Indonesia merupakan negara plural dengan keragaman budaya, agama, dan suku bangsanya yang kaya. Meski demikian, kemajemukan tersebut sering kali menciptakan perbedaan nilai dan identitas yang mengundang konflik jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia dalam menjaga stabilitas sosial dari ancaman radikalisasi dan ekstrimisme.
Dalam menghadapi ancaman ini, perempuan, utamanya ulama perempuan memainkan peran yang sangat penting sebagai garda terdepan dalam proses deradikalisasi dan pencegahan ekstrimisme tersebut. Dalam konteks deradikalisasi misalnya, perempuan sering kali menjadi agen perubahan yang efektif, mengingat pengaruh mereka dalam membentuk pola pikir dan nilai-nilai anak-anak, serta kontribusi mereka dalam membangun kebersamaan dalam masyarakat.

Di tanah air, banyak ulama perempuan yang berjasa mengangkat martabat umat dan negara. Mereka bergerak di seluruh pelosok negeri dalam keterbatasan untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, utamanya perempuan. Salah satu contohnya adalah Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, atau yang dikenal sebagai Alissa Wahid, seorang tokoh perempuan yang dikenal aktif dalam dunia pendidikan, sosial, dan keagamaan, baru-baru ini menerima anugerah sebagai Tokoh Moderasi Beragama dan Perdamaian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Desember 2024 lalu. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi terhadap kontribusinya dalam mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama, kedamaian, dan toleransi di Indonesia.
Alissa Wahid, yang juga merupakan putri dari Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, telah lama dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan keadilan sosial, pluralisme, dan perdamaian. Melalui berbagai kegiatan dan program yang ia jalankan, Alissa telah mengajak masyarakat untuk lebih terbuka terhadap perbedaan dan membangun kedamaian antar umat beragama. Ia juga sering terlibat dalam dialog lintas agama dan budaya untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman Indonesia.
Sebagai seorang aktivis dan pendidik, Alissa selalu menekankan pentingnya pemahaman agama yang damai, jauh dari kekerasan dan radikalisasi. Ia berpendapat bahwa moderasi beragama tidak hanya penting untuk menjaga kerukunan antar umat beragama, tetapi juga untuk menghindari terjadinya ekstremisme yang dapat merusak tatanan sosial. Selain itu, peran Alissa dalam memperjuangkan moderasi beragama juga menjadi bukti signifikansi peran Perempuan dalam membangun perdamaian dan keadilan di Indonesia.
Penurunan Kasus Radikalisasi di Indonesia, Berkah atau Musibah?
Pada tahun 2023, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) mencatat penurunan yang signifikan dalam kasus terorisme oleh kelompok ekstrimis. Pencapaian ini patut diapresiasi, meski demikian kita tetap harus berhati-hati. Penurunan kasus ini tidak berarti bahwa ancaman ekstremisme telah hilang sepenuhnya di bumi pertiwi.
Proses deradikalisasi adalah upaya yang berkelanjutan dan memerlukan perhatian yang terus-menerus agar tidak terjadi kebangkitan kelompok ekstremis baru atau pergeseran ideologi yang lebih halus. Kepala BNPT RI, Komjen Pol. Prof. Dr. H. Rycko Amelza Dahniel, M.Si, dalam penyampaiannya menekankan perlunya semua elemen masyarakat untuk senantiasa bersikap waspada menghadapi aksi teror, utamanya gerakan kelompok ekstrem yang ada di bawah permukaan. Sebab, sikap terlena dengan catatan positif tersebut dapat dimanfaatkan kelompok radikal ekstrem untuk terus mengampanyekan ideologi kekerasan yang mereka anut.
Sehingga, masyarakat Indonesia harus tetap waspada terhadap potensi munculnya kelompok radikal baru yang menggunakan berbagai platform untuk merekrut individu, terutama generasi muda. Dari hasil penelitian Indonesia Knowledge Hub (I-KHub) BNPT Outlook pada tahun 2023, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok radikal kini mulai mengubah pendekatannya, dari yang mulanya dilakukan dengan pendekatan yang keras sekarang jadi lembut, dari strategi bullet menjadi strategi ballot.
Mereka mulai menjadikan para remaja, anak-anak, dan perempuan sebagai sasaran utama radikalisasi. Karena perempuan rentan terpapar ideologi radikalisme karena lebih peka dan perasa sehingga memunculkan sikap militant, taat, dan patuh kepada suami atau tokoh agama (yang berpaham radikal). Selain itu, perempuan berpotensi direkrut kelompok radikal karena dinilai bisa membuat lalai aparat keamanan.
Tantangan baru inilah yang membuat kita harus lebih mawas diri dengan mengadaptasi program deradikalisasi agar lebih efektif dalam menangani ancaman yang terus berkembang. Mengingat bagaimana perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keluarga dan komunitas, kebijakan yang melibatkan perempuan dapat memperkuat pencegahan ekstrimisme di tingkat akar rumput. Oleh karena itu kita perlu melibatkan para ulama perempuan untuk menjadi garda terdepan dalam penanganan radikalisasi dan perdamaian di Indonesia.
Sebagai salah satu pemegang otoritas keagamaan, ulama perempuan tidak hanya bertugas membimbing, tetapi juga mengeluarkan pendapat berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam terkait persoalan yang dihadapi oleh umat, baik ritual keagamaan atau pun aktivitas sosial kemasyarakatan. Para ulama perempuan yang memiliki ilmu pengetahuan agama seyogianya mengamalkan perspektif keadilan gender dalam kehidupan.
Mereka mampu mendayagunakan otoritas agama yang mereka punya melalui pelibatan diri aktif dengan masyarakat. Kolaborasi pemangku kebijakan dengan para ulama perempuan dalam upaya deradikalisasi sejatinya merupakan kombo yang sempurna. Di mana ulama perempuan dapat didayagunakan untuk memberikan pandangan terkait persoalan ideologi yang serung digunakan kelompok ekstrem.
Pemberdayaan tersebut dapat dilakukan lewat komunitas, perkumpulan, pengajian, dan ceramah, sebagai upaya menyiarkan kontrawacana terorisme, di mana wacana yang digaungkan adalah praktik moderasi beragama dan sikap saling toleransi antarumat beragama di tengah masyarakat. Misalnya, ulama perempuan yang mengembangkan kemampuan berfatwa mereka melalui para orang tua (baca: Ibu). Sebagai sosok yang ada di posisi sentral ketahanan keluarga di ranah domestik. Ibu menjadi pemegang kendali dalam pembentukan karakter generasi penerus bangsa. Kemampuan penalaran yang baik, sense nalar kritis yang hidup untuk memilah dan memilih informasi atau ilmu pengetahuan merupakan modal para perempuan (baca: Ibu) untuk dapat membentengi anak-anak mereka dari paparan ideologi radikal yang merusak.
Perempuan, baik sebagai individu maupun bagian dari komunitas, dapat menjadi penggerak perubahan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan damai. Melalui pendidikan, pemberdayaan, dan kesadaran sosial, perempuan dapat membantu menanggulangi potensi kekerasan dan radikalisasi yang ada dalam masyarakat. Sebab merekalah sosok yang mampu menyentuh lapisan masyarakat yang semula tak tersentuh.