Mencegah Konflik Paparan Terorisme dalam Lingkup Keluarga

Kasus ekstremisme kekerasan terhadap perempuan tak luput dari tragedi aksi terorisme yang menempatkan perempuan sebagai pelaku utama teror. Upaya peningkatan kualitas perempuan dalam penanggulangan perempuan sebagai pelaku terorisme perlu dilihat secara mendalam bahwa secara pertimbangan taktis, perempuan juga memiliki fungsi strategis sehingga potensial dimanfaatkan kelompok ekstremis. 

Pelembagaan dan pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) serta Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) telah menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai penanggulangan terorisme yang berperspektif gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. Pembuatan kebijakan ini menjadi strategi penguatan pencegahan dan penanggulangan kasus radikalisme dan ekstremisme yang menyasar pada perempuan sebagai pelaku maupun korban untuk mencegah serta menanggulangi kasus terjadi. 

Mencegah Konflik Paparan Terorisme dalam Lingkup Keluarga

Sebab kita tentu tak lupa serangan bom bunuh diri di Surabaya yang melibatkan satu keluarga yakni ayah, ibu, dan melibatkan anak-anak di bawah umur. Tentu sebetulnya ini menunjukkan perubahan besar dalam peta aksi teror. Perempuan dapat menjadi pelaku aktif dan sangat mungkin memanipulasi anak menjadi pelaku. Dalam kasus ini laki-laki merasa berat hati meninggalkan istri dan anak-anak sementara ia mati sendirian di medan perang. Perempuan sebagai istri meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Dengan begitu atas dasar kerelaan hati dan niat untuk berjihad satu keluarga melakukan aksinya dengan membawa anak mereka. 

Dalam kasus yang lain tidak hanya terjadi pada anggota keluarga, kasus Dian Yulia menjadi pelaku aktif sendirian, tetapi keburu ditangkap sebelum melancarkan serangan bom. Di kesempatan yang lain sangat mungkin pula perempuan sebagai pelaku juga turut memanipulasi anak-anak mereka menjadi bagian dari serangan maut. 

 

Bagaimana Perempuan Berpotensi Terlibat dalam Kelompok Radikal

Ekualitas gender tidak hanya menjadi domain sektor formal, tetapi juga merambah pada extraordinary crime, seperti kejahatan terorisme. Kini, pelaku serangan yang identik dengan laki-laki, juga mulai dijajaki perempuan. Dari beberapa peristiwa yang pernah terjadi, kenyataan peran dan pengaruh ibu (perempuan) dalam gerakan radikal tak bisa diabaikan. 

Memang selama ini aksi teror kejahatan seringkali dipercayai laki-laki yang potensial untuk berperan. Tetapi, nyatanya perempuan dapat terlibat, baik dalam ranah keluarga maupun individual sebagai pengaruh. 

Mengutip tesis Lies Marcoes berjudul “Why Do Women Join Radical Groups” mengungkap alasan mengapa perempuan terlibat dalam kelompok teroris. Bahwa perempuan pada dasarnya tidak memiliki agenda untuk terlibat dalam urusan melawan kezaliman. Atas dasar keterlibatan, perempuan aktif mengikuti kajian agama yang ternyata adalah kelompok radikal, mereka menjadi aktor langsung dari konsep jihad dalam teori dan diaplikasikan dalam praktik.

Namun, dalam dunia radikalisme terdapat pemilahan peran secara gender di mana maju ke medan tempur atau berjhad hanya pantas dilakukan oleh laki-laki. Atas dasar peran itu, mereka menempatkan diri sebagai pendorong dan penguat iman suami. Pun sebagaimana beberapa—kultur organisasi keagamaan, secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya tidak utama dan bukan sentral. Tetapi peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban. 

Pengakuan peran menjadi salah satu kunci dalam mengenali keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal. Berkat dorongan menjadi terkenal karena kesalehan, keikhlasan, atau keberaniannya melepas suami berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal, apalagi jika ikut berjihad.

Akan tetapi alih-alih menerima ajakan atau kemauan sendiri untuk bertaubat, berhijrah, yang kemudian dikenali salih, memakai pakaian tertutup, hingga rajin beribadah, pada akhirnya terjerembab ia ke dalam kelompok radikal. Melakukan aksi bunuh diri dengan alasan berjihad. Ironinya, ada kemungkinan kelompok radikal sengaja memanfaatkan perempuan sebagai taktik, sehingga faktor keterlibatan perempuan adalah bagian dari strategi serangan dan propaganda.

Sama halnya dengan yang terjadi pada pelaku bom bunuh diri dari satu keluarga tersebut. Seorang suami, istri, termasuk balita, bayi, menyelinap keluar dari kelompok mereka di Turki dan menyeberang ke Suriah di bulan Maret 2015. Berdasar kasus tersebut, perhatian kepada perempuan tidak bisa lagi hanya dilihat dalam fungsi pendamping dan pendukung radikalisme saja melainkan harus sudah dilihat sebagai pelaku utama. Tak sekadar memiliki impian mencium bau surga melalui suaminya, melainkan melalui perannya sendiri memanipulasi dalam suatu keyakinan dengan membawa anak-anak.

 

Edukasi Perdamaian Cegah Radikalisme dalam Keluarga

Keterlibatan perempuan dalam aksi kejahatan terorisme dan radikalisme telah nampak menjadi isu utama dan kajian yang membahasnya patut menjadi referensi utama. Kemungkinan untuk mencegah aksi terorisme terjadi adalah dengan mendorong potensi peran tradisional ibu memutus mata rantai kekerasan. Dari beberapa studi pada sejumlah perempuan yang terlibat jaringan teroris Poso mengungkapkan bahwa seorang ibu dapat membentengi dirinya dari arus propaganda yang beredar kuat di wilayah konflik, sehingga anak-anaknya terbebas dari ideologi radikal.

Pemerintah daerah maupun relawan dapat menggelar ruang sebagai edukasi pencegahan radikalisme untuk para calon orang tua maupun orang tua itu sendiri. Nilai-nilai perdamaian yang moderat dan inklusif dapat mendorong anak-anak menjadi toleran dan memahami tanda-tanda kejahatan radikal termasuk yang berkedok agama harus dijauhi. 

Kedua orang tua baik harus dibekali edukasi sehingga mereka dapat mengajarkan kepada anak dengan cara membuka dialog secara intensif dan membawa anak-anak ke dalam pergaulan yang inklusif. Begitu pula dengan keterbukaan pikiran orang tua dalam mengikuti kelompok kajian keagamaan. Terorisme yang berangkat dari kedok agama tanpa dipahami dengan sikap kritis mudah bagi mereka tergabung dalam kelompok radikal. Begitu pula aksi kejahatan atas dalih apapun. Kemanusiaan adalah hal terpenting untuk mencapai kemaslahatan. 

Perempuan khususnya memiliki peran kunci dalam membangun narasi positif serta pandangan inklusif sebagai penangkal dan penetralisir narasi kebencian guna memutus mata rantai ekstremisme. Meskipun bukan satu-satunya figur yang menentukan dalam penyebaran paham radikal. Studi mengungkapkan resiliensi yang terbangun pada perempuan akan memberikan dampak ganda yaitu mencegah potensi terjerumusnya perempuan ke dalam pusaran ekstremisme, sekaligus membekali mereka melakukan peran menjadi fitrah seorang ibu. Dari peran ini penting sehingga ibu mampu berperan melakukan deteksi dini indikasi radikalisme anak-anak dan suami di level keluarga. 

 

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top