Menjaga Rumah Bersama: Peran Percik menghadapi Ekstremisme di Jawa Tengah (Bagian 2)

Haryani Saptaningtyas dan C. Dwi Wuryaningsih

Serpihan Cerita,  Kekuatan Kolektif Perempuan

Menjaga Rumah Bersama: Peran Percik menghadapi Ekstremisme di Jawa Tengah (Bagian 2)

Bagi teman-teman Percik, pendampingan program yang beririsan dengan kelompok ekstremisme bukanlah hal baru. Pemetaan dan profiling aktor di Jawa Tengah mengungkap kondisi demografis, sosiologis dan kultural propinsi ini. Berikut catatan bagaimana kami memulai membuka kontak dengan Tika.

Tika,bukan nama sebenarnya, tak pernah mau menyebutkan jaringan kelompok eksklusif yang ia ikuti bersama suaminya. Ia hanya bercerita ustadnya melarang Tika banyak berhubungan dengan Pak Lurah, yang mewakili pemerintah. Tika ditengarai sebagai pengikut kelompok eksklusif yang kerap identik berseberangan dengan pemerintah. Bahkan jaringan kelompok yang diikuti Tika kerap disangkutpautkan dengan aksi kekerasan ekstrem atas nama agama. Meski ditentang, bahkan ancaman bisa dibunuh jika terus berhubungan dengan pemerintah, niat Tika untuk terus berkomunikasi dengan Lurah [pemerintah] tak surut.  Dengan cara terus menjalin komunikasi yang baik dengan Pak Lurah, Tika mendapat banyak informasi sehingga bisa membantu keluarga-keluarga yang membutuhkan, seperti administrasi kependudukan/KTP serta bantuan bagi warga kurang mampu. 

Siang itu kami dipertemukan dengan Tika yang bercadar hitam. Hampir dua pertiga wajah Tika tertutup cadar, sehingga kami tak bisa mengenali wajahnya secara utuh. Tika masih kerabat dekat Pak Lanang, seorang pensiunan tentara, yang telah lama kami kenal sebelumnya. Dengan bantuan  lurah setempat yang menghubungi Pak Lanang, kami dibuatkan janji bertemu Tika. Di ruang tamu Pak Lanang, kami bertemu dan ngobrol bareng Pak Lanang dan Tika.

Jujur, kami baru pertama kali bertemu perempuan bercadar yang ditengarai terlibat jaringan kelompok eksklusif. Kelompok tersebut kerapkali dihubungkan dengan jaringan radikal dan teroris. Di wilayah ini banyak warga yang tersangkut kasus jaringan terorisme. Sebagian telah berurusan dengan pihak kepolisian. Bahkan sebagian terkenal nekat dan tak takut bertaruh nyawa demi misi yang ingin diwujudkan dalam aksi teroris. Dalam kehidupan warga masyarakat yang membaur di kelurahan seperti tempat Tika tinggal ini, memang tak tampak mana masyarakat yang pendukung kelompok eksklusif dan yang bukan. Apalagi kami yang bukan berasal dari wilayah ini,  bahkan tetangga, teman dekat, dan anggota kerabat pun belum tentu tahu siapa pendukung kelompok eksklusif dan yang bukan. Dalam hal tertentu pendukung kelompok eksklusif tampak hidup dan bergaul layaknya warga masyarakat lainnya. Meski sebagian membatasi pergaulan dan hanya bersedia menjalin komunikasi dengan sesama anggota kelompoknya saja. Kami sempat merasa bimbang, namun sekaligus penasaran dan takut ketika hendak dipertemukan dengan Tika. Namun, Pak Lurah menyakinkan kami kalau sekedar ingin bertemu dan ngobrol akan baik-baik saja.

Pak Lanang menyadari tidak mudah mengajak Tika meninggalkan jaringannya. Namun secara perlahan ia pun berupaya membuka pandangan Tika tentang orang-orang yang oleh kelompoknya biasanya dikategorikan thoghut , , mereka yang dianggap melanggar batas dalam keyakinan kelompok tersebut. Tika dan kelompoknya memandang aparat pemerintahan termasuk kepolisian dan tentara juga thogut,  musuh yang harus dilawan.  Suatu ketika Tika perlu sejumlah uang. Pak Lanang mengetahui persoalan yang dihadapi Tika dan berujar, “Aku bisa meminjami kamu uang, tapi apakah kamu mau menerima uang dari aku. Bukankah ini uang thogut?” Inilah kesempatan Pak Lanang melalui hal-hal yang tampaknya sederhana, untuk membuka mata Tika tentang apa yang selama ini  ia sebut sebagai thogut.

Pembawaan Pak Lanang yang ramah cukup mencairkan obrolan siang itu. Tika sempat bertanya kepada kami, apakah kami takut bertemu dengan dirinya, seorang perempuan bercadar. Tampaknya Tika sadar keberadaan perempuan bercadar seperti dirinya akan menimbulkan pandangan tertentu.

Bagi kami, hal berkesan tentang Tika adalah keberaniannya berbeda pendapat dengan ustadnya, berani berdebat dan beragumen bahwa apa yang ia lakukan adalah kebenaran, untuk kebaikan bagi sesamanya. Tika bersedia menjalin komunikasi dengan aparat pemerintah, mendatangi forum-forum diskusi untuk menambah pengetahuan, yang menurut Tika tidak diperbolehkan jaringannya. Namun Tika berani melakukan hal itu. Hal yang jarang bahkan tidak pernah dilakukan perempuan-perempuan lain yang tunduk pada “aturan” jaringan. Apa yang dilakukan Tika lebih didasarkan keinginannya berbuat kebaikan bagi sesamanya yang membutuhkan bantuan. Menurut Tika, ustad telah mengajarkan berbuat baik. Dalam pandangan Tika meski perilakunya ditentang ustadnya, ia berkesempatan berbuat kebaikan bagi sesamanya. Cerita Tika dan bagaimana kami berkontak dekat dengannya lama-lama mengembangkan kepercayaannya. Sebagai non Muslim, tidak berjilbab serta berasal dari lembaga non pemerintah (LSM) kami seolah berjarak dengannya. Kami diidentikkan kelompok sekuler dan liberal bahkan kafir. Dengan stigma ini sosok Tika seolah tak tersentuh (untouchable), padahal banyak persamaan kami dengannya. Kami perempuan, sama-sama melahirkan, kamilah yang setiap hari berjuang bagaimana makanan itu ada, mengantar anak tumbuh dan berkembang dan memastikan mereka aman. Jika nanti hari akhir itu tiba, kami sama-sama berharap bergandengan bersama anak-anak kami masuk surga.  Sampai di konsep ini, kami berhenti. Merenung. Akankah konsep surga ini membuat kami berbeda? Sementara selama kami terlibat gerakan Sobat bersama para pendeta dan kyai di Jawa Tengah, konsep-konsep ini telah selesai kami diskusikan. Ini yang membuat kami terus berani. Kami bertemu banyak pejabat terutama Pak Lurah yang satu visi dengan kami. Mendengar pengalaman mereka wajib bagi upaya membangun kepercayaan dengan dampingan kami.

 

(bersambung)

***

Tulisan Haryani Saptaningtyas dan C. Dwi Wuryaningsih selengkapnya dapat dibaca melalui buku “Teroris, Korban, Pejuang Damai: Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme di Indonesia” (AMAN INdonesia, 2023). Buku dapat dipesan melalui link berikut bit.ly/pesanbukuwgwc 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top