Terorisme meninggalkan jejak luka yang mendalam, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikis dan sosial. Para penyintas terorisme menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kehidupan mereka, sering kali tanpa dukungan yang memadai. Diskusi dalam sesi “Survivors of Terrorism: Navigating Resistance, Resilience, and Pathways to Negotiation” mengungkapkan banyak pelajaran berharga tentang perjuangan dan kekuatan para penyintas, serta peran masyarakat dan negara dalam mendukung mereka.
Luka yang Tak Terlihat: Trauma Psikis dan Sosial
Korban terorisme sering kali menghadapi trauma mendalam yang tidak hanya merusak kondisi psikologis tetapi juga kehidupan sosial mereka. Vivi Normasari, seorang penyintas Bom JW Marriott, menceritakan bagaimana peristiwa tersebut mengubah hidupnya secara drastis. “Saya malu berada di pelaminan karena tangan saya cacat,” katanya. Selain kehilangan kepercayaan diri, ia juga harus menghadapi trauma fisik akibat luka serius yang dideritanya.
Trauma ini diperparah oleh stigma sosial yang sering kali dialami oleh korban. Mereka bukan hanya harus berjuang untuk pulih secara fisik, tetapi juga menghadapi masyarakat yang kadang tidak sepenuhnya menerima kondisi mereka. Anak-anak korban tindakan terorisme juga mengalami kerentanan, terutama ketika mereka juga kehilangan akses ke pendidikan atau terjebak dalam siklus kekerasan yang diwariskan oleh orang tua mereka.
Anak Korban Tindakan Terorisme: Generasi yang Terlupakan
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi adalah kondisi anak-anak korban tindakan terorisme. Anak-anak ini terbagi dalam beberapa kategori: anak pelaku, anak dari pelaku, dan anak saksi. Khariroh Maknunah dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) menjelaskan bahwa anak-anak ini menghadapi berbagai bentuk trauma, dari kehilangan anggota keluarga hingga gangguan psikologis akibat menyaksikan kekerasan.
Banyak anak dari pelaku terorisme, misalnya, menyaksikan orang tua mereka ditangkap atau bahkan tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan dan radikalisasi. “Sebagian besar dari mereka mengalami ideologi turunan”, jelas Khairoh. Anak-anak ini sering kali menghadapi stigma ganda, baik sebagai korban maupun sebagai anak dari pelaku, yang membuat mereka sulit mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Pentingnya Pendekatan Inklusif dan Berkelanjutan
Mendukung penyintas terorisme memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Vivi Normasari dan komunitasnya berhasil mengadvokasi perubahan hukum untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan yang lebih baik. Namun, mereka juga menyoroti tantangan besar dalam implementasi kebijakan tersebut.
Salah satu keberhasilan terbesar adalah revisi Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 2014, yang memberikan payung hukum bagi korban terorisme. Meski demikian, layanan yang diberikan sering kali terbatas dalam jangka waktu tertentu, padahal banyak korban membutuhkan dukungan jangka panjang. “Kami intens mengetuk LPSK untuk memasukkan korban terorisme menjadi payung hukum di LPSK”, kata Vivi.
Negara, Komunitas, dan Masyarakat Sipil: Kolaborasi yang Dibutuhkan
Dalam diskusi tersebut, berbagai pihak menekankan pentingnya kolaborasi antara negara, komunitas korban, dan organisasi masyarakat sipil. Imam Nahei dari Komnas Perempuan menyoroti bahwa penanganan korban sering kali menggunakan perspektif negara, bukan perspektif korban. Misalnya, negara lebih fokus pada pembangunan fisik daripada pemulihan psikologis korban.
Penulis juga melihat bahwa komunitas korban, seperti YKP, menunjukkan bagaimana dukungan dari sesama penyintas dapat mempercepat proses pemulihan. Namun, komunitas semacam ini masih langka di daerah-daerah lain. Penguatan komunitas korban perlu menjadi prioritas, terutama di daerah-daerah yang rawan ekstremisme.
Tantangan dan Harapan
Salah satu tantangan terbesar dalam mendukung penyintas adalah keterbatasan anggaran dan kebijakan yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan korban. Misalnya, anak-anak korban tindakan terorisme sering kali kehilangan akses ke pendidikan formal karena stigma atau ideologi yang diwariskan oleh orang tua mereka. Selain itu, banyak korban yang mengalami luka bakar atau cacat fisik membutuhkan perawatan medis yang mahal dan berkelanjutan, yang sering kali tidak tercakup oleh kebijakan pemerintah.
Meski demikian, ada harapan. Pengalaman YPP dalam mendampingi anak-anak korban tindakan terorisme menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, anak-anak ini dapat menemukan kembali identitas mereka sebagai anak-anak. YPP membantu untuk mencari role model dan memberikan kasih sayang dalam pendampingannya. Memberikan kesempatan kedua tanpa menghakimi adalah langkah penting untuk membantu mereka pulih dan membangun masa depan yang lebih baik.
Pelajaran untuk Masa Depan
Dari diskusi ini, jelas bahwa mendukung penyintas terorisme bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan pendekatan yang inklusif, kolaborasi antara berbagai pihak, dan kebijakan yang berkelanjutan, kita dapat membantu mereka memulihkan kehidupan mereka. Sebagai masyarakat, kita juga memiliki tanggung jawab untuk menghilangkan stigma dan memberikan ruang bagi penyintas untuk bangkit.
Penyintas terorisme mengajarkan kita tentang kekuatan resiliensi dan pentingnya solidaritas. Mereka adalah bukti hidup bahwa meski diterpa cobaan berat, manusia memiliki kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Mari kita dukung mereka, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata.





