Usai peristiwa 11 September 2001 di mana sekelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda melakukan serangan dengan membajak empat pesawat komersial dan menabrakkan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center di New York, serta satu pesawat ke gedung Pentagon di Washington D.C., pemerintah Amerika Serikat tak lama kemudian meluncurkan “Perang Melawan Terorisme”. Sayangnya, kebijakan yang digencarkan oleh negeri Paman Sam itu justru dianggap oleh sebagian orang sebagai pembenaran tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan migran yang berasal dari Timur Tengah. Merujuk temuan riset Uniform Crime Reports, ujaran kebencian dan sentimen negatif terhadap komunitas Muslim meningkat lima kali lipat usai kejadian 9/11. Tidak hanya dipengaruhi oleh respon pemerintah Amerika Serikat yang buruk, kebencian terhadap warga Muslim di sana juga dipicu banyak faktor lain seperti ketidaktahuan mengenai Islam dan potret media Barat yang melakukan framing buruk terhadap Muslim.
Meski penyebab diskriminasi terhadap Muslim sangatlah kompleks, namun kekeliruan respon pemerintah dalam merumuskan kebijakan “Perang Melawan Terorisme” bisa dibilang sebagai pemicu utama Islamophobia kian meluas. Kesalahan cara pandang pihak berwajib terutama ialah menekankan bahwa ideologi ekstremis dengan tindakan teroris, tidak ada bedanya. Pemerintah Amerika Serikat, dalam upaya untuk menekan ancaman terorisme, sering membuat kebijakan serampangan dengan menargetkan komunitas Muslim secara keseluruhan, alih-alih fokus pada individu atau kelompok yang benar-benar terlibat dalam aktivitas ilegal atau kekerasan. Pendekatan ini tidak hanya membuat komunitas Muslim diawasi secara berlebihan, tetapi juga memperkuat narasi bahwa agama Islam adalah sumber ancaman dan harus diperangi. Kebijakan seperti profiling rasial di bandara, penggerebekan masjid tanpa alasan kuat, hingga surveilans terhadap individu Muslim menciptakan ketidakpercayaan mendalam antara komunitas Muslim dan pemerintah, sekaligus memicu diskriminasi yang meluas.

Lebih jauh, kebijakan pemerintah tadi akhirnya gagal membedakan individu dengan pandangan radikal dan seseorang yang melakukan serta terlibat dalam tindakan ekstremisme. Kegagalan ini menciptakan kerugian yang signifikan, baik dalam hal efektivitas kebijakan maupun dampaknya terhadap komunitas Muslim yang tidak bersalah. Individu yang hanya memiliki opini atau pandangan yang dianggap “radikal” sering kali diperlakukan dengan curiga, bahkan tanpa adanya bukti keterlibatan mereka dalam tindakan ilegal atau kekerasan. Hal ini mengarah pada investigasi yang tidak perlu, pencatutan nama dalam daftar pengawasan, hingga pembatasan hak-hak sipil sejumlah warga Muslim. Akibatnya, komunitas Muslim merasa diperlakukan secara diskriminatif, yang akhirnya memupuk rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Ketidakadilan ini juga merusak hubungan antara komunitas Muslim dan masyarakat luas, memperkuat stereotip bahwa Islam identik dengan kekerasan.
Bahkan potensi buruknya, mereka yang merasa dipojokkan oleh kebijakan diskriminatif ini dapat menjadi lebih mudah terpengaruh oleh narasi kelompok ekstremis yang mengeksploitasi perasaan alienasi dan ketidakadilan. Dengan kata lain, kebijakan yang salah arah ini tidak hanya gagal mengurangi ekstremisme, tetapi juga berpotensi memperburuk masalah yang ingin diatasi.
Merespon kekeliruan kebijakan pemerintah Amerika Serikat, dua akademisi Clark McCauley dan Sophia Moskalenko (2017) mengusulkan pendekatan “Two-Pyramids” untuk membedakan antara individu yang memiliki opini radikal dengan yang melakukan tindakan radikal. Dalam model ini, piramida opini menggambarkan spektrum keyakinan, mulai dari individu yang netral terhadap isu tertentu, simpatisan yang mendukung ideologi tanpa membenarkan kekerasan, hingga mereka yang merasa memiliki kewajiban moral untuk membela ideologi tersebut melalui kekerasan. Sebaliknya, piramida tindakan memetakan tingkatan aktivitas, mulai dari mereka yang pasif dan tidak terlibat, lalu kelompok yang berpartisipasi dalam aksi politik legal, hingga mereka yang melakukan tindakan ilegal dan kekerasan terhadap warga sipil. Pendekatan ini membantu memisahkan individu yang hanya memiliki pandangan radikal dari mereka yang benar-benar berpotensi melakukan kekerasan, sehingga target kebijakan pemerintah dapat diarahkan dengan lebih tepat.
Dengan menerapkan model ini, pemerintah tidak lagi mengkriminalisasi mereka yang hanya memiliki opini ekstrem. Pendekatan ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi mekanisme spesifik yang mendorong seseorang berpindah dari fase opini ke fase tindakan. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga diharapkan dapat membuka ruang dialog yang lebih inklusif dengan komunitas Muslim dan mengurangi alienasi sosial yang kerap menjadi pintu masuk radikalisasi.