Pernahkah Anda mendengar tagar “#JusticeForAudrey”? Pada tahun 2019, seorang siswi SMP bernama Audrey diduga menjadi korban pengeroyokan oleh siswi SMA di Pontianak. Kasus ini sempat viral dan menggugah perhatian publik, memunculkan diskusi nasional mengenai perundungan dan kekerasan di kalangan pelajar. Sayangnya, setelah diselidiki lebih lanjut, fakta-fakta yang terungkap justru berlawanan dengan narasi awal yang berkembang. Audrey, yang awalnya diposisikan sebagai korban kekerasan fisik brutal, ternyata memiliki peran sebagai salah satu pelaku dalam konflik tersebut.
Fenomena seperti ini menunjukkan betapa mudahnya opini publik dipengaruhi oleh narasi yang belum tentu benar. Ketika informasi belum terverifikasi, masyarakat sering kali terburu-buru menghakimi, mempercayai versi cerita yang paling emosional, dan membangun simpati pada pihak yang dianggap korban. Hal ini menciptakan bias besar, di mana tekanan sosial yang kuat dapat memengaruhi proses hukum, bahkan sebelum fakta-fakta valid terungkap

Namun, tak hanya berhenti di sana, kasus perundungan lainya bermunculan. Salah satunya adalah kasus perundungan terhadap David di tahun 2023 yang menjadi korban kekerasan brutal oleh Mario Dandy, anak seorang pejabat pajak. Kasus ini tidak hanya mengungkap sisi gelap perundungan, tetapi juga menyoroti kesenjangan kekuasaan dan potensi korupsi. Selain itu, kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik. Penyanyi Lesti Kejora, misalnya, menjadi sasaran perundungan online setelah mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya. Pilihan hidupnya dipertanyakan oleh warganet, seolah-olah menjadi korban adalah kesalahannya sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa perundungan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari fisik hingga psikologis, dan menyasar siapa saja, tanpa mengenal usia atau status sosial.
Meski masyarakat kini lebih peduli terhadap isu perundungan, muncul benang merah yang patut disoroti yaitu tingginya kesadaran ini seringkali dibarengi dengan miskonsepsi dalam penanganannya. Kata “bully” telah menjadi semacam alarm sosial, namun apakah sekadar memberikan hukuman atau efek jera cukup untuk mengatasi masalah ini? Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan bahwa pada paruh pertama tahun 2024 saja terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, yang sebagian besar terjadi di lingkungan sekolah. Angka ini menunjukkan bahwa langkah preventif belum sepenuhnya efektif, dan kita perlu memahami permasalahan ini dari akarnya.
Najeela Shihab, melalui buku Semua Murid Semua Guru Volume 1, mengungkapkan bahwa menangani perundungan adalah tentang pencegahan dan pembiasaan, bukan hanya soal penindakan dan hukuman. Salah kaprah kerap muncul sejak awal, yakni saat masyarakat menentukan apakah suatu perilaku termasuk perundungan atau sekadar konflik. Perbedaan mendasarnya, menurut Najeela, terletak pada ketidakseimbangan kekuatan ketika korban perundungan biasanya tidak memiliki kemampuan untuk bersuara atau mencari solusi, sementara konflik memungkinkan kedua pihak untuk saling mendengarkan dan menyelesaikan masalah secara adil.
Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika masyarakat terlalu cepat melabel korban atau pelaku tanpa memahami dinamika di balik kasus tersebut. Sebagaimana terlihat pada kasus Audrey, label “korban” atau “pelaku” bisa jadi kabur ketika fakta-fakta baru terungkap.
Kesalahpahaman lain yang sering terjadi adalah saat korban dianggap hanya membutuhkan dukungan agar tidak diam. Faktanya, mereka memerlukan bantuan lebih dari sekadar empati atau penyebaran cerita. Korban membutuhkan keterampilan hidup untuk bertahan dalam lingkungan sosial, seperti bagaimana menyampaikan keinginan, menghadapi bujukan, atau merespons ejekan. Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara mandiri, melainkan membutuhkan pendampingan intensif dari pihak yang peduli.
Di sisi lain, pelaku perundungan sering kali adalah wujud lain dari korban. Sebagian besar pelaku adalah individu yang juga mengalami kekerasan atau ketidakadilan sebelumnya dan mempelajari bahwa kekerasan adalah cara untuk mendapatkan perhatian atau dukungan. Alih-alih memberikan hukuman yang hanya bersifat represif, dukungan sosial yang tepat terhadap pelaku juga menjadi bagian penting dalam memutus rantai perundungan.
Penanganan perundungan tidak dapat hanya bersifat reaktif seperti memadamkan api yang telah menyala. Diperlukan langkah-langkah preventif yang terencana dan berkelanjutan, agar risiko berulangnya kasus serupa dapat diminimalkan. Najeela menekankan pentingnya mediasi konflik sebelum menjadi lebih besar dan meluas, menghentikan kekerasan saat terjadi, hingga membangun persahabatan tulus antara anak-anak, serta melibatkan semua pihak, baik orang dewasa maupun anak-anak, untuk aktif mencegah perundungan. Pendekatan ini membutuhkan keberanian dan komitmen semua pihak agar mereka tidak sekadar menjadi saksi pasif.
Kasus viral seperti #JusticeForAudrey, #JusticeForDavid, maupun perundungan online yang dialami Lesti Kejora seharusnya tidak hanya menjadi cerita lama yang dibumbui keprihatinan sesaat. Sebaliknya, momentum ini perlu menjadi titik awal untuk menggugah perubahan kebijakan dan pendekatan dalam menangani perundungan. Lebih dari itu, kesadaran yang telah terbangun di masyarakat harus diikuti oleh aksi nyata yang strategis dan berfokus pada jangka panjang.
Pada akhirnya, membongkar fenomena salah kaprah dalam menangani perundungan membutuhkan pemahaman mendalam dan pendekatan holistik. Penindakan hukum memang penting, tetapi tanpa pencegahan dan pembiasaan yang tepat, kita hanya akan menciptakan siklus yang berulang. Saatnya kita bersama-sama mewujudkan lingkungan yang lebih aman dan suportif bagi setiap individu, terutama anak-anak, untuk berkembang tanpa rasa takut akan kekerasan atau perundungan.