Menghadapi Luka dan Tantangan: Perempuan di Balik Mantan Narapidana Terorisme

Konflik-terorisme tidak hanya menyisakan trauma bagi korban langsung, tetapi juga membawa dampak luas bagi keluarga pelaku, khususnya istri dan anak-anak mantan narapidana terorisme (napiter). Aksi teror dan penangkapan terhadap pelaku laki-laki sering kali mengubah kehidupan para perempuan yang mereka tinggalkan. Para istri ini harus menghadapi stigma sosial, tekanan ekonomi, hingga tantangan besar dalam reintegrasi sosial.

Sebagai istri mantan napiter, banyak perempuan mengalami perubahan drastis dalam hidupnya. Masyarakat kerap memandang mereka dengan prasangka buruk, menganggap mereka turut terlibat dalam aktivitas ekstremisme. Padahal, sebagian besar perempuan ini tidak mengetahui tindakan suaminya atau terjebak dalam situasi tanpa pilihan. Akibatnya, mereka menjadi korban kedua dari tindakan terorisme, meskipun sama sekali tidak bersalah.

Menghadapi Luka dan Tantangan: Perempuan di Balik Mantan Narapidana Terorisme

Stigma masyarakat menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para istri mantan napiter. Mereka dipandang sebelah mata, sulit mendapatkan pekerjaan, dan sering kali dikucilkan dari komunitasnya. Stigma ini membawa beban psikologis yang berat, membuat mereka sulit untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal.

Dewi Setiawati (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu contoh perempuan yang harus menghadapi dampak stigma sosial sebagai istri mantan napiter. Sebelum penangkapan suaminya, Dewi bekerja sebagai guru taman kanak-kanak yang berdedikasi. Namun, status suaminya membuatnya ragu untuk melanjutkan profesi tersebut karena khawatir mencemarkan nama baik sekolah tempat ia bekerja.

Beruntung, kepala sekolah memberikan dukungan moral yang besar kepada Dewi, menyemangatinya untuk tetap mengajar. Langkah ini menjadi salah satu bentuk nyata dari reintegrasi sosial yang penting, di mana komunitas memberikan kesempatan bagi perempuan seperti Dewi untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Dukungan tersebut membantu Dewi untuk bertahan dan melanjutkan kehidupannya.

Selain stigma sosial, tekanan ekonomi menjadi masalah utama bagi para istri mantan napiter. Kehilangan pencari nafkah utama memaksa mereka untuk mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Hal ini sering kali membuat mereka meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan beralih ke usaha kecil-kecilan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dewi, misalnya, harus meninggalkan profesinya sebagai guru TK karena situasi ekonomi yang semakin sulit. Demi mencukupi kebutuhan keluarga, ia memutuskan membuka usaha laundry di rumah. Sementara itu, suaminya yang sudah menyelesaikan masa hukumannya mencoba membangun bisnis isi ulang air mineral. Bersama-sama, mereka berusaha bangkit dari keterpurukan.

Tidak hanya itu, Dewi juga bergabung dengan Koperasi Srikandi, sebuah komunitas yang bertujuan memberdayakan perempuan melalui pelatihan kewirausahaan dan dukungan finansial. Keberadaan koperasi seperti ini menjadi solusi penting bagi para perempuan yang menghadapi keterbatasan, memberikan mereka kesempatan untuk belajar, berkembang, dan membangun kemandirian ekonomi.

Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia turut memperburuk situasi yang dihadapi para istri mantan napiter. Banyak perempuan yang tidak memiliki kendali atas tindakan suaminya, tetapi harus menanggung akibat dari keputusan yang bukan menjadi tanggung jawab mereka. Dalam sebuah podcast oleh WGWC (Women and Gender Watch Center), Erni Kurniati, peneliti dari Division for Applied Social Psychology Research (DASPR), mengungkapkan bahwa perempuan sering kali tidak mengetahui keterlibatan suami mereka dalam aktivitas ekstremis. Mereka juga harus menghadapi kehilangan pasangan, mengurus anak sendirian, serta tekanan psikologis akibat stigma masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi korban ganda, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari konflik-terorisme. Situasi ini menuntut adanya perhatian khusus untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada mereka.

Namun, di tengah berbagai tantangan, kisah seperti yang dialami Dewi membuktikan bahwa kekuatan perempuan untuk bertahan di tengah keterbatasan bisa menjadi inspirasi. Dewi tidak hanya berusaha membangun kembali kehidupannya, tetapi juga memberikan harapan baru kepada keluarganya. Ia menunjukkan bahwa dengan dukungan masyarakat dan kemauan untuk bangkit, perempuan dapat memainkan peran penting dalam membantu suami mereka keluar dari lingkaran ekstremisme.

Reintegrasi sosial menjadi kunci penting dalam proses ini. Dukungan dari komunitas, seperti yang diberikan kepada Dewi, memungkinkan perempuan untuk mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Hal ini sekaligus mengurangi risiko keterlibatan kembali dalam aktivitas ekstremisme bagi para mantan napiter.

Kisah Dewi dan perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib serupa menunjukkan bahwa dampak konflik-terorisme tidak hanya dirasakan oleh pelaku dan korban langsung, tetapi juga oleh keluarga mereka. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian lebih kepada istri dan anak-anak mantan napiter, baik melalui program pemberdayaan ekonomi, dukungan psikologis, maupun penghapusan stigma di masyarakat.

Dengan memberikan ruang bagi mereka untuk bangkit, kita tidak hanya membantu mereka memulai hidup baru, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan damai. Kekuatan perempuan seperti Dewi menjadi bukti nyata bahwa harapan tetap ada, bahkan di tengah tantangan terberat.

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top