Menjaga Bara Api Warisan Teosofi: Kisah Yohanna Merajut Spiritualisme dan Toleransi

Teosofi, mungkin tidak banyak yang mengetahui nama kelompok spiritualisme ini. Teosofi adalah sebuah aliran filsafat spiritual yang menekankan pada penggabungan unsur-unsur agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan modern untuk memahami hakikat alam semesta, penciptaan kehidupan, dan Tuhan. Kata “teosofi” sendiri berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan sophia (kebijaksanaan), yang secara harfiah berarti “kebijaksanaan ilahi.” Gerakan teosofi modern terutama dikaitkan dengan Theosophical Society, yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky pada tahun 1875. 

Di Indonesia sendiri, Teosofi sempat dilarang pada tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 54 Tahun 1963. Pelarangan ini sendiri lebih dianggap bermotif politis karena Teosofi dianggap memiliki afiliasi dengan barat di tengah situasi politik domestik yang anti-barat. Meski begitu, Teosofi melalui Perhimpunan Warga Theosofi Indonesia atau Perwathin kemudian membentuk organisasi baru terpisah pada 31 Juli 1963 dan disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 November No. J.A./146/23. Pasca reformasi, Keppres No. 54 juga dicabut oleh presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap tidak relevan. 

Menjaga Bara Api Warisan Teosofi: Kisah Yohanna Merajut Spiritualisme dan Toleransi

Pasca reformasi, Teosofi semakin bergeliat meski menghadapi berbagai macam tantangan. Stigma yang melekat mengenai keterkaitan ajaran Teosofi dengan kelompok freemason atau iluminati. Padahal Teosofi merupakan kelompok pengajaran spiritual yang menegaskan pada persaudaran dan humanisme universal untuk mewujudkan perdamaian global.

Yohanna merupakan Sekretaris Nasional Perwathin. Ia berkenalan dengan ajaran Teosofin sejak bangku SMA pada tahun 2000an awal. Usia yang sangat belia untuk berkenalan dengan spiritualisme. Perkenalannya dengan Teosofi dimulai ketika ia memiliki ketertarikan terhadap penyembuhan prana atau pranic healing, sebuah model terapi penyembuhan kuno yang menggunakan prana atau energi vital untuk menyeimbangkan dan mengubah proses energi tubuh. Melalui ketertarikan ini Yohanna menjadi semakin dalam mempelajari Teosofi, dimana ia menemukan arti kehidupan, bagaimana mengontrol tempramen, mengenal alam semesta dan tujuan penciptaan, serta berdampak positif dalam laku kehidupan harian Yohanna.

Sebagai generasi muda perempuan di organisasi yang cukup tua dan didominasi laki-laki senior, Yohanna memainkan peran sangat vital dan perkembangan Perwathin. Sebagai sekretaris nasional, ia memainkan peran dalam proses pencatatan administrasi, keanggotaan, hingga asset organisasi. Yohanna juga memainkan peran penting untuk memastikan Perwathin terus bertahan di era pandemi COVID-19. Meski dengan keterbatasan kemampuan digital, Yohanna dengan bersemangat melakukan digitalisasi kerja-kerja Teosofi. Mulai dari menyelanggarakan kajian-kajian spiritual secara daring, melakukan livestreaming, hingga mengaktivasi media sosial Perwathin.

Yohanna berkisah bahwa, meski organisasi Perwathin didominasi laki-laki yang berusia jauh lebih senior darinya, ia tidak pernah minder ataupun takut karena sebagai organisasi, Perwathin menekankan persaudaraan universal tanpa membeda-bedakan ras, gender, jenis kelamin, maupun orientasi seksual. Ia menekankan bahwa perempuan harus berani bersuara, terlebih dalam memperjuangkan kebenaran.

Dengan berani, Yohanna kerap menjadi juru bicara Perwathin dalam berbagai kesempatan. Ia menjadikan Perwathin sebagai organisasi yang terbuka guna meluruhkan prasangka yang bertebaran terhadap organisasinya. Karena tanpa perjumpaan, hanya akan ada prasangka. Ia kerap terang-terang menyatakan diri sebagai penganut ajaran spiritual Teosofi dan membuka diri terhadap berbagai permintaan tawaran dialog maupun penelitian yang menghampirinya. Melalui cara ini lah Yohanna percaya, sebagai perempuan muda ia dapat berkontribusi dan menjaga warisan Teosofi yang telah mengakar sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.

Ketika ditanya bagaimana ajaran Teosofi dapat mencegah keterlibatan perempuan dalam tindakan ekstremisme dan kekerasan, Yohanna menanggapinya dengan pengalaman yang ia rasakan selama ini. Setelah berpuluh-puluh tahun, Ia mengaku kini dapat mengenal dirinya secara lebih dalam, ia memahami hukum karma dan menghindari pelimpahan kesalahan atas setiap kegagalan yang ia alami. Lebih lanjut, ini tentu mencegah perempuan untuk dapat terpengaruh ajaran-ajaran keagamaan yang intoleran dan mendorong kekerasan.

Teosofi percaya pada persaudaran universal, dimana semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih pencerahan dan berbahagia. Sehingga bentuk-bentuk diskriminasi dan intoleransi, apalagi kekerasan tentu saja bertentangan dengan ajaran Teosofi. Dengan mendorong pencarian kebenaran secara individual melalui pendidikan spiritual, meditasi, dan pengembangan diri. Proses ini membantu individu menjadi lebih bijaksana, sabar, dan empatik, yang berkontribusi pada hubungan yang lebih damai dengan orang lain

Seperti yang sudah Yohanna sebutkan terkait hukum karma, dalam teosofi, hukum karma (sebab-akibat) menjadi pengingat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensinya. Kesadaran ini mendorong individu untuk bertindak dengan cinta kasih, menjauhi kekerasan, dan menciptakan perdamaian baik di tingkat pribadi maupun kolektif.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top