Dua Sisi Satu Koin: Perempuan dan Ekstremisme Kekerasan di Indonesia (Bagian 2)

Pentingnya Penelitian Keterlibatan Perempuan Dalam Kelompok Ekstremisme Kekerasan

Khilafah itu memang sistem paling baik untuk mengatur sebuah negara. Sekarang dengan sistem yang ada, coba saja dilihatlah. Istilahnya, Tuhan kita itu sudah membuatkan aturan dan sistem untuk kita mengatur di bumi itu seperti apa. Kalau memang sudah diciptakan, kenapa kita menciptakan yang lain? Meskipun ada beberapa aturan-aturan yang sesuai dengan khilafah,” (wawancara dengan L, mahasiswi perguruan tinggi di Bandung, tahun 2019).

Dua Sisi Satu Koin: Perempuan dan Ekstremisme Kekerasan di Indonesia (Bagian 2)

Penggalan wawancara di atas mengingatkan saya lagi pada proses penelitian terkait potensi radikalisme di perguruan tinggi di tiga provinsi yang dilakukan oleh Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Universitas Muhammadiyah Jakarta  tahun 2019. Penelitian tersebut menemukan bahwa proses radikalisasi di kalangan perguruan tinggi tidak berada di ruang kosong. Kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan sengaja memanipulasi doktrin-doktrin agama dan konstruksi sosial dalam merekrut simpatisan dan anggota mereka.

Penelitian tentang keterlibatan perempuan dalam kelompok ekstremisme kekerasan sangat penting karena perempuan memiliki lapisan-lapisan peran dan kedudukan dalam kelompok tersebut. Perempuan tidak hanya menjadi pendamping  setia, tetapi juga bisa berperan sebagai penggalang dana, melakukan rekrutmen, menjadi pelaku tindak pidana terorisme, bahkan bisa menjadi agen perdamaian. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pemangku kebijakan ataupun organisasi masyarakat sipil untuk menentukan arah kebijakan maupun evaluasi program-program yang sudah dilakukan.

Ketidaksetaraan, kekerasan dan diskriminasi berbasis gender berbalut doktrin relijius dan budaya menciptakan lingkungan  kondusif bagi ekstremisme kekerasan. Norma-norma konservatif, norma-norma gender dari patriarki dan relasi kuasa yang tidak setara serta kekerasan berbasis gender seringkali berkorelasi dalam proses rekruitmen perempuan oleh kelompok-kelompok ekstremisme kekerasan. Kelompok-kelompok ini telah melanggar hak-hak perempuan dan anak-anak melalui pernikahan paksa, pernikahan anak dan kekerasan seksual, serta membatasi kemerdekaan  bergerak, untuk mengkritisi narasi-narasi keagamaan, ideologis, moral dan lain-lain yang sering digunakan untuk membatasi hak asasi perempuan.

Melibatkan dan memberdayakan perempuan dan anak-anak menjadi  penting untuk mencegah ekstremisme kekerasan dan mendobrak lingkaran kekerasan di Indonesia. Menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk menyuarakan pendapatnya, memberi mereka akses pengetahuan serta berjejaring dengan perempuan lain dalam pencegahan ekstremisme kekerasan juga menjadi  prioritas penting bagi perempuan saat ini. Sebagai contoh, Ummi A, istri mantan napiter yang selalu berupaya  menggunakan critical thinking-nya. Dia menolak bergabung dengan kelompok suaminya ketika suaminya belum ditahan. Ketika diwawancarai tim LIGS dalam penelitian yang bekerjasama dengan Working Group on Women and Preventing / Countering Violent Extremism (WGWC), Ummi A menyatakan bahwa ketika suaminya di penjara, dia mengancam akan menuntut cerai kalau suaminya kembali ke kelompok lamanya. Setelah suaminya selesai menjalani masa tahanan, Ummi A juga kerap mengawasi kegiatan suaminya. Ummi A juga selalu menjaga agar anak-anaknya tetap memperoleh didikan agama Islam yang  damai. Sementara itu, istri narapidana lainnya, Ummi B juga menjadi penguat suaminya untuk tetap setia pada NKRI walaupun sudah dua kali menjalani masa tahanan terkait dengan tindak pidana terorisme. “Saya menikah di Polda ketika suami ditahan pertama kali. Setelah lepas dari tahanan untuk kedua kalinya, saya mengalami teror dari kelompok lama suami. Tapi saya tidak takut dan menyemangati suami untuk tidak terpengaruh lagi,” katanya. 

Penelitian: “Jalan Ninjaku”

Tanggal 9 September 2004 adalah hari yang tidak pernah terlupakan. Saat itu saya sedang bersiap-siap  mengikuti perkuliahan di Pascasarjana UI di kampus Salemba. Entah kenapa saya batal naik bis Kopaja dan memutuskan  pulang. Sesampainya di rumah saya baru tahu ada ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia. Tayangan TV membuat saya membayangkan seandainya saya melintasi rute itu, apa yang akan terjadi pada saya. Sejak itu saya bertekad  mencari tahu apa yang menyebabkan aksi terorisme dan bagaimana mencegah hal tersebut agar tidak terjadi. Ingatan saya juga kemudian mulai flashback ke masa saya kuliah di Bandung pertengahan era 1990-an. Saat itu saya merasa kosong secara keagamaan, sehingga mulai mengikuti beberapa kajian. Sampai suatu hari saya ikut kajian yang membahas sebuah hadits yang berbunyi “Barangsiapa yang mati di lehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. Setelah berbulan-bulan pencarian “pimpinan” yang harus menerima bai’at saya, akhirnya seorang kakak kelas mengajak saya ke sebuah tempat untuk melakukan bai’at tersebut. Beberapa tahun saya ikut “kelompok” tersebut sampai akhirnya saya lulus kuliah dan kembali ke Jakarta. Berbagai diskusi dengan kelompok yang berbeda kemudian menyadarkan saya bahwa saya sudah salah langkah. Sejak itu saya memutuskan “keluar” dari kelompok tersebut. 

(bersambung)

***

Tulisan Debbie Affianty selengkapnya dapat dibaca melalui buku “Teroris, Korban, Pejuang Damai: Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme di Indonesia” (AMAN INdonesia, 2023). Buku dapat dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuwgwc 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top