Mengulik Ketidakadilan, Eksploitasi, dan Perlawanan Perempuan dalam Film Anora

Ketika tubuh adalah alat bertahan hidup, maka eksploitasi pun mengintai di depan mata. Kala “Anora” terpilih menjadi film terbaik di perhelatan Oscar tahun 2025 sempat mengundang banyak tanya. Terlepas dari beragam tanya dan kontroversi, “Anora” bukan sekadar film. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kasar ketidakadilan sosial, sekaligus kisah intim tentang seorang perempuan. 

Anora adalah seorang perempuan yang berjuang untuk mempertahankan martabatnya di tengah dunia yang ingin merenggutnya. Sebagai seorang penari strip dan pekerja seks di Brooklyn, New York, Anora terlibat dalam hubungan romantis “rumit” dengan Vanya. Awalnya, mereka terhubung dari transaksi relasi pelanggan-pengguna, namun mereka terus bertemu dan muncul benih-benih cinta. 

Mengulik Ketidakadilan, Eksploitasi, dan Perlawanan Perempuan dalam Film Anora

Anora tidak tahu Vanya merupakan putra seorang pengusaha kaya cum oligarki asal Rusia. Hubungan mereka pun tidak direstui, bahkan Anora pun dipaksa, disiksa, hingga dibayar untuk meninggalkan Vanya. Walhasil, di balik hubungan kedua anak muda ini yang tampak romantis, tersembunyi narasi gelap tentang kekerasan, eksploitasi, dan perlawanan.

 

Tubuh Perempuan sebagai Medan Pertarungan

Film “Anora” tidak hanya mendedahkan persoalan kekerasan atas perempuan secara gamblang. Ia dibangun dari bagaimana kehidupan Anora sebagai perempuan yang hidup di pinggiran. Tubuhnya adalah alat bertahan hidup. Sebagai penari di klub malam dan pekerja seks, Anora menjual tubuhnya untuk membayar sewa, membeli makanan, dan dia juga berharap bisa membebaskan diri dari lingkaran kemiskinan. Untuk itu, tubuh Anora bukan sekadar komoditas. Ia juga menjadi medan pertarungan antara otonomi dan kontrol, antara kebebasan dan keterpaksaan.

Film ini menunjukkan betapa pilihan hidup seorang perempuan bernama Anora dibentuk oleh sistem ekonomi yang tidak adil. Anora tidak memilih menjadi pekerja seks karena itu impiannya. Dia melakukannya karena sistem gagal memberinya alternatif yang layak. Ini adalah kekerasan struktural, di mana bentuk kekerasan yang tidak terlihat, tetapi dampaknya sangat menghancurkan. Tubuh Anora menjadi sasaran eksploitasi, bukan karena dia lemah, tetapi karena sistem yang menindas.

Film “Anora” adalah tentang ketidakadilan ekonomi. Anora hidup dalam kemiskinan, sementara keluarga Vanya hidup dalam kemewahan yang tak terbayangkan. Jurang antara mereka bukan sekadar perbedaan kekayaan, melainkan perbedaan kekuasaan. Sistem kelas sosial juga dihadirkan dengan gamblang, bersama relasi kuasa dan kekuasaan di dalamnya. Ketidakadilan kelas sosial adalah akar dari kekerasan yang dialami Anora.

Film ini menggambarkan bagaimana Anora dipaksa untuk bekerja di industri seks karena sistem gagal memberinya pilihan lain. Dia dieksploitasi oleh majikan, pelanggan, dan bahkan oleh orang yang mencintainya. Ini adalah kritik tajam terhadap sistem kapitalis yang mengorbankan mereka yang paling rentan.

 

Perlawanan dalam Diam, Menonton Adalah Melawan

Saat berhadapan dengan beragam bentuk kekerasan, Anora bukanlah korban yang pasif. Dia berjuang, meskipun perlawanannya tidak selalu terlihat jelas. Film ini menggambarkan secara perlawanan dalam diam dari sosok perempuan. Perlawanan Anora adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang menindas. Dia mungkin tidak bisa mengubah dunia, tetapi dia berusaha untuk mempertahankan kendali atas hidupnya sendiri.

Anora melawan dalam mempertahankan martabat, dalam caranya mencintai Vanya meskipun tahu bahwa hubungan mereka tidak seimbang, dan dalam caranya bertahan di tengah tekanan dari keluarga Vanya. Perlawanan Anora atas kondisi tertekan ekonomi dan kekerasan yang ditampilkan di film ini merupakan kritik atas cara tubuh perempuan sering kali direpresentasikan dalam sinema. 

Film “Anora” tidak menjadikan tubuh perempuan sebagai objek tontonan yang bersifat eksploitatif atas perempuan. Sosok Anora hadir sebagai manusia yang memiliki agensi dan kedalaman karakter. Anora bukan sekadar perempuan yang tubuhnya dieksploitasi demi narasi cerita. Namun, ia malah digambarkan sebagai individu utuh yang memiliki mimpi, ketakutan, dan kekuatan untuk menghadapi tantangan hidupnya. 

Film ini berhasil menghadirkan representasi perempuan yang multidimensional, jauh dari stereotip yang sering kali menghiasi layar lebar. Dengan kata lain, film “Anora” sukses menggambarkan perempuan bukan sebagai objek pasif, melainkan sebagai sosok yang memiliki kendali atas hidupnya. 

Dengan cara ini, film “Anora” tidak hanya menghindari eksploitasi visual, tetapi juga memberikan ruang bagi penonton untuk memahami kompleksitas kehidupan perempuan di tengah sistem yang sering kali menindas, bahkan kekerasan yang dihadapi. Film ini menantang penonton untuk memikirkan kembali cara kita memandang perempuan, terutama mereka yang bekerja di industri seks. 

Anora bukanlah korban yang perlu diselamatkan, melainkan perempuan yang berjuang untuk hidup dengan martabat. Ini adalah pendekatan yang memberdayakan dan menghormati pengalaman perempuan.

“Anora” adalah film yang menggugah. Ia tidak hanya menceritakan kisah personal, tetapi juga mengangkat isu-isu sosial yang mendesak. Melalui karakter Anora, film ini menyoroti ketidakadilan ekonomi, kekerasan struktural, dan perlawanan perempuan. Ini adalah kisah tentang tubuh perempuan yang menjadi medan pertarungan, tentang cinta yang tidak seimbang, dan tentang kekuatan untuk bertahan di tengah ketidakadilan.

Film ini mengajak kita untuk melihat lebih dekat, untuk merasakan empati, dan untuk mempertanyakan sistem yang menindas. “Anora” bukan sekadar film. Ia adalah panggilan untuk perubahan. Dan dalam setiap adegannya, ia mengingatkan kita bahwa perlawanan dimulai dari pengakuan atas ketidakadilan dan dari keberanian untuk melawannya.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top