Peran Perempuan dalam Memulihkan Kondisi Pascakonflik Poso

Pada tahun 1998, Poso dilanda konflik berkepanjangan yang tidak hanya merenggut banyak nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma lintas generasi. Konflik kekerasan yang terjadi telah berkontribusi membangun sekat antara masyarakat berdasarkan perbedaan agama dan menciptakan luka berlarut-larut di masyarakat. Namun, di tengah situasi yang penuh ketegangan ini, perempuan justru memainkan peran strategis dalam membangun kembali kepercayaan, rekonsiliasi, dan perdamaian di Poso.

Salah satu sosok kunci dalam upaya perdamaian ini adalah Lian Gogali, ia adalah pendiri Institut Mosintuwu di Poso, Sulawesi Tengah, sebuah organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen untuk memajukan perdamaian dan keadilan.

Peran Perempuan dalam Memulihkan Kondisi Pascakonflik Poso

Lian melihat bahwa perempuan tidak hanya korban dalam konflik tetapi juga agen perdamaian Oleh karena itu, berbagai inisiatif yang ia jalankan berfokus pada penguatan kapasitas perempuan dalam rekonstruksi sosial dan ekonomi, dengan membekali mereka dengan keterampilan praktis untuk bertahan hidup, mendorong partisipasi aktif dalam perencanaan desa, serta mengangkat suara perempuan sebagai subjek utama dalam agenda pembangunan pascakonflik.

Salah satu program utama yang dirintis Lian adalah Sekolah Perempuan, sebuah ruang aman untuk perempuan dapat belajar, bertukar pemikiran dan berdialog. Sekolah ini tidak hanya membangun kesadaran tentang hak-hak perempuan, tetapi juga melatih mereka dalam berbagai keterampilan penting, seperti komunikasi, aktivisme, dan pengembangan masyarakat. Melalui pendekatan ini, perempuan tidak lagi sekadar dipandang sebagai penyintas konflik, tetapi sebagai pemimpin dan penggerak perubahan di komunitas mereka.

Pada awalnya, minat masyarakat terhadap program ini masih rendah, meskipun demikian, sekolah tersebut tetap berjalan dan secara bertahap behasil mencetak perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin di desa mereka. Salah satunya adalah Margareta, seorang perempuan yang menemukan keberanin sejak mengikuti sekolah perempuan. Sebelumnya, Margareta sempat menghadapi tantangan kultural yang menganggap bahwa perempuan tidak pantas dan tidak seharusnya terlibat dalam ruang publik. Namun, sejak bergabung dengan sekolah perempuan, ia membangun kepercayaan diri untuk berbicara dan berhadapan dengan demonstran. Keberanian tersebut mengantarkannya menjadi Kepala Dusun Kameasi, Desa Kilo, Poso Pesisir Utara, sebuah posisi yang jarang dipegang oleh perempuan di daerahnya.

Selain Margareta, ada juga Martince, seorang perempuan yang awalnya menyimpan kebencian terhadap umat Islam akibat peristiwa tragis yang menimpa keluarganya selama konflik Poso. Namun, perasaan itu perlahan memudar ketika ia mulai berinteraksi dengan perempuan Muslim di Sekolah Perempuan, yang juga merupakan penyintas konflik. Seiring waktu, Martince menyadari bahwa bukan agama yang harus disalahkan, tetapi individu-individu yang menyalahartikan ajarannya.

Transformasi pemahaman ini menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan oleh Lian melalui sekolah perempuan telah berkontribusi positif dalam membangun kembali hubungan sosial yang rusak akibat konflik. Kini, Martince menjadi garda terdepan dalam menyebarkan pesan perdamaian dan memperjuangkan kedaulatan perempuan di Institut Mosintuwu.

Komitmen untuk membangun perdamaian semakin diperkuat dengan lahirnya Sekolah Keberagaman, yang dirintis oleh Lian bersama para perempuan lain. Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian antarumat beragama dengan melibatkan para tokoh agama serta jemaat dari berbagai desa. Dialog antaragama menjadi salah satu strategi yang mereka lakukan untuk menghindari konflik baru dan memperkuat hubungan antar komunitas.

Lian percaya bahwa ikatan kekerabatan di Poso sangat kuat, melampaui perbedaan agama. Jika ditelusuri garis keturunannya, masyarakat Poso berasal dari satu silsilah yang sama, meskipun ada yang beragama Islam, Kristen, dan Hindu.

Kisah ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menghentikan penyebaran konflik di Poso, terutama di lingkungan terdekat mereka. Peran tersebut tercermin dalam upaya strategis Lian bersama perempuan Poso lainnya dalam mendorong peningkatan kapasitas perempuan, dialog, dan toleransi melalui aktivitas sehari-hari.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top