Perempuan di Tengah Konflik Geopolitik: Mengakhiri Penindasan dengan Peran Keterlibatan

Keterlibatan perempuan dalam misi perdamaian di tengah konflik geopolitik kini mulai dipertimbangkan seiring banyaknya peristiwa konflik yang menempatkan perempuan pada kondisi penuh penindasan. Konflik Palestina-Israel misalnya, mulai terjadi sejak Deklarasi Balfour pada 2 November 1917, dan kembali memanas mulai 7 Oktober 2023 hingga saat ini. Konflik ini menarik perhatian seluruh dunia tentang apa yang terjadi disana hingga banyak orang dan organisasi kemanusiaan berbondong-bondong mengecam tindakan Israel terhadap warga Palestina yang dianggap sudah melewati batas dan termasuk kejahatan genosida. Pembasmian genosida ini menyebabkan seluruh Warga Palestina merasakan dampaknya, tak terkecuali anak-anak dan Perempuan Palestina. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women), sejak 7 Oktober 2023 sudah tercatat lebih dari satu juta perempuan diusir dari tempat tinggalnya, 3.000 ibu telah menjanda dan menjadi kepala keluarga, atau sekitar 2 ibu terbunuh setiap jamnya. Hingga kini, jumlah korban jiwa telah melampaui angka 30.000, dimana 70%-nya adalah perempuan dan anak-anak yang menjadi kelompok paling rentan menjadi korban di Tengah konflik. Saking besarnya skala kerusakan yang ditimbulkan terhadap perempuan, UN Women bahkan menjuluki perang Gaza sebagai ”perang terhadap perempuan (war on women)”. 

Studi dari Institut Riset Perdamaian Internasional Oslo (PRIO) pada 2009 menyimpulkan, perempuan lebih rentan terhadap semua dampak tidak langsung (indirect effect) akibat konflik daripada laki-laki. Demikian pula yang dirasakan Perempuan Palestina yang harus menanggung duka dan luka yang dalam, belum lagi penindasan lain yang bekepanjangan. Perempuan Palestina harus menyaksikan anak-anak dan suaminya gugur di medan perang, menjadi cacat dan terluka parah, atau bahkan kehilangan jejak keberadaan mereka yang tidak diketahui sama sekali. Belum lagi, pelecehan dan kekerasan seksual yang acap kali digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan moral musuh dalam sebuah pertempuran. Tak berhenti sampai disitu, beragam rupa penindasan lain turut menyertai, termasuk dalam hal dasar seperti pemenuhan nutrisi, kesehatan, hingga kebutuhan sanitasi perempuan. Hampir semua Perempuan Palestina kesulitan mendapatkan pembalut saat menstruasi, hingga terpaksa menggunakan potongan kain dari pakaiannya untuk digunakan sebagai pembalut. Tak sedikit dari Perempuan Palestina memilih mengonsumsi pil penunda haid, meskipun mereka tahu efek samping yang ditimbulkan. Menurut laporan WHO, dampak dari serangan di Gaza menyebabkan rumah sakit dan pusat layanan kesehatan lain tidak berfungsi yang berimbas pada sekitar 50.000 perempuan hamil di Gaza yang diperkirakan akan melahirkan dalam kondisi yang memilukan, bahkan menghadapi kemungkinan melahirkan tanpa anestesi ketika diperlukan tindakan bedah. Lebih dari 180 perempuan setiap harinya terpaksa melahirkan di tempat yang tidak manusiawi dan berbahaya, akibatnya beberapa wanita dilaporkan meninggal sebelum atau saat melahirkan.

Perempuan di Tengah Konflik Geopolitik: Mengakhiri Penindasan dengan Peran Keterlibatan

Kenyataan pahit yang dihadapi perempuan di tengah situasi konflik demikian tidak hanya dirasakan oleh Perempuan Palestina, melainkan juga perempuan-perempuan di daerah konflik lainnya. Di palagan Ukraina-Rusia misalnya, menurut Misi Monitoring Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina (HRMMU), terdapat setidaknya 3.093 perempuan dewasa dan 248 anak perempuan tewas dalam perang yang telah berlangsung selama dua tahun tersebut. Bila dirata-rata, setidaknya terdapat dua perempuan dewasa atau anak perempuan yang tewas setiap hari akibat pertempuran.  Persoalan perempuan di daerah konflik ini barangkali memang perlu diselesaikan dengan melibatkan perempuan juga dalam misi perdamaian. Misi ini sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan yang diadopsi pada 31 Oktober 2000, yang secara khusus mengakui bahwa upaya pembangunan perdamaian dan keamanan akan lebih berkelanjutan apabila perempuan dilibatkan secara setara dalam pencegahan dan pemulihan konflik. Demikian pula yang disampaikan oleh Menteri Urusan Perempuan Negara Palestina, Mona Al-Khalili, menekankan perlunya upaya bersama internasional untuk melaksanakan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan, sebagaimana tertuang dalam Resolusi Dewan Keamanan 1325, khususnya pada wilayah Palestina, untuk melindungi perempuan dan anak perempuan di bawah pendudukan.

Keterlibatan perempuan dalam misi perdamaian maupun agenda geopolitik lainnya memang masih sangat minim. Budaya patriarki yang cenderung menganggap perempuan sebagai kaum tak berdaya, berakibat pada dikesempingkannya keterlibatan perempuan dalam segala bidang, termasuk geopolitik. Padahal temuan Bank Dunia menunjukkan bahwa melibatkan perempuan dalam perundingan perdamaian memiliki dampak positif untuk mencegah konflik kembali terulang. Menyertakan perempuan sebagai negosiator, mediator, atau penandatangan pakta meningkatkan kemungkinan bertahannya perjanjian perdamaian setidaknya selama dua tahun hingga sebesar 20 persen. Riset juga menemukan bahwa ketika perempuan tidak atau kurang dilibatkan, kesepakatan dalam perundingan lebih jarang terjadi. Permasalahan perempuan dengan segenap cerita penindasan yang dialaminya di daerah konflik selama ini barangkali memang membutuhkan kontribusi perempuan untuk mengakhiri, sebab sebagai sesama perempuan tentu memiliki kelebihan dari sisi empati dan perspektif yang lebih peka terhadap kebutuhan berkelanjutan. Faktanya, banyak perempuan yang kemudian berhasil memperoleh nobel perdamaian selama ini. Seperti halnya Malala Yousafzai, gadis 26 tahun asal Pakistan berhasil menjadi penerima Hadiah Nobel Perdamaian termuda sebab keberaniannya melawan rezim teror Taliban dalam memperjuangkan hak-hak perempuan mengenyam pendidikan.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top