Menurutmu, di penghujung 2024 ini, apakah masih ada yang tabu dengan istilah ekstremisme? Atau apakah isu ekstremisme sudah tidak relevan di masa kini? Saya sangat yakin masih banyak orang yang tabu dengan istilah ekstremisme. Saya juga percaya bahwa isu ekstremisme masih sangat relevan untuk terus dibahas, mengingat praktik-praktik ekstremisme kekerasan masih marak terjadi.
Jika kita merujuk ke pengertian ekstremisme yang dilansir dari website Yayasan Lkis, ekstremisme adalah paham atau keyakinan yang ekstrem atau berlebihan. Istilah ini tidak hanya berkaitan dengan agama, tetapi juga melibatkan ras, ideologi politik, atau perkumpulan tertentu. Selain itu, ektremisme kekerasan didefiniskan sebagi sebuah keyakinan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan maupun ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme. Kekerasan ekstremisme bisa terjadi karena beberapa hal, seperti perbedaan pandangan politik, perlakuan yang tidak adil, hingga intoleransi.
Jika kita melihat dari aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia, banyak sekali praktik terorisme yang dilatar belakangi oleh ekstremisme beragama. Kasus-kasus ini tidak sedikit merenggut korban jiwa dan juga mengakibatkan ketakutan akan teror yang meluas di masyarakat. Dampak dari ekstremisme sangat nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia selama 20 tahun terakhir.
Maka dari itu, pencegahan ekstremisme dari ruang terkecil seperti keluarga, masyarakat, antar kelompok, hingga negara sangat penting dilakukan.
Yani Mencegah anaknya bergabung ISIS
Yani salah satu narasumber dalam WGWC talk 9, seorang perempuan tangguh yang berhasil mencegah anaknya bergabung dengan ISIS. Dalam ceritanya, Yani menyampaikan bahwa anaknya, Akbar, pernah berkeinginan untuk bergabung dengan ISIS. Akbar adalah anak cerdas yang bahkan mendapatkan beasiswa di Turki saat SMA.
Keinginan Akbar bermula ketika ia bercerita kepada Yani bahwa ia merasa tentara ISIS sangat keren. Pemikiran ini muncul setelah Akbar melihat foto-foto para tentara ISIS melalui media sosial. Namun, Yani dengan sabar mencegah anaknya bergabung dengan para tentara ISIS tersebut. Setiap kali menelepon, Yani selalu berusaha menjalin hubungan lebih dekat dengan Akbar. Usahanya yang konsisten membuat Akbar akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjadi bagian dari ISIS.
Dari kisah Yani ini, kita dapat melihat bahwa orang tua, terutama seorang ibu, memiliki peran penting dalam menanamkan pola pikir kritis kepada anak terhadap segala informasi yang mereka terima. Nilai-nilai toleransi seperti menghargai, menghormati, hingga kasih sayang perlu disampaikan kepada anak-anak. Memberi pemahaman bahwa perbedaan adalah hal biasa, manusiawi, dan merupakan anugerah dari Tuhan sangat penting untuk membentuk pola pikir yang inklusif.
Seorang ibu memiliki ikatan emosional yang kuat dengan anak-anaknya, sehingga ia seringkali memiliki pengaruh besar terhadap keputusan yang dibuat anak-anaknya. Perempuan juga menjadi pihak pertama yang dapat mendeteksi konflik dan ancaman ekstremisme sejak dini. Mereka sering kali melihat perubahan perilaku dalam keluarga atau komunitas, yang bisa menjadi tanda awal radikalisasi. Karena itu, sangat penting bagi perempuan untuk memiliki prinsip-prinsip kesetaraan gender, toleransi dan hak asasi manusia.
Pencegahan Ekstremisme dimulai dari Keluarga
Pencegahan ekstremisme dapat dimulai dari ranah terkecil dan terpenting, yaitu keluarga. Keluarga adalah benteng utama yang memiliki peran penting dalam mengawasi anak-anak, termasuk mengawasi antaranggota keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk mengawasi apa yang dikonsumsi anak-anak mereka di media sosial, serta denga siapa mereka bergaul. Keluarga juga menjadi tempat yang menanamkan norma, aturan, dan nilai-nilai positif seperti toleransi dan moderasi beragama.
Beberapa kasus ekstremisme yang terjadi menunjukkan pentingnya peran keluarga. Misalnya, aksi teror di Surabaya pada tahun 2018 melibatkan satu keluarga sebagai pelaku terorisme. Hal ini menegaskan bagaimana ekstremisme kekerasan dapat merasuki struktur keluarga. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga telah mewaspadai penyebaran paham radikalisme melalui media digital, yang sering menyasar anak muda, remaja, hingga dewasa, terutama perempuan. Seperti contoh, di Australia, dilansir dari VOI.ID, seperlima kasus terorisme melibatkan remaja berusia belasan tahun.
Contoh-contoh di atas cukup memberikan gambaran, betapa pentingnya peran keluarga terutama orang tua, dalam mencegah ektremisme dan radikalisme, khususnya ekstremisme kekerasan. Banyak faktor yang menyebabkan anak-anak tergabung dalam jaringan ekstremisme, seperti kurangnya komunikasi antaranggota keluarga atau minimnya perhatian orang tua terhadap pendidikan moral anak. Akibatnya, anak-anak menjadi lebih rentan terhadap pengaruh eksternal, baik dari media digital maupun kelompok ekstremis.
Namun, menyampaikan bahaya ekstremisme kepada anggota keluarga, terutama anak-anak, bukanlah hal yang mudah. Proses ini membutuhkan komunikasi yang intensif, sabar, dan konsisten. Dalam hal ini, perempuan, khususnya ibu, memiliki peran yang sangat penting. Ibu sering menjadi sosok pertama yang dapat mendeteksi perubahan perilaku dalam keluarga dan mengambil langkah awal untuk mencegah radikasilasi. Oleh karena itu, peran perempuan penting dalam proses pencegahan ekstremisme, terutama di ruang lingkup keluarga, tidak dapat dipandang sebelah mata.





