdamaian 

Kehadiran perempuan sebagai aktor kunci perdamaian membawa perspektif baru yang seringkali luput dari pandangan. Mereka memiliki pendekatan yang lebih inklusif dan empatik dalam menyelesaikan konflik, yang pada gilirannya dapat menghasilkan solusi yang berkelanjutan. Sebagai bagian integral dari komunitas, perempuan memiliki kemampuan unik untuk menjembatani perbedaan antar kelompok yang berkonflik. Hal ini senada dengan ungkapan Christine Bell, seorang Profesor Studi Perdamaian dan Konflik, Universitas Edinburgh. Ia menekankan keragaman dan perspektif yang berharga dari perempuan dalam proses perdamaian. 

Salah satu contoh nyata dilakukan oleh perempuan Aceh pada awal tahun 2000-an lalu, saat Aceh masih dalam situasi konflik. Mereka mengadakan kongres perempuan yang disebut dengan Duek Pakat Inong Aceh untuk membahas agenda pemajuan perempuan diantaranya partisipasi politik, pengambilan keputusan, upaya damai serta pemulihan pasca-konflik. 

Kemajuan atas agenda-agenda tersebut juga didorong oleh keterlibatan Liga Inong Aceh (LINA) yang membantu menyatukan kembali masyarakat yang berkonflik, khusunya kelompok masyarakat perempuan. LINA berperan dalam memberikan edukasi kelompok perempuan yang berkonflik untuk berpartisipasi dakam kehidupan masyarakat secara umum dan partisipatif. 

Dengan berbagai upaya yang dilakukan, perempuan Aceh menunjukkan bahwa mereka memiliki peran penting dalam penyelesaian konflik dan pembangunan kedamaian. Melalui Duek Pakat Inong Aceh, mereka tidak hanya membahas isu pemajuan perempuan, tetapi juga berkontribusi pada upaya damai dan pemulihan pasca-konflik. Keterlibatan Liga Inong Aceh (LINA) semakin memperkuat jaringan solidaritas di antara perempuan, memfasilitasi edukasi dan partisipasi mereka dalam kehidupan masyarakat.

Di sisi lain, perempuan juga memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik melaui pendekatan informal diluar meja perundingan. Hal ini yang dilakukan oleh kaum perempuan di Maluku yang berusaha untuk menjembatani ketegangan antara komunitas Muslim dan Nasrani. Para perempuan yang tergabung dalam komunitas Papa Lele berani menerobos rintangan dan konflik yang sedang terjadi dengan tetap menghidupkan ekonomi melalui berjualan di pasar. Papa Lele menyadari bahwa konflik harus diakhiri karena ada kehidupan yang harus terus berlanjut. 

Sementara itu, tokoh perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman bersama dengan beberapa tokoh lainnya berbicara di beberapa negara di Eropa dan berbagai lembaga internasional untuk melakukan advokasi perdamaian dari konflik yang terjadi di Aceh. Misi diplomasi ini akhirnya mendapat perhatian dunia yang kemudian mendorong pada media persoalan konflik yang terjadi. 

Perempuan memiliki wawasan, pengalaman, dan akses yang unik dalam konteks konflik dan perdamaian. Mengakui dan melibatkan partisipasi perempuan adalah langkah penting dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Dengan beragam pendekatan yang diambil, perempuan membuktikan bahwa mereka adalah agen perubahan yang dapat menciptakan kedamaian dan mendorong kemajuan sosial. 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top