Pdt. Dr. Mery Kolimon, Ketua Ketua Sinode GMIT (NTT) Pertama yang Berjuang Melawan Diskriminasi 

Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) memiliki Pendeta perempuan pertama yang mendapatkan penghargaan internasional Sylvia Michel Prize. Terpilihnya Pdt. Dr. Kolimon menjadi Ketua Sinode GMIT mencatat sejarah baru dalam perjalanan gereja ini. Sejak didirikan pada tahun 1947, GMIT selalu dipimpin oleh laki-laki, menjadikan kepemimpinan perempuan ini sebagai yang pertama dalam sejarah gereja tersebut.

 

Pdt. Dr. Mery Kolimon, Ketua Ketua Sinode GMIT (NTT) Pertama yang Berjuang Melawan Diskriminasi 

Peran Gereja dalam Kekerasan Massal Pasca-G30S 1965 di NTT

Buku Memori-Memori Terlarang membahas keterlibatan gereja dalam kekerasan massal yang terjadi setelah pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI pada peristiwa G30S 1965. TNI menuduh PKI sebagai dalang, yang memicu penangkapan dan eksekusi massal terhadap orang yang dianggap terkait PKI. Di NTT, kekerasan ini berlangsung dari 1965 hingga 1967, dengan laporan angka korban bervariasi: 800 hingga 1.162 orang. 

NTT dikenal sebagai provinsi yang harmonis dalam keberagaman, namun peristiwa kekerasan massal pasca-G30S 1965 meninggalkan sejarah diskriminasi terhadap individu yang dianggap terkait komunisme. Gereja, termasuk GMIT dan GKS, secara resmi menolak PKI dengan dalih komunisme bertentangan dengan ajaran agama. Sikap gereja ini dipengaruhi propaganda anti-komunis yang menyebar luas dari pusat ke daerah, memperkuat ketegangan antara agama dan ideologi politik. Gereja bahkan berperan dalam mendukung kebijakan negara, seperti membersihkan jemaat yang diduga terkait PKI dari gereja.

Diskriminasi ini berdampak pada kehidupan masyarakat, terutama para korban dan keluarga mereka. Selain kehilangan nyawa akibat eksekusi massal, mereka mengalami stigma, kehilangan hak-hak keagamaan, dan pengucilan dari komunitas gereja. Gereja juga menghadapi dilema, antara tunduk pada tekanan pemerintah atau mengambil risiko menjadi target kekerasan.

Diskriminasi terus berlangsung karena keterikatan gereja pada narasi lama yang mencampurkan agama dan kepentingan politik, serta ketidakmampuan untuk mengatasi propaganda masa lalu. Pengaruh budaya lokal juga memperkuat stigma, di mana masyarakat adat yang tidak memeluk agama resmi dicap komunis atau ateis. Peran gereja dalam menyembuhkan luka sejarah ini masih menjadi tantangan besar hingga kini.

 

Peran Mery Kolimon sebagai Pemimpin dan Pendorong Rekonsiliasi

Penelitian yang menghasilkan buku tersebut dipimpin oleh Mery Kolimon, Ketua Sinode GMIT, yang dikenal karena pendekatannya terhadap keberagaman, anti-kekerasan, dan rekonsiliasi. Mery tumbuh dalam lingkungan yang dipengaruhi kekerasan 1965, yang membentuk pandangannya. Ia menekankan pentingnya proses penyembuhan, yaitu mengakui kekerasan masa lalu, memulihkan diri, dan membantu korban agar dapat belajar dari pengalaman untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Mery Kolimon berjuang melawan diskriminasi dan kekerasan, didorong oleh pengalaman masa lalu keluarganya yang kelam. Ayahnya, seorang polisi yang pernah menjadi eksekutor pada 1965-1967, membawa trauma yang memengaruhi karakter dan dinamika keluarga mereka. Mery menyaksikan dan mewarisi nilai-nilai kekerasan dari lingkungan patriarkis dan praktik pendidikan keras di masyarakat, bahkan di lingkungan kampusnya. Namun, melalui dialog mendalam dengan ayahnya, Mery memahami akar kekerasan tersebut sebagai beban yang harus disembuhkan. Tantangan yang dihadapi Mery termasuk perlawanan awal dari keluarganya dan normalisasi kekerasan di komunitasnya, yang membuat perjuangan melawan ketidakadilan menjadi sulit. Mery memperjuangkan nilai keadilan, pengakuan akan trauma, dan rekonsiliasi, dengan keyakinan bahwa berbicara dan menyadarkan masyarakat adalah langkah penting untuk mendamaikan masa lalu dan mencegah kekerasan di masa depan.

 

Tahapan Transformasi Menuju Perdamaian

Dalam menyikapi kekerasan ia menemukan sebuah bacaan yang menggambarkan mengenai PKI yang dipandang buruk. PKI berhak untuk mendapatkan kekerasan karena mereka memiliki nilai yang bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Selain itu narasi bahwa komunis merupakan paham yang tidak percaya akan adanya tuhan menjadi musuh bersama masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius dan berpegang teguh terhadap ajaran agama. 

Melalui rasa ingin tahunya untuk mencapai kesadaran akan pentingnya pengetahuan mengenai komunis, ia belajar mengenai gerakan-gerakan komunis di Belanda salah staunya yakni peristiwa G30-S. Proses penyembuhan yang dirintis Mery melibatkan beberapa langkah: pengakuan terhadap kekerasan, pemulihan korban, dan rekonsiliasi. Upaya ini bertujuan untuk menyelaraskan hubungan masyarakat dengan masa lalu kelam dan memastikan kekerasan serupa tidak terulang. Tulisan ini akan membahas konteks sosial-politik NTT, peran gereja dalam kekerasan 1965, pengalaman personal Mery, dan bagaimana ia memimpin proses perdamaian yang menekankan pengakuan, pemulihan, dan rekonsiliasi.

Proses melepaskan diri dari tindakan kekerasan sulit untuk ditinggalkan begitu saja. Karena adanya narasi yang kuat peninggalan orde baru yang masih memandang bahwa PKI adalah musuh bersama dan harus dimusnahkan hingga ke akarnya. Dalam pandangan tersebut, bahwa orang-orang yang berhasil keluar dari ekstremisme dan kekerasan adalah mereka yang mampu merasakan rasa bersalah. Perasaan ini mendorong mereka untuk melakukan kepada tindakan baik sebagai cara memperbaiki dan memperkuat hubungan sosial mereka. Dalam proses ini, pelaku kekerasan biasanya mencari cara untuk “penyembuhan.” Di NTT, berdasarkan temuan ada empat bentuk ritual penyembuhan yang dilakukan pelaku, yaitu meminum sedikit darah korban, menggosok tubuh dengan kayu yang diyakini memiliki efek mendinginkan, mengalirkan darah anjing ke sungai, serta memanjatkan doa di gereja.

Buku memori-memori terlarang merupakan sebuah memori penting bagi Mery, penelitian tersebut membuka kesadaran Mery untuk menelusuri ketidakadilan dari orang yang dituduh sebagai PKI. Hal ini merupakan memori kolektif yang sulit dilepaskan, dan menjadi bahan edukasi bagi generasi muda. Gereja harus mencapai kesadaran dan pengakuan atas hal-hal buruk yang melibatkan institusi dan jemaatnya. Rasa malu dan bersalah harus menjadi bagian dari kesadaran ini, yang pada gilirannya akan mendorong gereja untuk bertanggung jawab dan memperbaiki diri demi menjaga eksistensinya di mata jemaat dan masyarakat luas.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top