Radikalisasi anak-anak dalam jaringan terorisme merupakan ancaman serius yang semakin berkembang, terutama di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada orang dewasa, namun anak-anak juga seringkali terjebak dalam ideologi ekstremis yang dapat merusak masa depan mereka. Kasus-kasus terorisme yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku maupun korban, menggambarkan betapa pentingnya perhatian khusus terhadap proses pencegahan dan rehabilitasi. Dalam hal ini, peran perempuan, seperti yang dilakukan oleh Khariroh Maknunah, sangat signifikan dalam memberikan pendampingan dan solusi yang holistik bagi anak-anak yang terperangkap dalam jaringan terorisme.
Salah satu contoh kasus yang mengejutkan adalah serangan bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018. Dalam serangan ini, pelaku adalah sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan empat anak mereka yang berusia antara 9 hingga 18 tahun. Semua anggota keluarga ini terlibat dalam serangan dan meninggal dalam kejadian tragis tersebut. Mereka terkait dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang berafiliasi dengan ISIS. Fenomena ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam kelompok teroris kini semakin signifikan. Tidak hanya laki-laki dewasa yang menjadi pelaku utama, tetapi perempuan dan anak-anak juga dilibatkan dalam gerakan radikal ini. Kasus lainnya, seperti pelatihan militer oleh Jamaah Islamiyah (JI) di Aceh pada 2010, menunjukkan bahwa anak-anak dilatih secara sistematis untuk menjadi anggota militan di masa depan. Anak-anak ini dilatih dalam penggunaan senjata dan diterima dalam ideologi radikal yang kemudian membentuk pandangan dunia mereka. Begitu pula dengan kasus penangkapan teroris di Sigi, Sulawesi Tengah, pada 2021, di mana ditemukan bahwa anak-anak di sekitar desa tersebut telah diradikalisasi dan sering digunakan sebagai informan atau simpatisan kelompok teroris.

Radikalisasi anak-anak ini menciptakan tantangan besar bagi masyarakat, karena mereka bukan hanya menjadi korban kekerasan, tetapi juga potensi ancaman di masa depan. Oleh karena itu, solusi yang tepat harus melibatkan pendekatan yang lebih dari sekadar penegakan hukum. Pendekatan rehabilitasi dan pendampingan secara holistik menjadi sangat penting dalam menangani masalah ini. Salah satu sosok yang memainkan peran krusial dalam proses ini adalah Khariroh Maknunah, atau yang akrab disapa Kak Nuna, seorang perempuan yang berpengalaman dalam isu radikalisasi. Sejak tahun 2013, Khariroh telah berjuang dalam menangani masalah radikalisasi, dan pada 2016 ia bergabung dengan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Dalam upayanya mendampingi anak-anak yang terperangkap dalam jaringan terorisme, Khariroh menerapkan pendekatan yang sangat berbeda. Salah satu prinsip utama yang diterapkan oleh YPP adalah “tidak menghakimi.” Dalam pendampingannya, Khariroh berfokus pada penciptaan ruang aman bagi anak-anak untuk berbicara dan didengar, bukan langsung berusaha mengubah ideologi mereka.
Pendekatan ini sangat penting karena dengan mendengarkan dan membangun kepercayaan, anak-anak dapat merasa diterima dan tidak dihukum. Khariroh juga berperan sebagai sosok kakak atau orang tua yang dapat dipercaya. Melalui dialog yang terbuka dan membangun hubungan yang positif, ia menciptakan kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk keluar dari pengaruh kelompok radikal dan mulai mengubah pola pikir mereka. Pendampingan yang dilakukan oleh Khariroh tidak hanya fokus pada perubahan ideologi, tetapi lebih kepada pemulihan hubungan sosial dan emosional mereka. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menggantikan pengaruh buruk dari kelompok teroris dengan sosok role model yang positif.
Selain itu, Khariroh juga menekankan pentingnya membangun kembali hubungan antara anak-anak dan orang tua mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak yang terlibat dalam radikalisasi memiliki hubungan yang renggang dengan keluarga mereka, atau bahkan kehilangan figur orang tua akibat penangkapan atau kekerasan. Khariroh berusaha menjadi jembatan antara anak-anak dan orang tua mereka, membantu memperbaiki ikatan yang hilang dan membangun kembali rasa saling percaya. Pendekatan ini terbukti sangat efektif dalam membantu anak-anak yang sebelumnya terjebak dalam jaringan terorisme untuk kembali ke jalan yang benar.
Usaha Khariroh membuahkan hasil yang membanggakan, sebagaimana dilaporkan oleh Kumparan yang menyebutkan bahwa saat ini YPP telah menjadi tempat bagi para eks-narapidana terorisme dari berbagai usia untuk berbagi cerita. Dengan keyakinan bahwa perempuan memegang peran vital tidak hanya dalam pencegahan, tetapi juga dalam pemulihan pasca-konflik, YPP berhasil membuktikan hal ini melalui sosok Khairah (Kak Nuna) dan tokoh wanita lainnya. Penanganan radikalisasi yang melibatkan anak-anak tidak hanya memerlukan penegakan hukum, tetapi juga pendekatan rehabilitasi dan pendampingan yang berbasis pada kasih sayang, empati, dan tanpa penghakiman. Perempuan, seperti Khariroh Maknunah, memainkan peran yang sangat penting dengan menjadi figur pendamping yang mampu memberi kasih sayang, dukungan emosional, dan membangun kembali hubungan keluarga yang hilang. Dengan pendekatan holistik, kita dapat membantu anak-anak yang terperangkap dalam radikalisasi untuk menemukan jalan hidup yang lebih baik, serta mencegah mereka menjadi bagian dari kekerasan dan ekstremisme di masa depan.