Perempuan dan Perjuangan Memutus Rantai Terorisme Keluarga

Di tengah pusaran konflik yang sering kali dipandang hitam putih, peran perempuan dalam dinamika terorisme kerap terabaikan. Namun, jauh di balik layar, mereka adalah figur yang menjalankan misi membawa harapan di tengah stigma dan mengurai simpul kompleks yang mengikat keluarga mereka dengan jaringan terorisme.

 

Perempuan dan Perjuangan Memutus Rantai Terorisme Keluarga

Sekilas Cerita Hidup Mereka

Dalam diskusi WGWC Talk #5, tiga perempuan berbagi kisah hidup mereka. Mari berkenalan dengan Layla, Maria dan Sarah, ketiganya merupakan istri dari narapidana terorisme. 

Layla (bukan nama asli), adalah salah satu perempuan yang berjuang gigih untuk memutuskan tali ekstrimisme yang menjerat suaminya. Layla memikirkan untuk tidak lagi berhubungan dengan kelompok teroris sejak menyadari suami saya hilang, tidak pulang-pulang dan ternyata ditangkap oleh Densus 88, karena keterlibatannya dalam kelompok pengajian yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa kita. Faktor yang membuat Layla berpikir untuk memutuskan hal demikian karena saya merasakan sendiri, betapa ia dan keluarga sangat terpukul, terpuruk ketika ayah dari anak-anaknya tidak lagi bersama, karena kesalahannya dalam memilih kelompok pengajian yang dampaknya sangat besar untuk keluarga kami, terutama anak-anak menjadi terluka fisik dan psikisnya.

Motivasi paling besar yang mendorong Layla adalah untuk memotong rantai jaringan ekstrimis atau teroris pada suami dan keluarga yaitu saya tidak mau jika keluarga saya suami atau keluarga besar saya terlibat dalam kesalahan yang sama, cukup suami dan keluarga kecil saya yang merasakan kepahitan ini dan memberikan peringatan kepada suami dan anak-anak serta keluarga besar saya agar tidak asal mau aja jika ada yang mengajak bergabung dengan dalih pengajian yang pada akhirnya didoktrin dengan pembaiatan mengubah mindset hidupnya  menjadi pemikiran ekstrimis dan bertentangan dengan ideologi bangsa.

Sementara itu Maryam (bukan nama asli) mengungkapkan bahwa sejak suaminya ditangkap sebagai narapidana teroris, ia baru mengetahui fakta bahwa pengajian yang suaminya ikuti itu ternyata bertentangan dengan hukum negara. Tidak menampik bahwa Maryam sangat kecewa dengan apa yang suaminya sudah perbuat, karena dengan kelompok tersebut suaminya akhirnya lebih mementingkan kelompok pengajian ketimbang kami keluarganya.   Maryam berpikir apa yang terjadi dengan suaminya itu sangat berimbas kepada dia sebagai (istri), anak dan orang tua. 

Di lain sisi pada tahun 2011, kehidupan Sarah (bukan nama asli) berubah drastis. Ia dan suaminya, yang bertemu melalui proses perjodohan dalam komunitas pengajian, menjalani kehidupan sederhana. Namun, di bulan Oktober, suaminya tiba-tiba berpamitan dengan alasan menjadi “target.” Sarah tidak memahami apa yang dimaksud hingga mengetahui suaminya membantu menyembunyikan senjata milik seorang terduga teroris. Kepergian suaminya membuat Sarah menghadapi tantangan berat. Tanpa pemasukan, ia berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, sementara anak tertuanya harus menghadapi ujian sekolah. Selama tiga bulan tanpa kabar, Sarah hanya berharap suaminya kembali dengan keadaan yang lebih baik.

 

Layla: Menggunakan Curahan Hati untuk Membuka Kesadaran Suami

Layla berhasil mempengaruhi suaminya untuk meninggalkan kelompok ekstrimis melalui argumen yang jelas dan riil, yang mudah dipahami oleh suaminya. Menurut Layla, kunci keberhasilannya terletak pada curahan hati yang tulus. Dengan menyampaikan perasaannya secara jujur dan terbuka, Layla mampu menyentuh hati suaminya dan membukakan matanya akan konsekuensi tindakan yang mereka hadapi.

 

Maryam: Dialog untuk Membuka Kesadaran Suami

Maryam,  melakukan dialog untuk menyadarkan suaminya agar meninggalkan ideologi yang bertentangan dengan hukum negara. Ia dengan tegas menyampaikan, “Tolonglah, tidak perlu lagi ikut pengajian seperti itu. Pengajian itu tidak benar, hanya membawa dampak buruk.” Maryam juga mengingatkan bahwa tindakan suaminya tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada anak-anak yang menjadi saksi langsung dari situasi yang mereka hadapi.

 

Sarah: Peran Keluarga dalam Membantu Suami Menyerahkan Diri

Dengan dukungan keluarga yang berlatar belakang kepolisian, Sarah berhasil membujuk suaminya untuk menyerahkan diri. Proses ini diawali dengan diskusi intens antara Sarah, keluarga, dan mertua. “Cobalah menyerahkan diri, ini bisa menjadi pelajaran. Jangan karena solidaritas dengan teman, keluarga justru menjadi korban,” ujar Sarah kepada suaminya.

Meski berat, ia yakin langkah ini adalah keputusan terbaik untuk keluarganya. 

Cara saya untuk membujuk suami selalu dengan dialog banget gitu ya, saya tidak bermain dengan ayat-ayat Alquran atau hadist-hadist gitu karena suami lebih pintar dari saya, tapi saya lebih melihat kenyataan” ungkap Sarah. 

 

Melawan Stigma dan Ketidakpercayaan

Stigma sosial dan ketidakpercayaan dirasakan oleh setiap narasumber. Seperti yang terjadi oleh Sarah yang sempat Sarah sempat merasakan stigma sosial, bahkan beberapa bulan setelah kejadian, ia dikucilkan oleh sebagian orang. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai mendekat kembali karena mereka mengetahui kondisi sebenarnya dari kehidupan Sarah dan keluarganya. Dukungan moril dan materil dari teman-temannya membuat Sarah semakin yakin untuk tetap tinggal di Depok. “Ada yang mendukung secara moril dan materil. Itu yang membuat saya semakin yakin tetap tinggal di Depok,” tambah Sarah.

Meskipun mendapat dukungan, Sarah menyadari bahwa ia harus tetap berdiri teguh sendiri. Ia terus mendorong suaminya untuk tidak menutup diri dan tetap berusaha untuk berubah. “Biasanya, mereka yang terlibat dalam kelompok radikal cenderung mengelompok sendiri dan menolak mengikuti program rehabilitasi. Tapi saya dorong suami untuk terus belajar, selama itu memberi manfaat untuk dirinya,” ujarnya.

Selain stigma sosial, Sarah juga mengalami trauma akibat pemberitaan media.  “Saya agak trauma dengan media, karena waktu itu pemberitaannya sangat intens, dari pagi hingga malam. Media seakan-akan meyakinkan bahwa suami saya terlibat dalam kegiatan yang besar. Itu sangat mempengaruhi anak saya, yang waktu itu masih kelas 6 SD. Dia sangat takut, dan sampai sekarang, meskipun sudah tidak ada pemberitaan lagi, dia masih sering bertanya, ‘Ada media nggak, Bu? Ibu nggak boleh diberitakan,’” ujar Sarah.

 

Kekuatan Perempuan dalam Rehabilitasi dan Reintegrasi

Para perempuan ini tidak hanya sekadar pendamping. Mereka adalah agen aktif yang memainkan peran penting dalam rehabilitasi suami. Dengan kesabaran dan empati, mereka menjadi jembatan antara dunia yang pernah menolak suami mereka dan kehidupan baru yang lebih damai. Peran mereka juga meluas ke proses reintegrasi. Dari mengajarkan keterampilan baru, membangun kepercayaan dengan tetangga, hingga melibatkan suami dalam kegiatan komunitas, mereka secara perlahan menciptakan ruang untuk memulai kembali. Harapan mereka sederhana yaitu memutus rantai radikalisme di keluarga dan memastikan generasi berikutnya tumbuh dalam lingkungan penuh kasih dan kebebasan berpikir.

 

Perempuan sebagai Pilar Perdamaian

Di balik kekerasan dan ketidakadilan, perempuan sering kali memikul peran yang tak terlihat, tetapi sangat mendasar. Kisah tiga istri napiter ini membuktikan bahwa kekuatan cinta dan ketulusan mampu mengatasi rintangan terberat. Lebih dari sekadar inspirasi, artikel ini adalah ajakan untuk membuka hati dan mendukung peran perempuan dalam memutus rantai terorisme di tingkat keluarga. Sebab, di tangan merekalah harapan untuk dunia yang lebih aman dan inklusif dapat dimulai.

 

Sumber Referensi: 

WGWC. (2020, June 18). WGWC Talk #5: “I Love You, Leave It”: Pendamping juga manusia: Cerita di balik rehabilitasi dan reintegrasi [Diskusi online].

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top