Pada Sabtu, 19 Agustus 2023, sebuah acara seni dan budaya bertajuk teater monolog “Rindu Bissu” yang melibatkan tokoh spiritual Bissu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dibubarkan oleh pemerintah setempat bersama aparat kepolisian. Acara yang diselenggarakan oleh Sanggar Seni Budaya (SSB) Lasaliyu Batara Bone di Lapangan Merdeka tersebut mendapat sorotan karena dianggap mengarah pada unsur LGBT, yang memicu penolakan dari sebagian kalangan.
Kepala Kesbangpol Bone, mengungkapkan bahwa pembubaran dilakukan setelah adanya laporan dari masyarakat yang mendukung kegiatan itu mengandung unsur LGBT, yang dianggap bertentangan dengan norma yang berlaku di daerah tersebut. Meskipun sebelumnya Kesbangpol Bone telah memberikan izin untuk pelaksanaan acara, ia menyatakan bahwa kegiatan tersebut belum mengantongi rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Bone, yang merupakan syarat penting untuk acara seni di wilayah tersebut. Selain itu, acara tersebut juga tidak memiliki izin keramaian dari kepolisian, sehingga pihak kepolisian turun untuk menghentikan pelaksanaannya.

Kepala Kesbangpol Bone menjelaskan bahwa setelah mempertimbangkan keberatan dari berbagai pihak, pihaknya bersama Polres Bone memutuskan untuk membubarkan acara demi menjaga kesatuan bangsa dan menghindari perpecahan. Meski demikian, pembubaran ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian pihak mendukung keputusan tersebut dengan alasan menjaga nilai-nilai adat dan agama, sementara yang lainnya menganggap pembubaran ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap kebudayaan dan hak individu kelompok Bissu.
Kasat Intel Polres Bone, menambahkan bahwa tanpa adanya rekomendasi dari Dinas Kebudayaan, pihaknya tidak bisa memberikan izin keramaian, sehingga kegiatan tersebut akhirnya dibubarkan. Kejadian ini mencerminkan ketegangan antara pelestarian norma sosial dan budaya yang diterima mayoritas masyarakat dengan hak kelompok minoritas untuk berekspresi, yang menjadi isu sensitif dalam beberapa tahun terakhir.
Langka Fatma Jauharoh sebagai Agen Resolusi Konflik
Fatma Jauharoh sebagai penyuluh Agama Islam di Kabupaten Bone merupakan salah satu pegawai aparatur negara yang cakap terhadap isu kekerasan dan konflik sosial berdimensi keagamaan. Dengan bekal pelatihan penanganan konflik, Fatma dapat menjalankan tugasnya sebagai salah satu aktor resolusi konflik Kementerian Agama. Untuk memberikan edukasi dan advokasi terhadap implementasi moderasi beragama guna menghilangkan tindakan kekerasan terhadap kelompok masyarakat Bissu maka ia sebagai penyuluh Agama Islam bersama dengan Jaringan Gusdurian serta Sekolah Literasi Anak Rakyat (Sulekka) yang dinaungi oleh Yayasan Pawero Tama Kreatif membuat FGD Kebudayaan guna menguatkan moderasi dan mengukuhkan kebinekhaan untuk Indonesia maju.
Latar belakang dari aksi FGD dalam Project Budaya Bone Vol III ini berkaitan erat dengan upaya mengatasi permasalahan kekerasan terhadap kelompok marginal, khususnya kelompok Bissu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kelompok Bissu, yang merupakan bagian dari tradisi budaya Bugis, sering kali menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan karena identitas gender dan peran sosial yang mereka miliki, yang tidak selalu diterima oleh sebagian masyarakat. Praktik-praktik kekerasan ini berakar dari ketidakpahaman dan ketidaksetujuan terhadap perbedaan budaya dan cara hidup yang telah lama ada dalam komunitas Bissu.
Melalui kegiatan ini, FGD bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya moderasi beragama dan pelestarian budaya lokal, serta bagaimana kedua aspek ini dapat bekerja bersama untuk menciptakan harmoni sosial yang inklusif dan toleran. Dalam konteks ini, budaya Bugis, dengan prinsip Assimellereng (rasa saling memahami) dalam Pangadereng (way of life), diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mendorong pertemuan lintas-budaya yang lebih inklusif.
Project Budaya Bone Vol III menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan keberagaman yang ada di masyarakat, terutama dalam konteks kebudayaan, untuk menghindari kekerasan berbasis identitas dan untuk memperkuat ikatan sosial. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, dan komunitas akar rumput, FGD ini berupaya membangun kesepahaman mengenai perlunya kebijakan yang lebih inklusif yang dapat melindungi kelompok-kelompok minoritas, seperti Bissu, dan menghormati keberagaman budaya yang ada di Kabupaten Bone. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan ruang aman bagi masyarakat untuk berdialog dan menyuarakan pemahaman yang lebih baik tentang keberagaman sosial dan budaya, dengan menekankan pada penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan.
Relevansi dengan Isu PCVE
FGD dalam Project Budaya Bone Vol III sangat relevan dengan isu PCVE (Preventing and Countering Violent Extremism), khususnya dalam konteks penguatan moderasi beragama dan pelestarian budaya lokal. Melalui pendekatan ini, Fatma Jauharoh, sebagai penyuluh agama, berperan aktif dalam mengurangi potensi kekerasan terhadap kelompok marginal, terutama kelompok Bissu di Kabupaten Bone yang sering kali menjadi sasaran diskriminasi.
Pada dasarnya, upaya mengatasi kekerasan dan ekstremisme berhubungan erat dengan pemahaman akan pentingnya keberagaman, inklusivitas, dan penghormatan terhadap perbedaan budaya. Dalam hal ini, kebudayaan Bugis dengan nilai Assimellereng (rasa saling memahami) dan Pangadereng (way of life) menjadi landasan yang sangat penting untuk mendorong dialog antar kelompok, mengurangi ketegangan sosial, dan menciptakan rasa saling percaya. FGD ini bertujuan untuk memperkuat dialog antar budaya dan agama sebagai bagian dari upaya menghindari kekerasan berbasis identitas, seperti yang dialami kelompok Bissu.
Sebagai bagian dari PCVE, FGD ini tidak hanya menyoroti pentingnya moderasi beragama, tetapi juga menyentuh aspek pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman sosial dan budaya. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat sipil, kegiatan ini berusaha untuk mencegah radikalisasi dan ekstremisme dengan menciptakan ruang aman untuk diskusi terbuka, saling menghargai, dan membangun kebijakan yang lebih inklusif.
Dengan demikian, FGD ini menjadi salah satu langkah konkret untuk mencegah kekerasan ekstrem yang sering dipicu oleh ketidakpahaman terhadap kelompok minoritas, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat yang majemuk.