Perempuan kerap dikenal lembut, keibuan, dan rempong. Ruang rempong yang saya maksud adalah ruang publik yang terjamah oleh perempuan. Seperti kelompok PKK, jamaah tahlil, pengajian, dsb. Ruang rempong tentu memiliki kekuatan besar dalam menyebarkan sesuatu. Dalam kenyataannya, perempuan ternyata dapat terlibat dalam tindakan kekerasan ekstremisme, bahkan menjadi pelaku penyebaran radikalisme. Anak-anak menjadi sasaran utama karena hubungan emosional mereka dengan ibu dan perempuan dalam keluarga. Kondisi ini memunculkan perntanyaan, apakah kekuatan sebesar itu hanya bisa dijadikan untuk menebar paham radikalisme?

Peran Perempuan dalam Penyebaran Radikalisme
Sebagai figur yang dekat dengan keluarga, perempuan memainkan peran penting dalam pembentukan nilai dan keyakinan anak-anak. Namun, jika seorang perempuan terpapar ideologi ekstrem, perannya dalam keluarga dapat berubah menjadi ancaman. Dengan kedekatan ini, perempuan mampu menanamkan paham radikal kepada anak-anak sejak dini, membentuk generasi yang melihat negara sebagai thaghut yang harus diperangi.
Kelompok ekstremis sering kali memanfaatkan posisi perempuan ini karena mereka tidak banyak dicurigai oleh masyarakat maupun aparat. Dalam lingkup komunitas ekstremis, perempuan juga sering direkrut untuk menyebarkan ideologi melalui media sosial, kajian agama, atau lingkaran kecil perempuan. Penampilan mereka yang lembut dan penuh kasih sering kali menjadi tameng untuk menghindari kecurigaan.
Ironisnya, perempuan juga menjadi korban pertama dari ideologi ekstremis. Poligami paksa, pembatasan kebebasan, serta eksploitasi fisik dan mental adalah bentuk kekerasan yang sering mereka alami dalam kelompok-kelompok ini. Hal ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menghancurkan martabat perempuan itu sendiri.
Beragama dengan Logis: Mencegah Radikalisasi
Radikalisme sering kali berakar dari pemahaman agama yang sempit dan tidak logis. Dalam konteks ini, pendidikan agama yang moderat dan rasional menjadi kebutuhan mendesak. Guru agama anak-anak tidak seharusnya datang dari video YouTube atau figur tidak terverifikasi yang marak di media sosial. Penting untuk memastikan bahwa guru-guru yang mendidik memiliki kredibilitas dan pemahaman agama yang moderat, serta mampu menjawab pertanyaan anak-anak dengan logika yang sehat.
Fenomena munculnya “gus-gus” atau pemuka agama lain di media sosial, yang tanpa keahlian menyebarkan ideologi ekstrem, menjadi tantangan besar. Orang tua, terutama perempuan, harus mampu memilah informasi dan memberikan panduan yang benar kepada anak-anak. Perempuan yang terdidik secara digital dan memahami bahaya radikalisme memiliki peran strategis untuk menangkal penyebaran paham ekstrem.
Di sisi lain, potensi perempuan sebagai agen perdamaian tidak boleh diremehkan. Dalam kerangka Women, Peace, and Security (WPS) dan Preventing and Countering Violent Extremism (PCVE), perempuan dapat menjadi motor penggerak perubahan positif. Perempuan memiliki akses ke berbagai ruang keluarga, komunitas, dan media sosial yang dapat digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian.
Sebagai contoh, perempuan dapat mendidik anak-anak untuk memahami pentingnya keberagaman, empati, dan toleransi sejak usia dini. Dalam komunitas, perempuan dapat menjadi fasilitator dialog antarkelompok untuk mencegah konflik. Di media sosial, perempuan dapat menggunakan pengaruhnya untuk melawan narasi ekstremisme dengan menyebarkan pesan-pesan perdamaian.
Kisah-kisah perempuan yang menjadi penggerak perdamaian yang dirangkum oleh WGWC dalam buku Teroris, Korban, Pejuang Damai: Perempuan dalam Pusaran Ekstremisme di Indonesia membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk membawa perubahan signifikan. Dengan pelatihan yang tepat, perempuan dapat menjadi pemimpin komunitas yang memperjuangkan inklusivitas dan hak asasi manusia, sekaligus melawan narasi kebencian dan kekerasan.
Mengembalikan Peran Perempuan
Penting untuk mengembalikan peran perempuan sebagai pendidik, penjaga nilai-nilai moral, dan penggerak perdamaian. Ini membutuhkan upaya kolektif, mulai dari peningkatan literasi digital untuk memfilter informasi, hingga pendidikan agama yang logis dan moderat.
Radikalisme, pada akhirnya, tidak hanya menghancurkan kehidupan individu, tetapi juga merusak tatanan sosial. Namun, dengan memberdayakan perempuan, potensi mereka untuk menyebarkan kedamaian dan toleransi dapat mengatasi ancaman radikalisme. Perempuan bukan hanya korban; mereka juga solusi. Melalui pendidikan, keterlibatan aktif dalam komunitas, dan kepemimpinan yang inklusif, perempuan dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Perempuan memegang kunci untuk mencegah radikalisme dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Dengan peran ini, mereka dapat memastikan bahwa anak-anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keberagaman dan menolak kekerasan. Seperti kata pepatah, “Mendidik seorang perempuan berarti mendidik sebuah generasi.”