Kasus pemaksaan hijab terhadap siswa beragama di sekolah negeri beberapa waktu menjadi sorotan. Sebagai seorang guru sekolah dasar negeri, saya merasa miris melihat bagaimana praktik semacam ini terus terjadi. Pemaksaan semacam ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga berpotensi menyuburkan pola pikir intoleran yang dapat menjadi pintu masuk bagi ekstremisme.

Pendidikan dan Kekerasan Terselubung
Memaksa siswa muslim atau non-Muslim untuk mengenakan hijab di lembaga yang bukan berbasis keagamaan sering terjadi dan dianggap sepele. Padahal hal tersebut adalah kekerasan simbolis. Tindakan ini mengabaikan keberagaman keyakinan dan identitas siswa, serta mengajarkan bahwa hanya satu kelompok atau cara hidup tertentu yang dianggap benar. Kekerasan semacam ini dapat menciptakan luka psikologis yang mendalam, membuat siswa merasa terpinggirkan, dan merusak rasa percaya diri mereka.
Lebih jauh, pemaksaan ini mengirimkan pesan kepada siswa lain bahwa intoleransi adalah hal yang wajar. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini akan membawa pola pikir tersebut ke masyarakat luas, memperkuat narasi bahwa perbedaan harus dihilangkan, bukan dihormati. Hal ini sejalan dengan cara kerja kelompok ekstremisme yang sering menggunakan intoleransi sebagai langkah awal untuk merekrut individu dan membangun narasi eksklusif mereka.
Pemaksaan atribut agama tertentu adalah gejala dari radikalisme lunak (soft radicalism). Kelompok ekstremis sering memulai dengan praktik-praktik seperti ini, membentuk pola pikir yang membedakan “kita” dan “mereka.”
Pemaksaan hijab pada siswa non-Muslim dapat menjadi bagian dari strategi untuk memperluas pengaruh ideologi intoleran di lingkungan sekolah. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman, malah berubah menjadi arena untuk menyuburkan ideologi yang mengancam persatuan bangsa. Dalam jangka panjang, individu yang terbiasa dengan pola pikir intoleran ini berpotensi menjadi sasaran empuk kelompok ekstremis, baik melalui propaganda online maupun rekrutmen langsung.
Intoleransi sebagai Gerbang Ekstremisme
Ekstremisme tidak terjadi secara tiba-tiba; ia tumbuh dari akumulasi pengalaman intoleransi dan pengajaran yang sempit. Pemaksaan hijab adalah salah satu contoh kecil dari bagaimana ideologi intoleran dapat meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengajarkan anak-anak bahwa hanya satu cara hidup yang benar, kita secara tidak langsung membangun fondasi bagi pola pikir radikal.
Kelompok ekstremis sering memanfaatkan narasi ini untuk memperkuat ideologi mereka. Mereka menciptakan polarisasi, memperbesar perbedaan, dan menanamkan rasa tidak percaya terhadap kelompok lain. Jika praktik intoleransi seperti pemaksaan hijab dibiarkan, ini hanya akan memperkuat ekosistem yang mendukung keberadaan kelompok radikal di masyarakat.
Siswa yang dipaksa mengenakan hijab meskipun berbeda keyakinan tidak hanya mengalami tekanan psikologis tetapi juga merasa diisolasi secara sosial. Dalam jangka panjang, mereka mungkin mengembangkan perasaan tidak percaya terhadap institusi pendidikan atau bahkan negara. Sebaliknya, siswa yang melihat praktik ini tanpa kritik dapat tumbuh dengan sikap toleran terhadap kekerasan simbolis, menganggap bahwa menekan perbedaan adalah hal yang wajar.
Lingkungan seperti ini menciptakan siklus yang saling memperkuat antara intoleransi dan radikalisme. Dalam jangka panjang, masyarakat yang terbiasa dengan narasi semacam ini akan lebih mudah terpolarisasi dan terfragmentasi, memberikan ruang bagi kelompok ekstremis untuk tumbuh.
Membangun Pendidikan Inklusif untuk Mencegah Ekstremisme
Tugas kita adalah mencegah benih-benih intoleransi ini tumbuh. Sekolah harus menjadi ruang inklusif di mana setiap siswa, terlepas dari agama atau latar belakang mereka, merasa dihargai. Pendidikan harus berfokus pada pengajaran nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan kebebasan berkeyakinan, yang semuanya merupakan bagian dari fondasi Pancasila. Ada 3 hal yang bisa kita lakukan di sekolah atau ruang-ruang lainnya seperti dialog interfaith, yang mengajarkan siswa tentang keberagaman agama dan budaya untuk membangun pemahaman dan rasa hormat terhadap perbedaan. Kemudian Pendidikan kritis yang melibatkan siswa dalam diskusi kritis tentang pentingnya toleransi dan bahaya ekstremisme, dan menciptakan suasana sekolah yang inklusif di mana setiap siswa dapat mengekspresikan identitasnya tanpa tekanan atau pemaksaan.
Pemaksaan hijab pada siswa non-Muslim di sekolah negeri adalah peringatan akan bahaya intoleransi dalam dunia pendidikan. Praktik ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia tetapi juga membuka pintu bagi radikalisasi. Jika dibiarkan, generasi muda kita akan tumbuh dengan nilai-nilai intoleran yang memperkuat polarisasi sosial.