Dalam dinamika konflik kekerasan yang semakin berkembang, perempuan sering kali berada di persimpangan ekstremisme dan perdamaian. Sebagai korban, pelaku, maupun agen perubahan, peran perempuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan (Preventing and Countering Violent Extremism/PCVE). Pendekatan berbasis ketahanan dan perdamaian dalam kerangka Women, Peace, and Security (WPS) menjadi kunci untuk memahami kompleksitas ini secara lebih holistik.

Perempuan sebagai Target Kekerasan dalam Ekstremisme
Dalam berbagai konflik yang dipicu oleh ekstremisme kekerasan, perempuan kerap menjadi target kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, perbudakan, dan pengusiran paksa. Kelompok ekstremis sering mengeksploitasi perempuan sebagai alat propaganda, rekrutmen, dan bahkan sebagai simbol kehormatan yang harus dilindungi atau dikendalikan. Namun, narasi ini sering kali menempatkan perempuan semata-mata sebagai korban tanpa mempertimbangkan ketahanan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kondisi ekstrem.
Di Indonesia, kasus perempuan korban kekerasan dalam ekstremisme dapat dilihat pada berbagai insiden terorisme, seperti peran perempuan dalam jaringan kelompok teroris di Poso dan penyerangan bom bunuh diri di Surabaya pada 2018 yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Dalam konteks PCVE, pendekatan rehabilitasi bagi perempuan yang menjadi korban rekrutmen ekstremis perlu diperkuat, termasuk melalui pemberdayaan ekonomi dan psikososial untuk membantu mereka keluar dari lingkaran kekerasan.
Perempuan sebagai Pelaku dan Propagandis Ekstremisme
Meskipun lebih jarang mendapat sorotan, perempuan juga dapat berperan sebagai pelaku atau pendukung ekstremisme. Perempuan dapat direkrut melalui manipulasi emosional, janji ekonomi, atau doktrin ideologis yang menargetkan kerentanan struktural seperti kemiskinan, marginalisasi sosial, dan ketidaksetaraan gender.
Studi kasus di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan telah berperan dalam berbagai aksi terorisme, seperti dalam kasus jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang melibatkan perempuan dalam aksi teror di Surabaya dan Jakarta. Perempuan dalam jaringan ini tidak hanya berperan sebagai pelaku tetapi juga sebagai penyebar propaganda dan perekrut anggota baru. Dalam konteks PCVE, penting untuk memahami bahwa perempuan yang terlibat dalam ekstremisme sering kali menghadapi stigma ganda: sebagai pelaku kekerasan sekaligus perempuan yang dianggap menyimpang dari norma sosial.
Oleh karena itu, program deradikalisasi yang efektif harus mempertimbangkan faktor gender dalam menangani perempuan yang terlibat dalam ekstremisme, termasuk melalui pendekatan rehabilitasi berbasis komunitas.
Kerangka WPS dan PCVE: Mengintegrasikan Peran Perempuan dalam Pencegahan Ekstremisme
Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB tentang Women, Peace, and Security (WPS) menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian bukan hanya pilihan, melainkan keharusan untuk menciptakan perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, dalam implementasi PCVE, masih terdapat kesenjangan dalam mengakui peran perempuan baik sebagai aktor pencegahan maupun sebagai bagian dari solusi jangka panjang.
Di Indonesia, peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme terlihat dalam berbagai inisiatif komunitas. Misalnya, organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Wahid Foundation telah mengembangkan program pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan resiliensi komunitas terhadap narasi ekstremis. Pendekatan ini mencakup pelatihan kepemimpinan, pendidikan perdamaian, dan penguatan ekonomi perempuan di daerah rawan radikalisasi.
Namun, tantangan terbesar dalam integrasi perempuan dalam PCVE adalah minimnya pengakuan formal terhadap kontribusi mereka. Sering kali, peran perempuan dalam mobilisasi komunitas, penyembuhan trauma, dan penyebaran narasi damai dianggap sebagai bagian dari pekerjaan informal yang tidak masuk dalam kebijakan utama. Oleh karena itu, advokasi yang lebih kuat dan kebijakan yang mendukung keterlibatan perempuan secara strategis menjadi keharusan.