oleh Siti Robiah
Berdasarkan riset yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) perempuan dan Gen Z menjadi kelompok yang rentan terpapar radikalisme. Hal ini diduga dipengaruhi oleh konten-konten media digital yang sangat mudah untuk diakses. Bahkan menurut data sepanjang 2023 saja sudah ditemukan 2.670 konten mengandung intoleransi, radikalisme, dan terorisme di media sosial.
Penggunaan media digital di era sekarang ini memberi tantangan baru dalam upaya pencegahan paham ekrimisme dan radikalisme. Kasus Dian Yulia Novi seorang teroris bom panci asal Cirebon menjadi sorotan karena mengungkapkan dia terpapar paham radikalis dan bisa terhubung dengan jaringan ISIS hanya melaui social media Facebook dan Telegram.
Kasus lainpun terjadi kurang dari dua tahun setelahnya (Mei 2018), polisi menangkap dua perempuan muda Siska Milenia dan Dita Siska yang berusaha membantu pejuang ISIS yang sedang bentrok dengan petugas keamanan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok. Dua perempuan muda itu dilaporkan teradikalisasi melalui media komunikasi Telegram. Baik kisah Dian atau dua perempuan muda di Depok keduanya sama-sama mendapatkan paham radikalisme dan tergabung dengan jaringan teroris dari media digital.
Perempuan Rentan Terpapar Konten Radikal
Mia Bloom seorang Profesor Komunikasi dan Studi Timur Tengah dan Rekan Keamanan Internasional di New America dalam penelitiannya mengatakan, perempuan terlibat sebagai pelaku radikal terorisme atas faktor 4Rs + 1: Revenge, Redemption, Relationship, Respect, dan Rape. Faktor-faktor tersebut menjadi menjadi sangat efektif ketika dipertemukan dengan kampanye “jihad dan khilafah” di media sosial. Belum lagi ditambah narasi keagamaan seperti istri shalehah dan ketaatan mutlak untuk mendapatkan imbalan surga untuk jihadnya.
Faktor-faktor tersebut digunakan dan dimanfaatkan untuk mengidentifikasi, menargetkan dan meradikalisasi perempuan. Dengan kemudahan media online radikalisasi semakin mudah disebarkan. Narasi atau konten yang menggunggah kebencian dan amarah makin banyak di propagandakan.
Mereka menggunakan sisi perempuan untuk menarik emosi dan empati kepada mereka. Hal ini diperparah lagi dengan sistem algoritma media sosial yang akan menampilkan konten-konten serupa sesuai yang diminatinya. Tentu saja ini semakin menunjukan bahwa perempuan dijadikan sasaran utama yang rentan terpapar paham ekstrimis dan radikalis.
Penanganan terhadap radikalisme
Pemahaman radikalis yang diterima perempuan dari media digital haruslah diatasi dan dicarikan solusi. Narasi kekerasan mengatasnamakan agama memang dijadikan dalil doktrinisasi. Seperti framing narasi istri shalehah dan tawaran-tawaran yang dianggap bisa membahagiakan perempuan. Akan tetapi ternyata ditemukan perbedaan tawaran kepada laki-laki dan perempuan dari kelompok radikalis agar mau berjihad.
Lies Marcoes yang merupakan peneliti senior Yayasan Rumah KitaB menyampaikan penerimaan narasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh narasi tunggal (single story) radikalisme yang biasanya bernada janji surga.
Laki-laki pada umumnya, menerima narasi janji surga dengan balasan bidadari, sehingga dia tertarik untuk menjadi jihadis. Sedangkan, perempuan menerima narasi surga, bukan karena kepentingan individu, melainkan ingin dia dan keluarganya masuk surga. Oleh karena itu menurut Lies Marcoes karena penerimaan narasi antara perempuan dan laki-laki berbeda, maka cara penanganannya akan berbeda juga.
Peran Perempuan Mencegah Radikalisme dari Pengajian Hingga Komunitas
Pencegahan paham radikalis memang harus masuk ke semua jenjang sosial, baik dari lingkungan domestik ataupun publik. Dalam ranah lingkungan yang lebih kecil, misalnya bisa melalui pengajian rutinan ibu-ibu seperti apa yang dilakukan oleh Nyai Luluk Faridah.
Dalam beberapa kali kesempatan Nyai Luluk Farida bercerita tentang pengalamannya dalam mengedukasi kontra narasi ekstremisme kekerasan di masyarakat. Dia melakukan dakwah yang menarik dan dilakukan tanpa kekerasan.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengcounter narasi dari kitab klasik yang bias dengan perspektif yang lebih toleran dan tidak menyudutkan. Karena pemahaman yang tekstualis bisa menjebak seseorang untuk berpaham radikalis. Nyai Luluk Faridah, menggunakan tafsir ayat dan hadist dengan menarasikan bahasa yang bisa mereka terima. Sebagai upaya penyadaran dan bisa membangun paham yang toleran.
“Saya harus punya perspektif yang lainnya, teksnya sama tapi saya sampaikan analisisnya. Kita hubungkan dengan ayat al-qur’an” Tutur Faridah.
Cara yang ia tempuh sangat unik, karena ia sadar orang cenderung menolak narasi atau pemahaman baru dan lebih memilih dalil yang sudah difatwakan ulama terdahulu. Maka cara yang diambilnya bukan mengubah teksnya tapi mengenalkan sudut pandang baru dalam melihat teks tersebut. Inipula yang beliau terapkan saat pengajian dengan kitab uqudulujain.
Gerakan anti radikalisme juga diusung oleh Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) untuk memerangi paham ekstremisme di masyarakat. Program ini meliputi penyusunan modul untuk perempuan pendakwah (daiyah) sebagai bekal pengetahuan dan keterampilan dalam menyebarkan pesan-pesan damai. Selain itu, Fatayat NU juga melakukan deklarasi anti radikalisme dan pelantikan daiyah sebagai simbol komitmen untuk menolak segala bentuk ekstremisme dan menjadi agen perubahan di komunitas.
Untuk memperkuat upaya tersebut, Fatayat NU juga menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lain guna mencegah ekstremisme kekerasan. Gerakan Fatayat NU melalui daiyah anti radikalisme menjadi komitmen dalam membangun masyarakat yang lebih toleran dan damai.
Keterlibatan perempuan baik secara individu maupun komunitas menjadi sebuah acuan pentingnya perempuan untuk diikutsertakan. Mereka bisa melakukan pemberdayaan dan memberikan dampak nyata dari mulai pencegahan, menemukan solusi dan metode efektif. Perempuan dengan keuinikannya bisa membanguun komunitas kuat dan toleran dan memilki peran yang membangkitkan perdamaian dan cegah kekerasan. Menciptakan kehidupan yang harmonis bukan ekstrimis.





