Maryam Vithriati : Bincang Fatayat dalam Kontra Narasi Paham Radikal
Ini adalah kerja kolektif, bukan hanya individual atau keluarga saja. Ini kerja seluruh masyarakat dan warganegara sebagai bagian untuk menyelamatkan bangsa ini. Kalau kita tidak mau menjadi negara Taliban, ya kita sebagai umat Islam perlu sama-sama menumbuhkan Islam yang ada di Indonesia adalah yang rahmatan lil ‘alamin. – Maryam Vithriati, S. S., M. Si., MSW, Ketua Umum PW Fatayat NU Yogyakarta
Vivien, panggilan untuk Maryam Vithriati, ibu tiga anak yang berdomisili di Yogyakarta ini memaparkan banyak hal mengenai Fatayat dan bagaimana organisasi gerakan perempuan itu ikut aktif melakukan pencegahan radikalisme, dalam wawancara personal di sela-sela kesibukannya sebagai ibu dan pegiat organisasi.

Selama ini, Fatayat lebih banyak melakukan kerja-kerja upaya preventif, termasuk berkolaborasi dengan Aman Indonesia, dan organisasi perempuan Islam lainnya. Sebagai organisasi keagamaan perempuan yang memiliki basis jemaah di seluruh wilayah Indonesia serta kepengurusan mulai dari tingkat ranting hingga pusat, kader-kader Fatayat NU diakuinya memang sangat aktif untuk mencegah maraknya faham radikalisme dan ekstrimisme melalui program-program dakwah yang toleran dan rahmatan lil ‘alamin.
“Sampai seorang perempuan terjaring paham radikal, kita perlu melihatnya sebagai korban. Dia pasti terpengaruh oleh orang lain. Baik suaminya, keluarganya. Atau mungkin teman-teman lingkungan tempat dia bergaul. Jadi, kalo sampe terjerat, mereka itu salah faham atau ajaran. Dia salah memahami sebuah ideologi atau ajaran. Untuk itu, perlu adanya upaya komunitas untuk mendampingi bagaimana dia bisa memahami ajaran Islam dengan baik dan benar secara konteks.”
Vivien menceritakan sebuah pengalaman yang pernah didengarnya dari seorang kerabat. “Eksklusivitas kelompok kajian yang diikuti teman-teman perempuan yang terjerat paham radikal, benar-benar sangat sulit untuk diakses. Mereka bahkan lebih eksklusif dari teman-teman yang ingin buat partai Islam misalnya. Kita sulit mengetahui peran, kiprah, apa yang dilakukan kelompok ini untuk masyarakat. Tahu-tahunya mereka melakukan tindak kekerasan, melakukan pengeboman misalnya.”
Vivien mengakui bahwa PR Fatayat untuk proses reintegrasi dan rehabilitasi kepada yang terlibat, baik yang sudah melakukan, lalu terkena sanksi hukum, atau disebut napiter (narapidana terorisme), atau perempuan yang masih ikut kajian-kajian eksklusif tersebut kelak, lebih dari sekadar mendampingi, melainkan yang terpenting memberikan penyadaran.
“Kita seharusnya perlu mendekat kepada teman-teman yang selama ini salah memahami ajaran Islam. Karena yang perlu diluruskan dari teman-teman ini bahwa ada orang lain, ada hak-hak orang lain untuk beribadah, ada hak orang lain untuk hidup di muka bumi ini, tanpa melihat agama dan ideologinya harus melulu sama. Pemahaman itulah yang harus disampaikan kepada mereka. “
Ketika ditanyakan apa sebenarnya alasan para perempuan itu akhirnya tertarik dan ikut dalam kajian-kajian Islam yang radikal, Vivien memberi pernyataan yang seketika mengingatkan pentingnya pendekatan pengarusutamaan gender dalam merespons keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal.
Sampai seorang perempuan terikut dalam kajian Islam radikal itu, bisa diasumsikan karena kajian tersebut menyasar kaum perempuan. Orang-orang di dalam kajian tersebut sengaja mengangkat isu perempuan, berupaya mengakomodir kebutuhan perempuan yang tidak terpenuhi keluarga, sekitar dan kajian agama yang diikuti sebelumnya. Mungkin mereka merasa ada kekosongan kajian keagamaan terdahulu yang kurang menyentuh isu perempuan.
“Ini menjadi masukan bagi Fatayat sebenarnya, untuk membuat kajian yang ramah dan bisa mengakomodir kebutuhan perempuan. Di mana juga dalam diskusi kita turut memikirkan bagaimana kebutuhan ekonomi, kebutuhan psikologis, kebutuhan pemahaman akan hak sebagai perempuan dan anak. Karena saya melihat mereka tertarik bukan hanya soal ideologinya saja, tetapi ada janji-janji lain yang lebih menggiurkan.”
Kepentingan dalam melakukan pendekatan pengarusutamaan gender terutama dalam memenuhi kebutuhan perempuan ini, juga menjadi bagian dari program Fatayat ketika memberikan pelatihan dakwah kepada para Daiyah Fatayat. Untuk bagaimana semua materi keagamaan yang diberikan termaktub dalam kurikulum dakwah yang rahmah, toleran dan rahmatan lil alamin.
Kebutuhan untuk menangkal radikalisme di kalangan perempuan dan anak ini menjadi salah satu upaya menjawab kecemasan seperti yang diungkapkan Hj. Eny Retno Yaqut, Penasihat DWP Kemenag RI pada WGWC Talk #20 tahun 2022, tentang indoktrinasi ajaran radikalisme pada anak-anak yang diserahkan kepada kaum perempuan di dalam keluarga, maupun melalui pendidikan.