Perempuan sebagai Agen Perubahan (Bagian 1)

Pendekatan Pengarusutamaan Gender dalam Melawan Radikalisme melalui Fatayat NU

Motif utama Siti Elina coba menerobos pengamanan Istana Kepresidenan sambil membawa senjata api adalah untuk bertemu Presiden Joko Widodo.

Ia ingin bicara ke Jokowi soal kesalahan Indonesia memilih Pancasila sebagai ideologi. Siti dikabarkan sudah tiga kali mendatangi wilayah Istana Kepresidenan Jakarta. 

Perempuan sebagai Agen Perubahan (Bagian 1)

CNN Indonesia, 27 Oktober 2022. 

Berita yang beredar di akhir Oktober dua tahun lalu itu selaras dengan penuturan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H., pada suatu pertemuan di tahun 2022. Dia mengungkapkan kekhawatiran akan  keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme meningkat selama 10 tahun terakhir. Apalagi kini peran perempuan telah bertransformasi dari pendukung menjadi pelaku, seperti halnya Siti Elina. BNPT sendiri mencatat 18 perempuan muda Indonesia nekad melakukan aksi terorisme.  “Kelompok teror kerap memanfaatkan sifat feminim dari perempuan makanya banyak perempuan dilibatkan selama 10 tahun terakhir,” ujar Boy Rafli.

Sifat-sifat yang dimaksud terkait dengan potensi keberanian melakukan tindakan. Seperti kepatuhan kepada pimpinan, sensitifitas perempuan yang mudah terpengaruh, serta totalitas ketika melakukan aksi. Kelompok teror beranggapan ketika seorang perempuan sudah terpengaruh melalui proses ‘cuci otak’, mengendalikannya untuk melakukan sebuah aksi akan lebih mudah. Apalagi biasanya aparat tidak memasukkan perempuan sebagai kelompok yang patut dicurigai.

Analisis BNPT tersebut berdasar pada temuan bahwa sejak tahun 2000, lebih dari 50 perempuan terlibat dalam aksi terorisme, baik sebagai eksekutor, otak pelaku bom, pencari dana dan penyembunyi suami. Oleh karena itu, perspektif Counter Terorism  yang umum dipergunakan untuk menyiasati ekstremisme kekerasan; ditenggarai masih mengalami ketimpangan gender sehingga kurang tepat diimplementasikan lagi. Apalagi karena pengalaman perempuan sebagai korban, pelaku, dan juru damai tidak terbaca dengan baik. 

Untuk kasus belakangan, pendekatan PUG atau pengarusutamaan gender menjadi penting seperti halnya yang termaktub dalam siaran Pers Komnas Perempuan pada Hari Internasional Mengenang & Menghormati Korban Terorisme, 21 Agustus. 

Sejumlah perempuan dimanfaatkan dan dieksploitasi kemampuannya melalui saluran pernikahan. Persepsi bahwa “isteri mudah dibina dan dipengaruhi” menjadikan perkawinan sebagai media yang dianggap lebih aman untuk indoktrinasi dan koordinasi.

Pada Siaran Pers itu, Komnas Perempuan tak hanya membeberkan fakta, tetapi memberikan ide resolusi terhadap kondisi tersebut. Counter Violence Extremism (CVE)  paling efektif dilakukan melalui peningkatan pendidikan, pemikiran kritis yang lebih baik, dan peningkatan peluang bagi perempuan. Potensi perempuan untuk pencegahan kekerasan ekstrim dan terorisme berkaitan dengan keluarga, menemukan tanda-tanda radikalisasi dan mengkampanyekan narasi-narasi moderasi dan perdamaian. 

Salah satu dari sejumlah organisasi perempuan di Indonesia yang aktif berkontribusi dalam strategi pencegahan dan penanganan kekerasan ekstrim secara nasional di Indonesia adalah Fatayat NU. Fatayat NU menjadi salah satu organisasi yang penting untuk menekan berkembangnya paham radikalisme dan terorisme di Indonesia, karena memiliki jejaring yang mapan dari level pusat hingga tingkat pedesaan.

 

Mengapa Fatayat NU?

Didirikan pada tahun 1950, Fatayat NU memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Indonesia. Organisasi yang menjadi lembaga badan otonom perempuan Nahdlatul Ulama ini didirikan tiga perempuan asal Surabaya, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi kekuatan yang berpengaruh di tanah air. Fatayat NU aktif dalam pemberdayaan perempuan melalui Islam dan perlindungan hak-hak perempuan dalam komunitas Muslim. 

“Sudah sejak lama, Fatayat punya komitmen untuk mensosialisasikan Islam ramah,” ujar Vivien, panggilan  Maryam Vithriati, S. S., M. Si., MSW, Ketua Umum PW Fatayat NU Yogyakarta. Ibu tiga anak yang aktif sebagai dosen itu menjelaskan, Fatayat NU, terutama Yogyakarta berpernah berkolaborasi mengadakan pelatihan dengan Mafindo tentang pencegahan radikalisme dan terorisme, di mana  rencana dan program tindak lanjutnya sangat menarik untuk diteruskan teman-teman Fatayat ketika kembali ke daerah-daerah, bahkan sampai level kecamatan dan desa. 

Komjen Pol Boy Rafli Amar, ketika menjabat sebagai Kepala BNPT pada acara Sarasehan Kebangsaan BNPT RI bersama Forum Daiyah Fatayat (Fordaf) NU Provinsi Jawa Barat yang berlangsung di Bandung, tahun 2020 lalu, pernah menegaskan bagaimana posisi Fatayat NU dalam membendung ancaman terorisme. Utamanya berperan sebagai dai’yah-dai’yah yang sehari-hari bertemu masyarakat bahkan sampai level bawah struktur masyarakat, RT/RW, desa/kelurahan dan kecamatan di berbagai pelosok Indonesia.  

Bila di awal, Boy Rafli mengungkapkan sifat feminim perempuan menjadi perhatian khusus kelompok teroris, kehadiran dan pemberdayaan kader Fatayat NU justru bisa menjadi kontra narasi.  Posisi perempuan dalam hal ini Fatayat seperti kata Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid waktu itu, justru menjadi penting. Bagaimana tidak? Para perempuan yang juga ibu inilah yang bisa melakukan imunisasi ideologi, penanaman nilai atau orientasi, yang menjadi vaksin untuk menangkal ideologi radikal; yang bisa dilakukan, mulai dari rumah, sejak seseorang berusia kanak-kanak. 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top