2018, masih terekam jelas di ingatan saya mengenai tragedi teror Bom Surabaya yang sempat heboh di berita-berita. Saat itu saya kelas 3 SMA di salah satu SMA Negeri di kabupaten kecil. Jelas tak terduga dan mengkagetkan orang se-kabupaten, bahwa salah satu pelaku teror tersebut berasal dari kabupaten kami, dimana istri dan anak-anaknya menetap. Keluarga pelaku yang sebelumnya dikenal baik oleh tetangga dan masyarakat sekitar, berubah keadaanya 180 derajat ketika berita tersebut menyebar. Tiap mata mencurigai, menjadi buah bibir dimana-mana, bahkan oleh pedagang koran di lampu merah sambil menawarkan dagangannya. Kebetulan pula saat itu adik dari teman saya ternyata satu sekolah dengan anak pelaku, menurut ceritanya pula saya sempat mendengar bahwa pelaku ditangkap saat mengantar anaknya berangkat sekolah, ditangkap di depan sekolah anaknya, di depan teman-teman anaknya. Saat itu yang terpikirkan dalam benak saya hanyalah bagaimana perasaan anaknya, akankah penangkapan tersebut tumbuh menjadi dendam yang mendalam di hati anak kecil yang belum paham kronologi kejadian yang sebenarnya?
Tahun-tahun berlalu, dan berita tentang keluarga pelaku sudah tidak lagi saya dengar perkembangannya. Belakangan ini pertanyaan saya selama ini terjawab, tentang bagaimana nasib perempuan dan anak-anak korban jaringan terorisme. Tahun 2018 rupanya berhasil menjadi momentum yang memanggil Pemerintah untuk lebih serius melindungi anak-anak dari pengaruh jaringan teroris. Langkah progresif yang terwujud salah satunya adalah dikeluarkannya peraturan Menteri Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 07 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Dua tahun kemudian, lahir peraturan serupa yang semakin menguatkan, yakni disahkannya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Pedoman ini menekankan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak sebagai prinsip utamanya. Pada dasarnya, anak-anak merupakan aset bangsa yang harus dilindungi masa depannya. Paparan paham terorisme dan radikalisme di sekitar lingkungan anak jelas menjadi ancaman nyata bagi pemahaman agamanya, pandangan hidup, paham nasionalisme dan rasa cinta tanah air pada diri anak. Hal ini perlu mendapat perhatian dan kerjasama nyata dari seluruh pihak, baik pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, lembaga masyarakat, hingga organisasi internasional yang tergabung dalam Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).

Anak korban jaringan terorisme adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana terorisme. Anak korban terorisme dapat mengalami stigmatisasi dari lingkungannya, seperti perundungan, dikucilkan, dan tidak mendapatkan pemenuhan hak-haknya. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat antara tahun 2016 hingga 2023, terdapat 29 anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme. Berbagai upaya telah dikembangkan termasuk diantaranya mengembangkan Pedoman Mekanisme Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme, demi mendukung Indonesia Layak Anak 2030. Anak-anak dari keluarga pelaku teroris rentan mendapat pemahaman yang keliru dan rentan mengalami brain wash dari lingkungannya. Apalagi jika tersimpan rasa sakit hati, trauma fisik dan emosional akibat penangkapan orang tuanya, maka tidak menutup kemungkinan timbul perasaan ingin balas dendam kepada negara. Rantai perilaku terorisme harus diputus dengan melindungi anak korban terorisme melalui edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai-nilai nasionalisme yang benar. Anak korban terorisme harus dilihat sebagai ‘korban’, bukan sebaliknya yang kerpakali berimbas pada kesehatan mental dan kejiwaan anak. Oleh sebab itu perlu pula adanya pendampingan sosial, konseling psikolog, dan rehabilitasi sosial, bagi anak korban terorisme.
Selain anak-anak, perempuan-perempuan korban terorisme perlu pula mendapat perlindungan. Seperti cerita saya diatas, istri pelaku yang barangkali tidak tahu apa-apa tentang kegiatan tersembunyi suaminya turut pula terkena stigma negatif dari masyakarat dan lingkungan sekitar. Sama seperti anak korban terorisme, perempuan korban terorisme juga rentan mengalami trauma fisik dan emosional. Mereka juga berpotensi mendapat pemahaman yang keliru dan menjadi sasaran brain wash. Narasi-narasi brain wash yang kerap dipaparkan seperti pemerintahan yang dianggap thogut, adanya janji syahid berupa surga dan syafaatnya, solidaritas Islam, berpindah kewarganegaraan di negara berhukum Islam. Jika berlarut tidak mendapat perlindungan, perempuan yang awalnya berangkat dari korban tak menutup kemungkinan mereka berbalik turut pula menjadi pelaku dan terjerumus dalam pusaran ekstrimisme. Perempuan rentan di eksploitasi oleh kelompok radikal berbasis kekerasan dengan memanfaatkan rasa sakit hatinya yang berujung menjadi api dendam pembalasan. Selain karena adanya brain wash dan motivasi balas dendam sebagai korban, keterlibatan perempuan dalam lingkup ekstrimisme juga bisa pula dipengaruhi oleh adanya kekecewaan karena mengalami KDRT, putus cinta, dan kepercayaan akan kesetian pada suami dalam ajaran agama. Menurut peneliti terorisme SeRVE Indonesia, saat ini sudah ada 500-an perempuan Indonesia yang terlibat gerakan teroris. Oleh sebab itu, penting kiranya kita semua menyadari bahaya gerakan teroris dan kelompok radikal, serta bekerja sama memutus rantai eksploitasi berkedok eksistensi bagi perempuan dalam lingkaran ekstrimisme.