Ledakan bom yang terjadi pada 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriot, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta masih menyisakan luka bagi korban hingga saat ini. Salah satunya adalah Vivi Normasari. Ia seorang penyintas sekaligus sebagai advokat bagi korban yang lain. Akibat ledakan bom yang mengenainya, Vivi harus mengalami bekas luka yang membuat tangannya tidak bisa berfungsi secara normal. Sebelum tragedi tersebut, Vivi merupakan seorang pekerja di salah satu Bank luar negeri yang berkantor di Jakarta. Adanya keterbatasan yang dimilikinya membuat Vivi harus diistirahatkan oleh perusahaan dan sulit untuk mencari pekerjaan baru.
“Saat masih remaja, saya suka manicure, pedicure, dan nail art, tapi tiba-tiba dengan kondisi tangan seperti ini rasanya kayak terenggut. Saya mau gunting kuku aja susah. Ketika orang-orang seusia saya masih bisa jalan normal, tapi saya harus tertatih dan untuk mengangkat barang juga agak susah. Artinya trauma karena kejadian bom terorisme itu masih ada. Apalagi efek jangka panjang terkena ledakan bom itu saya terkena autoimun. Kemudian, karena efek emosional yang tidak stabil, saya terdeteksi kena kanker. Dan yang mengalami beberapa luka ini bukan hanya saya, tetapi penyintas yang lain juga merasakan, termasuk adanya luka bakar. Hanya saja efek jangka panjangnya masing-masing korban berbeda.” Ungkap Vivi Normasari dalam podcast yang tayang melalui kanal youtube WGWC Grup edisi 2/12/2024.

Bersama merajut asa
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dari total 1.370 korban tindak pidana terorisme, hanya sekitar 650 orang yang telah menerima kompensasi dari negara. Kompensasi ini menjadi salah satu indikator penting bagi korban dalam menilai sejauh mana negara hadir untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi mereka yang terdampak oleh terorisme. Bagi banyak korban, pemberian kompensasi tidak hanya sekadar masalah materiil, tetapi juga simbol dari komitmen negara untuk mendukung pemulihan fisik, mental, dan sosial mereka.
“Pada saat kejadian tahun 2003, saya dan korban lain tidak mendapatkan perhatian dari negara. Makanya para penyintas bom terorisme berkumpul bersama, karena sekali fisioterapi saja bisa menghabiskan biaya antara Rp.400.000 hingga Rp.600.000. Jika negara hadir, itu bisa meringkankan beban kita.” Ucap Vivi.
Dalam perjalanannya, Vivi dan korban lain berjuang melalui berbagai proses advokasi, mulai dari Pemprov DKI Jakarta hingga Kementerian Kesehatan, namun hasilnya nihil. Payung hukum untuk korban bom terorisme saat itu memang sangat minim. Setelah itu, mereka mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang akhirnya menfasilitasi perubahan undang-undang dan lahirlah UU Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Meskipun setelah itu mereka harus menunggu 1 (satu) tahun lagi untuk mendapatkan layanan kesehatan, tapi perjuangannya tidak sia-sia. Dari itu, Vivi mulai melakukan pendampingan kepada penyintas lainnya yang belum mengetahui tentang hak dan perlindungan yang bisa mereka akses.
YKP menjadi tempat berjuang
Meskipun sudah ada landasan hukum yang kuat, kendala administratif dan kurangnya sosialisasi mengenai hak-hak korban menjadi hambatan utama yang dihadapi banyak penyintas. Maka dari itu, dengan dukungan BNPT, Vivi Normasari dan beberapa penyintas lainnya membentuk Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) yang disahkan pada tanggal 5 Agustus 2018, bertepatan dengan peringatan bom Marriot.
“Awalnya kenapa kita dirikan YKP ini karena advokasi dari tahun 2004 setelah kejadian itu berjalan tanpa legalitas. Kemudian kita diberikan saran untuk melegalkan. Di tanggal 5 Agustus 2018, agar mempermudah, kita ikut mengawal disahkannya UU Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Kita juga membantu LPSK dan BNPT untuk pendataan korban masa lalu yang kejadiannya sudah 10 tahun atau lebih. Hal ini dikarenakan data nama korbannya sudah tidak ada di rumah sakit, densus, kepolisian, bahkan Musem Kepolisian Republik Indonesia. Mereka hanya punya data jumlah korbannya saja. Alhamdulillah hingga saat ini, YKP sudah membantu 218 orang mendapatkan perlindungan dari negara. Kita agak sulit menjangkau seluruh Indonesia, jadi saat ini baru Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Poso, Makasar, Palu, dan Medan.” Kata Vivi
Bagi Vivi, perjuangan tidak berhenti hanya pada pemulihan fisik dan pemberian kompensasi. Korban bom terorisme tidak hanya perlu untuk memenuhi kebutuhannya saat kondisi pasca bom, tetapi juga memikirkan masa depan keluarganya, seperti pendidikan anak-anak mereka. Bantuan yang diberikan pemerintah, meskipun sangat berarti, masih dirasa tidak sebanding dengan beban berat yang mereka tanggung untuk melanjutkan hidup dalam kondisi yang berbeda. Oleh karena itu, Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) menekankan pentingnya pelatihan keterampilan bagi penyintas agar mereka dapat mandiri secara ekonomi. Dengan begitu, pemulihan korban akan lebih komprehensif, mencakup aspek fisik, mental, dan sosial, serta memberikan peluang bagi penyintas untuk menata kembali kehidupan mereka.
Namun, pemulihan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para korban dan yayasan yang mendampingi mereka, tetapi juga kita semua sebagai bagian dari masyarakat. Meningkatkan empati dan mengulurkan tangan untuk membantu korban bom terorisme adalah hal yang sangat penting. Ini adalah tanggung jawab bersama, di mana setiap elemen masyarakat, baik pemerintah, sektor swasta, media, dan lainnya memiliki peran penting dalam mendukung proses pemulihan korban. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, korban bom terorisme tidak hanya bisa pulih, tetapi juga kembali percaya diri untuk tetap produktif dan bermanfaat dalam menjalani kehidupan.