Maryam Vithriati: Membangun Kesadaran Melalui Dakwah Fatayat NU dalam Pencegahan Radikalisasi
Pelatihan Daiyah menjadi penting karena merekalah yang punya jamaah, sering bertemu dengan para jamaah itu dan merekalah yang akan mensyiarkan Islam yang ramah, toleran dan rahmatan lil alamin. – Maryam Vithriati, S. S., M. Si., MSW, Ketua Umum PW Fatayat NU Yogyakarta
Salah satu tujuan pelatihan dakwah yang pernah diadakan khususnya PW Fatayat NU Yogyakarta adalah bagaimana para Daiyah dilatih untuk mempromosikan nilai-nilai tasamuh (toleransi), tawasuth atau moderat (berada di tengah, tidak ekstrim), dan ta’adul (bersikap adil), selaras dengan landasan organisasi kami yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bisa dijelaskan sebagai paham yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya serta menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Semua hal tersebut menjadi pegangan para Daiyah dalam mensosialisasikan nilai-nilai agama Islam.

Selain secara konseptual dan ideologis, para daiyah juga dibekali keterampilan dakwah digital. Dalam dua tahun terakhir ketika Ramadhan, Fatayat Yogyakarta telah mengadakan pengajian full tigapuluh hari secara online.
Beberapa kali juga Fatayat diundang media televisi, radio, diminta beberapa kali memberikan kajian keIslaman. Hal ini menjadi penting saat digitalisasi dan masuknya paham radikal melalui media sosial makin sulit dibendung. Salah satu kerjasama tentang syi’ar online ini adalah kerjasama antara Fatayat NU DIY dengan Hidayatuna.com. Akhir November 2022, kedua lembaga itu resmi menandatangani kerjasama dalam rangka mengkampanyekan Syiar Islam Wasathiyah, melalui kegiatan talkshow series bulanan.
Kerjasama ini memberikan kesempatan bagi PW Fatayat NU DIY, untuk saling bersinergi dalam mengkampanyekan Islam moderat dan berperspektif adil gender, dengan menghadirkan tokoh-tokoh agama perempuan yang memiliki wawasan luas tentang Islam Wasathiyah. Selain itu, juga merupakan bagian dari kampanye Islam berwawasan moderat bersama situs-situs dakwah Islam yang rutin mengkampanyekan syiar moderasi Islam dengan mengangkat pandangan dan pemikiran Ulama, Kiai serta Ustadz yang kaya akan sumber pengetahuan Islam Wasathiyah.
Sementara di lingkungan Fatayat sendiri, Vivien menambahkan, “Kalau saya tidak salah ingat, ada Daiyah Fatayat, mbak Sri Wahyuni memberikan kajian online lewat Facebook dan Instagram setiap Sabtu pagi.”
Targetnya, setiap Daiyah Fatayat punya kemampuan teknis terutama soal bagaimana dia bisa menyuarakan nilai-nilai Islam yang Ahlussunnah wal Jama’ah terutama dalam konteks kesetaraan dan keadilan gender yang menurut Vivien, masih menjadi pekerjaan rumah di kalangan NU sendiri.
Lalu, ketika para Daiyah masuk dan berkolaborasi dalam lembaga keIslaman lainnya, MUI misalnya, mereka juga selalu diingatkan untuk merumuskan keputusan yang bisa menyentuh kebutuhan perempuan. “Karena kalau tidak, siapa lagi yg akan berpikir soal kebutuhan perempuan kalau bukan perempuan itu sendiri,” ujar Vivien menegaskan lagi upaya Fatayat dalam mementingkan pengarusutamaan gender dalam pencegahan radikalisme.
Pekerjaan rumah Fatayat yang lain terkait proses perekrutan kader radikal tersebut, menurutnya, terkait juga mengedukasi tentang kecerdasan digital. Temuan kasus menunjukkan bagaimana seorang perempuan terikut karena terpengaruh kelompok atau teman baru di dunia maya, di mana materi kajian disebarkan melalui media sosial.
“Hal ini penting saat sekarang, karena selama ini sosialisasi kecerdasan digital lebih kepada memberikan skill atau ketrampilan kepada masyarakat untuk mengenali dan memahami hoaks saja. Padahal kebutuhannya, sekarang urgen juga sosialisasi memberi kecerdasan digital dalam mengenali dan mendeteksi materi kajian keagamaan yang radikal, yang disebarkan secara masif lewat internet. Bagaimana pemahaman orang terhadap materi kajian ini ‘kan tergantung kepada kecerdasan mengelola informasi, menyaring mana yang salah dan benar di sana.”
Ketika ditanyakan, bagaimana respons dirinya yang juga sebagai pemimpin Fatayat bila sampai ada kader maupun jemaah Fatayat terikut dalam kelompok radikal. Vivien segera mengungkapkan pentingnya untuk mendampingi keluarga kader atau jemaah tersebut, terutama perempuan dan anak-anaknya. Karena bagaimana pun, yang rentan dan riskan kini adalah dua kelompok ini. Hal itu mungkin terjadi karena proses para perempuan terjerat kajian radikal mungkin memang terlewatkan didampingi teman-teman Fatayat.
“Biar bagaimana pun, bila sampai ada kader atau anggota yang terlibat, adalah tanggung jawab kita untuk mendampingi bahkan menarik kembali, membuat mereka kembali nyaman dengan kita sebagai organisasi awal, yang sejatinya tidak membuka ruang terhadap paham-paham yang radikal,” jelas Vivien menambahkan.
“Proses reintegrasi itu sulit, karena kadang ketika orang tersebut menemui kesulitan untuk masuk berbaur dengan masyarakat, dengan kita misalnya, dengan mudahnya mereka akan kembali ke lingkaran awal, yang baru mereka temukan,” ujarnya sambil menegaskan tentang pentingnya juga pelibatan komunitas sekitar, atau lingkungan tempat di mana orang yang bersangkutan tinggal sebagai pihak krusial yang membantu proses reintegrasi.
Pemaparan Vivien dari pengalamannya sebagai Fatayat, cukup menjelaskan bagaimana komitmen Fatayat yang tinggi untuk melakukan pencegahan paham radikalisme dan terorisme baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat secara luas.
Tak bisa dipungkiri lagi organisasi gerakan perempuan NU tersebut pro aktif dan terus berkomitmen mengambil bagian dalam jaringan Working Group on Women and P/CVE (WGWC) dalam mencegah maraknya faham radikalisme dan ekstrimisme melalui program-program dakwah yang toleran dan rahmatan lil ‘alamin.