Mendapatkan pendidikan yang layak merupakan salah satu hak mutlak yang dimiliki oleh manusia baik laki-laki atau pun perempuan. Jika di zaman dulu stigma yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kewajiban memperoleh pendidikan tinggi masih kuat mengakar. Kini, kesenjangan tersebut perlahan mulai ditinggalkan sehingga perempuan dapat mengenyam bangku pendidikan dengan hak yang setara dengan laki-laki.
Kenyataan ini diamini oleh pemerintah yang dalam salah satu programnya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan pendidikan yang layak, utamanya pada perempuan, demi mendorong pengembangan karakter dan membuka kesempatan memperoleh kualitas hidup yang lebih baik. Di Indonesia, sebesar 68,52 persen dari 135,24 juta jiwa perempuan merupakan kelompok usia produktif (15 sampai 64 tahun) yang memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan negara.

Berdasarkan data dari Balai Pusat Statistik (BPS), dari jumlah penduduk perempuan yang ada, 23,65 persen dari mereka merupakan perempuan berusia 5 tahun ke atas yang masih dan semangat bersekolah. Sebab analisis angka partisipasi sekolah mereka mencapai 99,28 persen. Capaian tersebut sedikit lebih tinggi ketimbang partisipasi sekolah anak laki-laki. Selain itu, perempuan yang berhasil menamatkan sekolah di perguruan tinggi, secara statistik lebih banyak 1,22 persen ketimbang laki-laki. Sederhananya, dari 100 perempuan, 10 di antara mereka mampu meraih ijazah perguruan tinggi.
Data tersebut menjadi petanda bahwa tingkat literasi perempuan di Indonesia telah menumbuhkan harapan besar untuk dibawa ke tingkat selanjutnya. Di mana para perempuan Indonesia kini memiliki potensi untuk menggali lebih dalam tentang pemahaman terhadap isu-isu sentral yang berkembang di tengah masyarakat. Perihal ideologi dan radikalisasi ekstrimis, misalnya.
Maksimalkan Literasi Perempuan dalam Pencegahan Radikalisasi Ekstrimis
Tingkat literasi perempuan yang semakin tinggi merupakan langkah positif dalam menciptakan perubahan sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Literasi, dalam arti luas, tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk memahami dan mengkritisi informasi yang ada di sekitar kita.
Saat perempuan sudah memiliki tingkat literasi yang baik, tantangan selanjutnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi tersebut untuk menyaring dan menginternalisasi ideologi-ideologi yang positif, serta melawan ideologi radikal yang berbahaya. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks pencegahan radikalisasi ekstremis, terutama dalam dunia yang semakin terhubung dan rentan terhadap penyebaran narasi ekstremis.
Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, dalam diskusi bertemakan “Perempuan dan Perdamaian Dunia”, mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang kuat dan memiliki potensi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pengembangan potensi perempuan harus terus ditingkatkan. Perempuan bisa menjadi bagian dari salah satu upaya pemecahan masalah. Jadi, investing in woman is investing in brighter future. Sehingga tak berlebihan menggunakan perempuan sebagai agen pencegah radikalisasi ekstrimis yang jitu.
Para perempuan yang mampu menyaring dan memilih ideologi yang sehat dan membangun. Mereka yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis, menganalisis informasi, serta tidak mudah terjebak dalam narasi yang menyesatkan, termasuk yang disebarkan oleh kelompok ekstremis, menjadi agen perubahan yang efektif dalam mencegah radikalisasi, baik dalam lingkup keluarga, pendidikan, maupun masyarakat secara umum.
Ketika perempuan memiliki pemahaman yang kuat tentang dampak negatif radikalisasi, dia bisa berperan penting dalam membentuk generasi yang lebih damai dan berkeadilan. Terlebih lagi, perempuan yang sadar akan bahaya ekstremisme bisa mengarahkan anak-anak, murid, dan komunitasnya untuk tidak terjerumus pada ajaran yang bisa merusak tatanan sosial.
Literasi Agama sebagai Perlindungan terhadap Radikalisasi pada Perempuan
Sejatinya, pendidikan merupakan alat perlindungan yang sangat penting bagi perempuan, terutama di daerah yang rawan terhadap radikalisasi. Dalam banyak kasus, perempuan yang tidak memiliki akses pendidikan lebih mudah terjebak dalam narasi ekstremis yang menjanjikan perubahan cepat, tetapi sebenarnya menjerumuskan mereka dalam kekerasan dan ketidakpastian.
Pada konteks ini, kita perlu menyepesifikkan jenis literasi apa yang dapat digunakan dalam usaha preventif mencegah paham radikal terhadap seorang individu. Misalnya pendidikan agama yang moderat. Pendekatan pendidikan ini berfokus pada pemahaman agama yang damai, toleran, dan inklusif, yang memberi kemampuan untuk menilai dan menginterpretasikan ajaran agama dengan cara yang positif dan menghindari penafsiran yang ekstrem atau berpotensi menimbulkan kekerasan.
Jamak kita ketahui bahwa eksklusivitas beragama adalah hulu dari segala konflik keberagamaan. Ia tak ubahnya Hydra persoalan sebab dari sikap eksklusif tersebut lahirlah intoleransi, diskriminasi, hingga ekstrimisme. Literasi agama dibutuhkan untuk mendeferensiasi dua arus utama keberagamaan: yakni, praktik beragama yang substantif-inklusif dan praktik beragama yang eksklusif-legal formalistik. Arus pertama adalah beragama secara inklusif. Sementara arus kedua adalah gaya beragama secara eksklusif.
Literasi agama moderat untuk perempuan bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai dasar agama yang mendukung perdamaian, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama, baik yang seiman maupun yang berbeda agama. Hal ini membantu perempuan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang agama mereka, serta mengedepankan sikap toleransi dan keterbukaan terhadap perbedaan. Dengan pendekatan yang inklusif, literasi ini memberi perempuan kekuatan untuk menanggapi ajakan radikal dengan pemikiran kritis dan pendekatan yang lebih rasional.
Alissa Wahid, tokoh moderasi beragama Indonesia pernah membincang perihal letak kontribusi perempuan dalam upaya pencegahan konflik dan bina damai. Di mana ia menegaskan bahwa perempuan harusnya terlibat dalam upaya resolusi konflik dan agenda-agenda perdamaian di Indonesia. Terutama mereka yang memiliki bekal literasi yang cukup dan yang memiliki kebebasan di ruang publik.
Meski demikian, dalam konteks mikro, Alissa juga mengingatkan bahwa perempuan juga bisa berkontribusi dalam ranah terkecil di kehidupannya, yaitu keluarga. Seorang ibu, misalnya, memiliki peran penting dalam menjaga anggota keluarga agar tidak terlibat ekstremisme dengan cara menguatkan akar keindonesiaan melalui keluarga, dan memperkuat wawasan keagamaan yang moderat kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa.
Perempuan itu sangat lentur dalam membangun hubungan. Perempuan memiliki kepekaan terhadap relasi-relasi dalam masyarakat. Dengan pendekatan agama yang inklusif, perempuan dapat lebih mudah menanggapi pengaruh kelompok ekstremis yang sering kali memanipulasi ajaran agama untuk tujuan kekerasan. Ajaran agama yang mendorong perdamaian dan saling menghormati menjadi dasar yang kuat bagi perempuan untuk menghindari ajaran yang memicu kebencian dan kekerasan. Selain itu, perempuan memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan. Itulah mengapa kita harus mengoptimalkan potensi perempuan dalam menjadi aktor pembawa perdamaian.