Membangun Mekanisme Formal Partisipasi
Dampak paling terlihat dari gerakan kolektif yang dimotori kepemimpinan perempuan adalah kehadiran mekanisme keterlibatan masyarakat di struktur pemerintah. Kelompok Kerja Tematis (Pokja Tematis) lahir dari rahim WGWC, sebagai mekanisme formal memastikan negara mengadopsi indikator gender dalam kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan. Awalnya, WGWC hanya memikirkan pentingnya sebuah kelompok kerja pengarusutamaan gender, yang secara formal terintegrasi dalam struktur pemerintah. Melalui sejumlah workshop konsultasi online dan offline, ternyata kebutuhan kelompok kerja yang bisa menopang kerja-kerja pilar dalam RAN PE, tidak hanya penting untuk penguatan gender tetapi juga untuk isu yang dianggap masyarakat sipil masih lemah intervensinya. Contohnya pelibatan pemuda, komunikasi strategis, perlindungan hak korban, kesiapsiagaan nasional, penegakan hukum dan HAM, dan rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Saya selalu percaya kepemimpinan perempuan telah terbukti mampu memperluas jangkauan aktor dan ruang intervensi. Selain budaya kerja kolektif yang dijalani sejak 2017, kepemimpinan perempuan dalam WGWC juga luwes dan peka membaca area yang berpotensi memperkuat kesetaraan gender, dengan cara mainstreaming gender dalam bidang-bidang lainnya. Peluang terbesar dan tercepat mengintegrasikan indikator gender adalah dengan menghadirkan Pokja Tematis, yang payung hukumnya Peraturan BNPT No.5/2021 tentang Tata Cara Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan RAN PE Tahun 2020-2024.
Beberapa bidang dibentuk dalam Pokja Tematis, diantaranya pengarusutamaan gender, pelibatan pemuda, komunikasi strategis, perlindungan hak korban, kesiapsiagaan nasional, penegakan hukum dan HAM, serta rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Kehadiran Pokja Tematis telah mengubah cara pemerintah berkoordinasi, membaca isu-isu penting dan mendorong pola kolaborasi dengan masyarakat sipil yang lebih bermakna.
Kepemimpinan Pokja Tematis mengedepankan tindakan afirmatif bagi perempuan, melalui kehadiran dua perwakilan lembaga yaitu perempuan dan laki-laki, integrasi indikator gender dalam pelaporan per tiga bulanan, dan memperkuat program-program pemberdayaan perempuan. Terpilihnya perempuan sebagai Ketua Pokja Tematis, dengan latar belakang gerakan perempuan, tidak saja berhasil memperluas ruang partisipasi perempuan, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti korban terorisme, pemuda, mantan kombatan dan simpatisan kelompok radikal.
Jika dilihat dari tingginya partisipasi perempuan dari setiap lembaga yang hadir dalam rapat rutin tiga bulanan, saya menduga ada keterbukaan di anggota Pokja Tematis untuk mempromosikan kepemimpinan perempuan. Pengakuan Erni Kurniati (DASPR) dan Khariroh Maknunah (YPP) tentang geliat lembaganya mengintegrasikan perspektif gender dalam kerja rehabilitasi dan reintegrasi, pengembangan program ke arah pemberdayaan perempuan, dan sejumlah pendelegasian kepada staf perempuan, merupakan dampak nyata efektifitas strategi pengarusutamaan gender WGWC dalam Pokja Tematis.
Dukungan Sekretariat bersama RAN PE dalam memfasilitasi rapat koordinasi termasuk menghadirkan anggota Pokja Tematis, membawa tradisi baru dalam pemerintah,terkait mekanisme koordinasi lintas aktor. Meskipun belum semua anggota Kelompok Kerja berpartisipasi dalam satu rapat koordinasi besar, keberhasilan beberapa rapat koordinasi sejak tahun lalu untuk mendatangkan semua ketua atau semua perwakilan Pokja, cukup melunturkan ketidakpercayaan sejumlah pihak.
Tanggal 27 Juni 2023, Pokja Tematis bersama Sekber RAN PE menyelenggarakan Rapat Koordinasi, yang dihadiri semua bidang Pokja Tematis, dan representasi Pilar Pencegahan, Perlindungan, dan Kerjasama Internasional. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Sekretariat Bersama RAN PE, Sekretaris Utama BNPT, Bambang Surono, dan membahas perkembangan RAN PE, hambatan dan tantangan dalam penerapannya.
Dari presentasi masing-masing Pokja, dan analisa sejumlah hambatan dan tantangan selama kurun enam bulan, saya merasakan ada peningkatan kepercayaan pemerintah kepada masyarakat sipil.
Salah satu hambatan masyarakat sipil adalah rotasi jabatan yang terlalu cepat, yang sering memperlambat proses karena pengalihan pekerjaan kepada orang baru kurang lancar. Seringkali CSO harus memastikan orang kunci dalam pemerintahan memahami sejumlah isu penting. Terbatasnya sumber daya keuangan yang menghambat perluasan wilayah, dijawab dengan gagasan bekerjasama dengan BUMN, padahal berkembangnya radikalisme dan ekstremisme kekerasan berpotensi mengancam stabilitas bisnis dan kesejahteraan orang banyak.
(bersambung)
***
Tulisan Dwi Rubiyanti Kholifah selengkapnya dapat dibaca melalui buku “Teroris, Korban, Pejuang Damai: Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme di Indonesia” (AMAN INdonesia, 2023). Buku dapat dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuwgwc





