Partisipasi Ulama Perempuan: Resiliensi Kongres Ulama Perempuan Indonesia dalam Merebut Ruang Praktik Keberagamaan

Indonesia baru saja diramaikan oleh salah satu oknum pendakwah yang melakukan aksi mempermalukan seorang pedagang es teh di tengah ceramahnya. Cercaan yang diiringi dengan gelak tawa ini dengan segera mendapatkan respon negatif dari masyarakat yang merasa bahwa tindakan tersebut tidak layak dilakukan, apalagi oleh seorang pendakwah. Di tengah kultur masyarakat Indonesia, pendakwah atau ulama dianggap sebagai kompas moral, sehingga segala tindakan mereka akan menjadi contoh perilaku bagi masyarakat. Di masyarakat jawa, ulama dipandang sebagai guru, yang harus bisa digugu lan ditiru. “Digugu” berarti bahwa setiap perkataan dan perbuatan guru harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan “ditiru” berarti setiap sikap dan perbuatan guru harus dapat menjadi teladan bagi siswanya. Maka tidak heran tindakan oknum pendakwah ini dengan segera mendapat kecaman negatif.

 

Partisipasi Ulama Perempuan: Resiliensi Kongres Ulama Perempuan Indonesia dalam Merebut Ruang Praktik Keberagamaan

Apa yang salah dari praktik keberagamaan kita?

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat religiusitas yang sangat tinggi. Mengutip survei Pew Research Center (2022), mayoritas masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan dan penghormatan yang sangat besar terhadap pemuka agama dan praktik keagamaan. Hal ini mengakibatkan sosok ulama memiliki otoritas yang begitu besar dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Melihat kondisi ini, tentu kita bisa berefleksi untuk menemukan solusi atas terus meningkatnya keterlibatan perempuan dan anak dalam berbagai tindakan ekstrimisme dan kekerasan. Perempuan dan anak yang selama ini dianggap tidak berdaya ternyata dapat menjadi subjek aktif tindakan terorisme.

Dominasi sistem patriarki dalam praktek beragama kita mengakibatkan perempuan dipandang sebagai sosok yang hanya boleh tunduk dengan dominasi laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari ruang-ruang tafsir keagamaan dan diposisikan sebagai individu tanpa otonomi, sehingga harus tunduk atas semua tafsir-tafsir yang ada. Kondisi menjadi buruk ketika perempuan yang dipandang tidak memiliki otonomi terjebak dalam kelompok terorisme dan dengan demikian terjatuh pada jurang aksi-aksi terorisme. Maka kebaharuan dalam praktek keberagamaan kita menjadi penting. Bukan sekedar representasi, tapi partisipasi aktif perempuan dalam merebut ruang-ruang agama dan dakwah.

 

Lahirnya sebuah oase spiritual

Ulama perempuan yang selama ini kerap berada di garis depan dalam mempromosikan nilai toleransi dan perdamaian melalui pengajaran dan laku praktik keagamaan yang toleran justru kerap menghadapi hambatan dari masyarakat. Sistem patriarki yang begitu kuat membuat ulama perempuan dipandang sebagai sosok yang kurang berkompeten dibanding ulama laki-laki. Kelahiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjadi oase baru bagi keringnya perspektif perempuan di ruang-ruang agama. Kongres ini diprakarsai oleh beberapa ulama perempuan dari berbagai macam latar belakang organisasi kemasyarakatan. Pada 25-27 April 2017, Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama diadakan selama tiga hari di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringan, Cirebon. 

Dalam kongres pertama ini, KUPI menunjukan agency perempuan dalam ruang tafsir agama dengan mendorong penyebarluasan ajaran agama yang berprinsip pada keadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan. Hal ini dilakukan dengan cara membuka ruang-ruang bagi ulama perempuan untuk mengakses pendidikan keagamaan sehingga dapat meneguhkan partisipasi aktif perempuan dalam ruang-ruang keberagamaan. KUPI juga mendorong perubahan paradigma tempat ibadah dari sekedar untuk sarana beribadah yang habblum minallah, tapi juga menjadi sarana bagi terlaksananya habblum minannas melalui penggunaanya sebagai pusat pemberdayaan, ruang aman, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi perempuan. Melalui cara ini diharapkan tafsir Islam yang patriarkal dan bersifat seremonial belaka dapat digantikan dengan tafsir beragama yang progresif dan berpihak pada kaum tertindas, sebagai pengejawantahan Islam yang rahmatan lil’alamin.

 

Dari partisipasi menuju resiliensi

KUPI menawarkan kolaborasi dan partisipasi ulama perempuan dalam merebut ruang-ruang keagamaan yang didominasi laki-laki. Partisipasi menjadi sangat penting karena menunjukan agency ulama perempuan serta resiliensi mereka dalam kerja-kerja perawatan yang selama ini selalu dipinggirkan. Keterlibatan aktif perempuan yang selama ini harus menanggung beban ganda karena kerja domestik tentu akan menghadirkan ruang serta praktik dan tafsir keagamaan yang mengakomodasi kepentingan perempuan. 

Sebagaimana dikutip dari “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia” karya Martin van Bruinessen pada tahun 1994 yang menegaskan bahwa kitab yang ditulis oleh ulama perempuan akan lebih ramah dan mengakomodir kebutuhan perempuan yang selama ini diabaikan oleh ulama laki-laki. Maka partisipasi menjadi penting untuk menciptakan perspektif keagamaan yang berakar dari kebutuhan perempuan yang selama ini terabaikan. Dengan berbagai macam tantangan di era modern serta masih mengakarnya budaya tua, KUPI menjadi garda depan bagi ulama perempuan untuk melakukan berbagai macam kerja perawatan dan dukungan satu sama lain untuk melawan dominasi laki-laki di ruang-ruang keberagamaan.

Rekomendasi-rekomendasi fatwa KUPI menyentuh banyak aspek yang selama ini terabaikan, padahal menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman ketubuhan perempuan. Mulai dari kebolehan aborsi bagi korban pemerkosaan, keharaman sunat perempuan, keharaman pernikahan paksa, dan larangan atas pemerkosaan dalam pernikahan. Berbagai fatwa terhadap isu yang kontroversial ini tentu bukannya tanpa penentangan. Pengakomodasian pengalaman ketubuhan perempuan dalam proses pembuatan fatwa tentu menyerang patriarki serta maskulinitas beracun yang memenuhi ruang ulama dan agama kita selama ini. Maka KUPI sejatinya telah menunjukan bagaimana partisipasi ulama perempuan dalam ruang keberagamaan telah menghadirkan resiliensi bagi mereka dalam memperjuangkan keadilan gender.

Lebih lanjut, baik secara teologis maupun historis, ulama perempuan, sama seperti halnya ulama laki-laki, mengemban misi dari para Nabi untuk berpihak dan membela kaum dhu’afa dan mustadh’afin (lemah dan dilemahkan). Keberadaan dan kehadiran para ulama yang juga disebut sebagai pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya) adalah untuk menebarkan kebaikan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali (rahmatan lil-alamin) sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang toleran, damai, berkeadilan, dan berkesetaraan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top