Mewaspadai Tren Populisme Sayap Kanan yang Kian Populer

Terpilihnya Donald J. Trump sebagai presiden Amerika Serikat untuk kedua kalinya di tahun 2024, menandakan bahwa tren populisme sayap kanan di negeri Paman Sam kembali menggeliat. Dalam pidato kemenanganna, Trump berjanji melanjutkan kebijakan populis dan proteksionis, termasuk mengakhiri konflik di Ukraina dengan cepat dan memperketat pengamanan perbatasan. Dia juga menggambarkan kemenangannya sebagai mandat besar untuk “memulihkan Amerika.” 

Kemenangan Donald Trump ini juga menunjukkan bahwa nasionalisme sayap kanan tak selamanya meredup. Justru terdapat tren kenaikan popularitas yang tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tapi juga di sejumlah negara Eropa. Menurut analisis Thomas Greven, akademisi yang berafiliasi dengan Universitas Berlin, populisme yang meluas tidak bisa terlepas dari retorika “kita versus mereka”, di mana identitas nasional harus dilindungi dari ancaman luar seperti imigran atau minoritas​. Trump menonjolkan isu perbatasan yang ketat dan imigrasi sebagai janji utama, mencerminkan pola populisme serupa seperti dalam konteks Eropa. Di Eropa, isu pengungsi dan imigran juga terus disangkutpautkan dengan runtuhnya budaya Barat, dan bahkan kerap dikaitkan dengan ‘Islamisasi’ Eropa. Padahal, realitanya jumlah pendatang yang beragama Muslim amatlah kecil dibandingkan dengan penduduk lokal. Belum lagi, persoalan kompleksitas regulasi dan sistem pemerintahan, yang tidak memungkinkan untuk menerapkan aturan syariah di sana. Lalu, mengapa propaganda ekstremisme sayap kanan makin menarik minat warga lokal? 

Mewaspadai Tren Populisme Sayap Kanan yang Kian Populer

Selain strategi “us versus them”, mereka juga kerap mengklaim diri sebagai bagian dari rakyat. Tak hanya itu sebagai representasi autentik dari “rakyat” melawan “kelas politik korup”, mereka biasanya menawarkan narasi-narasi yang menyatakan bahwa kesengsaraan rakyat di bawah merupakan hasil dari elit yang tidak peduli. Salah satu bentuk ketidakpedulian elit yaitu membiarkan imigran yang memiliki pandangan nilai berbeda dengan mereka, untuk masuk dan tinggal di negara yang mereka cintai. Sedangkan, di saat yang sama para pendatang ini dilihat sebagai ‘perusak’ harmoni sosial yang telah lama dijaga. 

Di saat yang sama, perekonomian global yang lesu akibat pandemi serta dampak krisis keuangan global 2008 yang belum berakhir, terus menciptakan basis bagi kemarahan rakyat, yang dimanfaatkan oleh Trump untuk membangun dukungan, terutama di kawasan industri yang terpuruk (Rust Belt). Dari sini, terlihat bahwa populisme sering mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan oleh globalisasi​. 

Kelompok-kelompok ini tidak hanya terpengaruh secara ekonomi tetapi juga merasa identitas mereka terancam oleh perubahan sosial yang cepat. Isu imigrasi, deindustrialisasi, dan ketidaksetaraan ekonomi menjadi bahan utama yang diangkat oleh populisme sayap kanan untuk menciptakan narasi “kita versus mereka.” 

Strategi ini sangat resonan di wilayah seperti Rust Belt, di mana pemilih kelas pekerja merasa terabaikan oleh kebijakan globalisasi yang mereka anggap menguntungkan perusahaan besar tetapi menghancurkan pekerjaan lokal. Retorika ini tidak hanya membangun keterhubungan emosional dengan pemilih tetapi juga menyalurkan rasa frustrasi mereka menjadi dukungan politik. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Greven, populisme sayap kanan sering menggunakan simbolisme kuat dan retorika sederhana untuk menjawab masalah kompleks. Ini menciptakan daya tarik yang kuat bagi mereka yang kecewa dengan kebijakan mainstream yang dianggap terlalu kompromistis dan tidak efektif​. 

Pola yang sama juga terjadi di Eropa, di mana partai-partai populis seperti Front National di Prancis dan PiS di Polandia mendapatkan dukungan dari kelompok yang merasa hak-hak mereka terpinggirkan. Hal ini menunjukkan bahwa populisme sayap kanan berakar pada pola-pola serupa meskipun terdapat perbedaan budaya dan sejarah di kedua wilayah. 

Selain faktor ekonomi, kelompok-kelompok ekstremis sayap kanan juga lihai memanfaatkan media sosial. Mereka gencar memanfaatkan media seperti Facebook hingga TikTok untuk menyebarkan provokasi dan menarik perhatian melalui retorika yang kontroversial​. Gaya komunikasi mereka acap kali sangat konfrontatif, sering kali menyalahkan kelompok minoritas atau media sebagai “musuh rakyat,” mencerminkan pola retorika polarisasi khas populisme sayap kanan.

Strategi ini digunakan bukan hanya untuk memberikan eksposur luas kepada kelompok populis, tetapi juga memperkuat posisi mereka sebagai pembela “rakyat” melawan institusi yang mereka anggap tidak dapat dipercaya. Dengan mengandalkan algoritma media sosial yang memprioritaskan konten emosional dan kontroversial, mereka mampu memperluas jangkauan pesan mereka ke audiens yang lebih besar. Dampaknya, polarisasi dalam masyarakat terus menguat, menciptakan jurang perpecahan yang sulit dijembatani.

Kemenangan Donald Trump pada 2024 menunjukkan bahwa populisme sayap kanan tetap menjadi kekuatan politik yang tangguh, baik di Amerika Serikat maupun di Eropa. Dengan menggabungkan narasi yang mengakar pada ketidakpuasan ekonomi dan sosial, penggunaan media yang cerdik, serta eksploitasi isu identitas, populisme jenis ini mampu memanfaatkan krisis untuk mendapatkan momentum politik. Masa depan politik Amerika Serikat, dan mungkin dunia, bergantung pada bagaimana masyarakat global menghadapi tantangan ini, apakah melalui kebijakan yang lebih inklusif, pengelolaan ekonomi yang lebih adil, atau revitalisasi nilai-nilai demokrasi yang dapat meredam retorika ekstremisme populis.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top